tirto.id - Kepindahan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah disebut hijrah, yang berarti ‘emigrasi’. Ini menjadi titik balik sejarah Islam awal dan kini digunakan sebagai permulaan kalender Islam. Kaum Mukmin tidak lagi menjadi kelompok terpinggirkan dan Rasulullah SAW juga tidak terasingkan secara sosial. Serangkaian teladan dari Nabi Muhammad selama sepuluh tahun di Madinah akan menginspirasi ratusan tahun kehidupan politik, tatanan sosial, dan ekonomi Islam.
Menurut Firas Alkhateeb dalam Sejarah Islam yang Hilang: Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim pada Masa Lalu (2016), yang paling utama dalam kehidupan Nabi Muhammad di Madinah adalah soal perpaduan baru antara emigran dari Mekkah (Muhajirin) dan penduduk asli Madinah (Ansar).
Kaum Muhajirin bukanlah unit kohesif tunggal. Tak ada satu pun klan di Mekkah yang semua anggotanya menjadi Mukmin, maka komunitas emigran terdiri atas kelompok yang beragam, tanpa perlindungan dari klan atau suku. Sebaliknya, kaum Ansar berasal dari suku Aws atau Khazraj, yang terlibat peperangan di oasis itu. Lebih jauh, banyak orang yang tidak tergolong kelompok apa pun, yaitu imigran dari Afrika, Persia, dan Kerajaan Byzantium (hlm. 24).
Salah satu pertanyaan besar bagi kebanyakan Mukmin adalah ke mana loyalitas harus ditumpukan?
Untuk itu, Muhammad mendedahkan bahwa gagasan tua pra-Islam soal kesetiaan sudah usang. Sebagai gantinya, diajukan arti penting kesetiaan kepada negeri Mu’minun. Dalam pandangan Muhammad, tidak peduli apakah seorang Umat Beriman berasal dari Quraisy, Aws, Khazraj, atau bahkan suku Yahudi. Begitu memeluk Islam, mereka menjadi bagian komunitas persaudaraan baru yang berdasarkan keyakinan bersama, bukan keturunan.
Tata politik dan sosial baru di Madinah dikodifikasi dalam naskah yang disebut Piagam Madinah, yang disepakati pada 12 Ramadan tahun 1 Hijriah. Piagam ini memerinci bahwa di bawah otoritas Nabi, Madinah akan menjadi negara berdasarkan hukum Islam. Mu’minun akan menjadi satu unit politik. Lebih jauh, Rasulullah SAW berperan sebagai penengah utama.
Hukum Arab kuno yang menghargai pembalasan atas ketidakadilan dihilangkan untuk mendukung sistem hukum terstruktur berdasarkan hukum Islam. Piagam ini memberikan kebebasan kepada kaum Yahudi untuk menjalankan agamanya, tetapi mereka harus mengakui otoritas politik Muhammad di kota ini dan bergabung dalam kelompok pertahanan bersama, apabila ada serangan dari Quraisy.
Bentuk wahyu yang turun pun berubah untuk menyesuaikan dengan keadaan komunitas Umat Beriman. Ayat-ayat dan surat yang diwahyukan Allah SWT kepada Rasulullah di Madinah cenderung lebih panjang ketimbang di Mekkah. Wahyu yang turun di Madinah biasanya memerinci pelbagai hal, seperti bentuk peribadatan, perpajakan, warisan, serta hubungan antara Muslim dan non-Muslim.
Menengahi Konflik dengan Kaum Yahudi
Alquran memberikan panduan umum tentang bagaimana Mukmin harus bersikap dan bila perlu Nabi Muhammad menjelaskan secara terperinci serta tepat. Namun, Alquran tidak hanya menyoroti aspek hukum dan peranan sosial. Banyak ayat yang turun di Madinah meneroka kisah-kisah nabi terdahulu. Cerita tentang Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, dan Isa, semuanya diterangkan secara detail kepada pengikut Nabi Muhammad.
Dengan kata lain, ayat-ayat itu hendak menjelaskan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir dari serangkaian panjang nabi-nabi sebelumnya dan pesan monoteisme yang dibawanya tak berbeda dari nabi-nabi terdahulu.
Banyak dari kisah itu yang ditujukan kepada kaum Yahudi di Madinah. Di permukaan mereka memiliki banyak kesamaan dengan kaum Mukmin. Kedua kaum itu sama-sama menganut monoteisme. Keduanya menghormati nabi yang sama. Dan, pada awal kenabian, keduanya beribadah menghadap Yerusalem. Akibatnya, beberapa orang Yahudi di Madinah menerima Muhammad sebagai nabinya dan masuk Islam.
Kitab suci Yahudi menjelaskan ihwal Messiah dan, bagi mereka, Nabi Muhammad-lah manusia yang dijanjikan. Akan tetapi, banyak pula yang menolaknya. Pesan tentang kesetaraan dan persatuan seluruh umat Muslim tanpa memperhatikan etnisitas berbenturan dengan kepercayaan kaum Yahudi sebagai "umat yang terpilih".
Sebagian orang mungkin meyakini kenabian Muhammad, tetapi kenyataan bahwa dia bukan seorang Yahudi menjadi problematik bagi mereka yang menganut teologi Yahudi dengan tegas. Perpecahan antara kaum Yahudi yang meyakini dirinya bangsa terpilih oleh Tuhan dan kaum Muslim yang mendukung persatuan umat manusia akan menimbulkan ketegangan serius di dua kelompok ini.
Dalam konteks itulah Piagam Madinah menemukan fungsinya yang paling hakiki.
================
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangkaraya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Ivan Aulia Ahsan