tirto.id - Umur saya belum genap 13 tahun, ketika di suatu Minggu pagi yang damai, 7 Februari 2016, saya dibangunkan suara tidak biasa: suara parau lelaki tua yang menggebrak meja, diikuti derai tawa terbahak-bahak. Dengan kesadaran belum lagi penuh, saya bangun dan membuka pintu kamar di lantai dua rumah Encek (paman tua) di bilangan Meruya, Jakarta Barat.
“Nah, apa gua bilang, tuh, anaknya bangun,” ujar lelaki tua itu bersemangat.
Sebelum ia menaiki anak tangga pertama, saya sudah melangkah turun.
“Yan, hayo kita ke pasar sekarang. Kalau kelewat siang, sudah diserbu orang nanti.”
Saya, yang belum sempat cuci muka atau menyikat gigi, mengikuti langkahnya yang bergegas, mengambil kunci mobil di dekat bufet, dan dalam beberapa detik, saya, paman muda, dan lelaki tua itu sudah meluncur pergi ke Pasar Puri Indah. Jam digital di dashboard sedan menunjuk pukul 06.45.
“Dri, lu minta barang pesanan gua ke Ah Ming, ya. Sudah gua minta dari kemarin,” perintah lelaki tua itu, Engkong, kepada paman muda sesaat setelah kami turun dari mobil.
“Yan, ikut Engkong.”
Menelusuri los-los pasar, Engkong mengajak saya menyambangi los ikan yang baru disambangi dua-tiga orang Encim-Encim dengan cat rambut merah.
“Bandeng paling bagus yang lu bawa, mana?”
Sang penjual segera mengambil satu ekor ikan dengan mata nyalang di dekatnya.
“Potong berapa, Cek?” Engkong menggeleng, dan dengan perintah itu, sang tukang ikan cepat-cepat memasukkannya ke plastik. “Belum naik, kan?”
“Ah, jangan gitu, Cek. Besok Sin Cia, kan. 200, lah. Jangan kurang,” rayu sang penjual.
“Kasih seratus lima puluh gua bawa. Hitung penglaris buat lu.”
“175, Cek. Baru angkut itu, Cek. Tuh, matanya masih bagus.”
Engkong menggeleng.
“Pagi-pagi, 170, Cek.”
Engkong bertahan.
“Ya, pego-pego, lah,” ujar penjual bertekuk lutut.
Dengan senyum mengembang, dua ekor bandeng seberat hampir tiga kilogram itu pun berpindah tangan
Sekembali ke rumah, Ibu dan dua bibi sudah menyiapkan sarapan. Ayah duduk menatap televisi, Encek membalik-balik surat kabar. Dua sepupu yang berselisih umur tidak terlalu jauh dengan saya sudah asyik bermain gawai.
Engkong mengajak saya bergegas ke teras belakang. Di sana, dua ekor bandeng diletakkan Engkong dalam baskom berdiameter 20 cm, lalu air mulai dikucurkan dari keran.
“Yan, kamu cucu tertua di keluarga. Engkong harus ajarin ini, karena sepupu kamu masih kecil-kecil. Kalau nanti Engkong sudah enggak ada, kamu yang harus ajarin mereka.”
Saya mengamati dengan saksama segala sesuatu yang Engkong lakukan pada ikan bandeng itu. Perut dipotong, isinya dikeluarkan, dan air dalam baskom segera menjadi coklat keruh.
“Lemak yang ini jangan dibuang. Ini yang bikin enak,” ujar Engkong sambil menunjuk segaris gumpalan hijau kekuningan di pinggir-pinggir ikan.
Pisau besar segera beraksi. Tanpa tarikan, bandeng itu dipotong dalam hitungan detik. “Bandeng ini jangan ditarik-tarik, nanti dagingnya hancur waktu dimasak. Sekali saja, krak!”
Tak sampai lima menit, seekor bandeng terpotong enam bagian. Satu potong ekor, satu kepala, dan empat badan. “Kita kucuri jeruk dan garam dulu. Tunggu setengah jam. Siap dimasak.”
