tirto.id - Bisnis e-commerce tipe customerto customer (C2C) Indonesia saat ini dikuasai oleh dua pemain utama yakni Tokopedia dan Bukalapak. Mereka bersaing ketat memperebutkan pangsa pasar bisnis e-commerce Indonesia yang sedemikian besar.
Bukalapak didirikan pada tahun 2011. Transaksinya melonjak pesat dari tahun ke tahun. Pendiri Bukalapak, Achmad Zaky mengaku, Bukalapak telah mengakomodasi transaksi bernilai lebih dari Rp 1 triliun. Pada awal tahun 2015, Bukalapak memiliki 163.000 penjual dan kini sudah meningkat menjadi 450.000 penjual. Aplikasi Bukalapak di Play Store sudah diunduh oleh 5 juta pengguna.
Pada 2014, Bukalapak mendapatkan pendanaan segar dari Emtek Group. Pemilik stasiun televisi SCTV ini mengumumkan investasi Seri B di Bukalapak. Sayangnya, nilai investasinya tidak disebutkan. Namun, dari laporan keuangan Emtek ini, kita bisa sedikit tahu tentang “dapur” Bukalapak sekaligus transaksinya.
Berdasarkan laporan keuangan Emtek tahun 2015, diketahui bahwa kelompok usaha tersebut memiliki saham Bukalapak hingga 49 persen. Kepemilikan itu diperoleh secara bertahap. Emtek mulai masuk ke Bukalapak lewat anak perusahaanya PT Kreatif Media Karya pada 6 November 2014. Mereka mengakuisisi 19,68 persen atau 459.200 lembar saham Bukalapak dengan nilai investasi Rp29,4 miliar.
Pada 9 Januari 2015, Emtek kembali menambah investasi dengan suntikan dana Rp123,69 miliar, kepemilikan mereka pun bertambah jadi 42,74 persen. Pembelian inilah yang heboh di media. Sayang waktu itu, Bukalapak memilih angka penanambahan modal tak diungkap ke publik.
Lantas pada Agustus 2015, Emtek kembali melakukan pembelian saham dengan 351.959 saham baru bernilai Rp215,4 miliar. Dana segar ini membuat Emtek menguasai 49 persen saham Bukalapak hingga saat ini.
Menarik untuk dicermati dari suntikan modal yang dilakukan Emtek secara bertahap ini. Penambahan modal ini membuat harga per lembar saham Bukalapak melonjak tajam hingga 855,9 persen dari pembelian pertama (6 November) terhadap pembelian ketiga (Agustus 2015). Angka 855,9 persen ini berdasarkan asumsi. Rinciannya adalah seperti ini. Saat membeli 19,68 persen saham pada fase pertama, berdasarkan estimasi Tirto.id, harganya Rp64.024 per lembar.
Saat Emtek memberi dana segar baru senilai Rp123,6 miliar, harga per lembar Bukalapak naik hingga 103,76 persen hanya dalam waktu dua bulan saja. Valuasi perusahaan yang semula Rp149 miliar pada November 2014 melonjak jadi Rp547 miliar pada Februari 2015. Jika diasumsikan dari pembelian saham pertama, total saham diestimasi berjumlah lebih dari 2 juta lembar. Maka, nilai perusahaan saat pertama pembelian saham Bukalapak adalah Rp149 miliar. Dengan asumsi jumlah saham tetap, maka nilai valuasi saham pada Januari 2-15 sebesar Rp304 miliar.
Angka itu semakin bertambah saat tambahan Rp215,4 miliar masuk Agustus 2015. Jika merujuk pada penambahan modal fase kedua, maka kenaikan harga saham mencapai 369 persen (setelah dihitung berdasarkan sumber primer), tapi jika mengacu pada pembelian awal maka harga saham mereka naik hingga 855,9 persen. Valuasi perusahaan pun bertambah menjadi Rp1,43 trilun. Dipastikan angka ini akan berlipat ganda jika jumlah lembar saham yang dimiliki Bukalapak ikut bertambah.
Dalam laporan Emtek tersebut disebutkan, pada November 2015, mereka sepakat untuk kembali menyuntik modal senilai Rp280 miliar. Pada tanggal 13 November 2015, suntikan modal senilai Rp50 juta pun dilakukan. Proses setoran modal dikabarkan akan dibayar penuh pada Januari lalu. Namun sampai saat ini informasi itu masih ditahan oleh kedua pihak. Proses transaksi ini tentunya akan membuat nilai perusahaan Bukalapak kembali meningkat.
Ada satu penyebab kenapa Emtek terus menerus menggelontorkan uang pada Bukalapak yakni kerugian.
Masih dalam laporan keuangan Emtek 2015, terkuak bahwa pada tahun lalu Bukalapak mengalami kerugian mencapai Rp229 miliar. Ini adalah kerugian Emtek terbesar ketimbang investasi pada perusahaan-perusahaan lainnya. Sebanyak 81 persen kerugian yang dialami Emtek terjadi di Bukalapak. Kerugian ini tak selaras dengan pendapatan yang hanya Rp6 miliar. Meski begitu, Bukalapak punya piutang tunggakan di luar senilai Rp10 miliar yang bisa sedikit menutupi kerugian Emtek.