Saya manggut-manggut sebelum memahami apa yang Engkong maksud dengan kursus bandeng pagi itu. “Sekarang ikan yang kedua, kamu yang bikin. Persis, ya!” Saya terkesiap, dan ragu-ragu.
“Ayo, bisa, ayo. Gampang ini.”
Saya mulai mengikuti langkahnya, dan Engkong memperhatikan. Sesekali petunjuk keluar, “Nah, itu insangnya putusin. Tarik isi perutnya, cuci di air.” Saat saya mengambil pisau besar, Engkong tersenyum sambil mengingatkan, “Hati-hati belahnya.”
Saat enam potongan berhasil saya buat, Engkong berteriak keras ke dalam rumah, “Mei, lihat nih, cucu lu sudah pinter motong bandeng!”
Sampai delapan jam berikutnya sesudah kejutan pagi itu, saya, dua orang paman, dan Engkong bersama-sama memasak lima hidangan untuk disimpan semalam sebelum disantap. Dua belas potong bandeng dipindang dengan sepuluh macam bumbu. Juga ada babi hong; nila acar kuning; angsio tahu; dan tentu saja, sayur asin.
Selagi kami yang di dapur sibuk berakrobat dan melakoni adegan panas di depan kompor, tante, ibu, dan omah trengginas membersihkan rumah, mulai dari garasi sampai gudang. Ayah dan dua sepupu ditugaskan membersihkan guci-guci pusaka, juga memangkas taman alit di depan dan di belakang rumah. Demikianlah, sepanjang hari, rumah Encek begitu ramai dan riuh rendah.
Sepuluh macam bumbu untuk pindang bandeng itu dipersiapkan cermat. Cabai merah besar, bawang merah, bawang putih, seruas kunyit, dan dua ruas jahe dibakar sampai wangi. Lengkuas dan batang serai dimemarkan. Bumbu yang sudah wangi dibakar diulek kasar, campurkan dalam jerangan air. Masukkan ikan, lengkuas, dan serai. Kucuri kecap nomor satu, lantas beri tiga helai daun salam.
Terakhir, bahan rahasia yang menurut Engkong membuat ikan pindang buatannya lebih nendang, adalah potongan belimbing wuluh. “Asamnya lebih ngena daripada asam jawa, lebih kecut dari omelan mertua, ha-ha-ha-ha....”
Sentuhan terakhir untuk semua masakan Sin Cia di keluarga kami adalah kesabaran agar semua masakan itu beristirahat semalaman. Bagi masakan seperti pindang bandeng dan babi hong, ini adalah proses yang esensial untuk membiarkan semua bumbu meresap. Bumbu yang masuk ke serat-serat daging akan memecah protein dan melembutkan masakan daging.
Malam hari, sesudah memasak, Engkong biasa memboyong kami sekeluarga ke sebuah klenteng di Pasar Lama Tangerang, yang berjarak kurang lebih 30 menit dari Meruya. Meski telah dibaptis Katolik sejak remaja, memang sulit bagi Engkong meninggalkan akar-akarnya. Di area kelenteng yang makin ramai saat senja menggelap, Engkong merasa seperti mendatangi rumah keduanya.
Malam itu, selagi kami bermain kembang api di halaman, menonton barongsai, dan memetik angpau, Engkong memasang tiga biji hio di depan altar. Khusuk ia membungkuk, mengingat dan mengenangkan leluhur yang telah berpulang, meskipun tanpa doa atau rapalan sembahyang.
Bintang di Meja
Pagi harinya, sesudah semua anggota keluarga mandi dan berias, kira-kira pukul 09.00, Engkong mulai membuka pintu rumah, dan sanak-semenda dari dua sayap keluarga mulai berdatangan. Sebagai anak sulung, tidak heran Engkong maupun Omah menjadi jujugan bagi adik-adiknya. Tak kurang dari lima belas orang ikut makan bersama kami hari itu.
Sambil mandi dan bersiap-siap, Engkong yang sudah selesai mandi dan menyisir rambut rapi jali mengajari saya cara untuk memanaskan pindang bandeng.
“Buka api kompor, kecil saja, sampai lingkarannya setipis dua gelang karet. Ikannya ditaruh di atas, lalu tinggalkan. Kalau sudah wangi, matikan. Jangan lama-lama, nanti ikannya hancur.”
Saat semua yang ditunggu telah tiba, hidangan yang telah hangat pun dinaikkan ke meja, dimulai dari pindang bandeng yang kemarin saya masak bersama Engkong. “Coba, coba ini. Ini cucu gua yang bikin,” tukas Engkong, diikuti riuh-rendah sahutan tante, akoh, akim, encek, engku, i’ih, dan o’oh yang memuji.
Hari itu, meja makan Sin Cia di rumah kami punya dua bintang: saya dan pindang bandeng.
Sulit mendeskripsikan cita rasa pindang bandeng yang dimasak di rumah kami. Sensasi utama yang terkecap di ujung lidah adalah citarasa gurih-pedas diikuti sensasi rasa asam dan semburat rasa manis kecap yang samar-samar.
Meski berduri banyak, ada semacam keasyikan menyuwir ikan bandeng dengan tekun. Seorang paman begitu tekun menyuwir daging bandeng sedikit demi sedikit, sebelum menyiramkan kuah pindang ke atas piringnya. Dua orang sepupu saya disuapi ibunya masing-masing, karena belum bisa menyuwir ikan yang berduri begitu tipis dan halus.
Ikan yang lembut dan bumbu yang meresap, disantap bersama-sama dengan lauk angsio tahu dan sayur asin, merupakan sensasi rasa yang tiada dua. Gurih-pedas ikan bertemu lembut tahu dan asam sayur asin, menjadi sensasi rasa yang sulit didefinisikan. Demikianpun gurih pedas nila acar kuning yang disuap dengan sepotong babi hong yang gurih-manis. Dua hidangan ikan di satu meja saat Sin Cia memang menjadi kebiasaan. Harapannya, rezeki akan mengalir sama ke dua sayap keluarga.
“Ing, berapa lama lu ajarin dia sampai jago masak?” tanya seorang kerabat.
Engkong terkekeh. “Kagak belajar dia. Gua kerangkeng di dapur, tuh bisa sendiri.”
Jawaban spontan semacam itu menjadikan acara di meja makan menjadi semakin meriah. Kurang dari satu jam, lima hidangan utama telah ludes tak sisa. Percakapan tak lantas berhenti. Perempuan berkumpul di ruang tengah, anak-anak bermain di beranda dan halaman. Engkong bertahan di meja makan. Setelah dibereskan, ia menghidangkan buah potong yang ia siapkan sendiri, mulai dari pepaya, lengkeng, potongan nanas, dan mangga.
Bisa jadi, saya begitu lancar menceritakan Sin Cia 2016 karena satu alasan. Itulah Sin Cia meriah terakhir yang kami rayakan. Akhir tahun 2016, Engkong terserang stroke. Tangan kanannya yang dulu gesit meraih pisau memotong bandeng, lumpuh bersama setengah badannya. Sin Cia 2017 kami rayakan dengan sederhana. Selagi kami menikmati makanan pesan antar, Engkong disuapi bubur di atas kursi rodanya. Di matanya tampak kesengsaraan bahwa tahun baru amat terpaksa dirayakan begitu nelangsa.
Kenangan itu tidak bertahan lama. Agustus 2019, Engkong wafat setelah 3 kali stroke menyerang. Lalu pandemi. Lalu omah terkena Alzheimer. Lalu sepupu-sepupu saya pindah ke luar kota, dan omah tinggal sendirian di rumah Meruya. Saya mulai berkuliah dan praktis tak berhubungan lagi dengan keluarga besar, kecuali say hello beberapa kali.
Sejak itulah, setiap kali memasak pindang bandeng, saya ditawan penyesalan, juga rindu, karena teringat satu hal: tanpa Engkong, Sin Cia tak akan pernah lagi sama.
Editor: Nuran Wibisono