Emtek pun tampaknya tak bisa terus menyubisidi Bukalapak dalam waktu dekat, sebab perusahaan e-commerce ini memiliki liabilitas senilai Rp125 miliar yang harus dibayar dalam waktu dekat. Secara nilai perusahaan, valuasi mereka mungkin bisa mencapai lebih dari Rp3 triliun. Namun, valuasi itu hanya bernilai nominal di atas kertas, bukan berbentuk cash yang bisa diolah untuk mengembangkan bisnis. Bukalapak tampaknya harus mencari investor baru dalam waktu dekat ini, jika tidak ingin status mereka sebagai raja e-commerce model C2C dikudeta oleh Tokopedia.
Tokopedia dan Bukalapak memang sedang bersaing ketat. Riset Asia Nikkei, memaparkan rataan kunjungan per bulan ke situsweb Bukalapak mencapai 2,76 juta. Angka ini lebih baik ketimbang sang kompetitor, Tokopedia yang hanya 1,90 juta. Meski begitu, jika mengikuti tren ekspansi yang dilakukan selama tiga tahun terakhir, Tokopedia sudah terlihat digdaya atas Bukalapak.
Jika menilik dari peringkat di Alexa dan SimiliarWeb, Tokopedia sudah jauh meninggalkan Bukalapak. Di Alexa, Tokopedia ada di posisi 9 sedangkan Bukalapak hanya bertengger di peringkat 14. Sedangkan di SimiliarWeb, posisi Bukalapak melorot lebih jauh ke urutan 18.
Tak hanya itu, dalam soal menggaet investor baru, Tokopedia tampaknya lebih giat bergerilya. Kita tentu ingat saat pada 2014 lalu, mereka mendapatkan pendanaan sebesar $100 juta (sekitar Rp1,2 triliun) dari Softbank Internet and Media Inc. (SIMI), Sequoia Capital dan SB Pan Asia Fund.
Baru-baru ini, TechIn Asia melaporkan Tokopedia memeroleh investor baru yang tak segan mengeluarkan uang senilai $147 juta atau hampir Rp2 triliun. Kabarnya, investor baru ini adalah keluarga konglomerat terkaya Hong Kong, Li Ka-shing yang merupakan bos dari Horizons Ventures.
Setahun terakhir ini Tokopedia adalah salah satu startup yang agresif promosi di berbagai media periklanan, entah itu online atau offline. Data Adstensity mencatatkan sepanjang 2015, anggaran iklan di TV oleh Tokopedia bisa mencapai Rp559 miliar. Angka ini membuat mereka jadi startup uang paling sering muncul di TV. Tak hanya itu Tokopedia pun masuk dalam daftar 10 besar perusahaan yang menghabiskan belanja iklan TV tinggi di bawah Djarum, Sampoerna, Pepsodent, Dettol, Lifebuoy, Frisian Flag, Indomie, dan Mie Sedaap.
Harus diingat biaya sebesar itu belum termasuk pemasangan iklan di billboard, baliho dan spanduk yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Karena itu dapat dipastikan dana segar dari investor sebesar $100 juta banyak tersedot habis untuk bujet pemasaran.
Secara bujet, jika membandingkan Tokopedia dan Bukalapak, Tokopedia memiliki keunggulan dana yang lebih besar. Namun, dana itu lebih banyak dipakai untuk investasi promosi di iklan offline, khususnya TV. Merekalah pionir mempromosikan startup di layar kaca. Hal ini pula yang lalu kemudian ditiru sang kompetitor.
Bukalapak tak bisa meninggalkan TV sepenuhnya. Srategi yang dilakukan Tokopedia itu diakui oleh Head of Marketing Bukalapak, Bayu Sherly sebagai alat yang efektif. “TV masih kami perlukan untuk menggapai penonton yang lebih luas. Kita harus mengakui bahwa orang banyak mengakses TV kalau kita bicara mass audience terutama di daerah," ujar dia.
"TV bagus untuk content delivery. Ketika mereka tertarik mereka akan menuju ke internet. Selanjutnya kehadiran kami di sosial media," sambung dia.
Sayangnya, Bukalapak sudah kepayahan meniru apa yang dilakukan Tokopedia. Hal ini bisa terlihat dari pengeluaran iklan di TV dua rival itu dalam waktu sebulan terakhir. Hampir 60 persen pengeluaran spot iklan itu pun dilakukan di Indosiar dan SCTV, yang notabene masih satu grup dengan Emtek.
Wajar jika dalam pikiran CEO, Bukalapak, Achmad Zacky, dirinya pasti was-was jika kabar investasi baru senilai $147 juta ke Tokopedia itu jadi kenyataan. Saat Bukalapak dan Tokopedia mendapat angin segar investor besar pada medio 2014 lalu, Zacky sempat berbangga diri dan berseloroh “Kalau secara traffic, kita masih jauh lebih unggul."
Dua tahun berlalu, Bukalapak dan Tokopedia masih saling bersaing ketat. Belum ketahuan siapa yang ke luar sebagai juara. Waktulah yang akan berbicara, Bukalapak atau Tokopedia yang akan terus bertahan. Dalam bisnis startup saat ini, sumber kehidupan itu berada di tangan para venture-venture capital.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti