tirto.id - Penasihat hukum Fathur Rokhman, rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Muhtar Hadi Wibowo mengatakan dugaan plagiat yang dialamatkan kepada Rektor Unnes itu menurutnya hanya isu yang sengaja dihembuskan oleh oknum yang ingin membuat gaduh.
Ia menyebut bahwa kasus ini sudah rampung sejak adanya surat resmi dari Rektor UGM yang menyatakan Fathur tidak terbukti plagiat.
“Dinyatakan tidak terbukti [plagiat], tembusan surat ini telah diterima oleh Prof Fathur Rokhman pada bulan April 2020,” kata Muhtar kepada Tirto, Selasa (14/7/2020).
Fathur Rokhman juga berkali-kali menyatakan bahwa ia tak pernah melakukan plagiasi.
“Bagi saya masalah plagiasi karya saya 17 tahun sudah selesai sejak Pak Menristekdikti menyatakan sudah selesai dan tidak ada plagiasi,” katanya.
Surat dari Rektor UGM berbeda dengan putusan Dewan Kehormatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta nomor 2/UNI/DKU/2020 tanggal 9 Maret 2020 yang merekomendasikan terjadi plagiasi atas disertasi dan pencabutan gelar doktor ilmu budaya Rektor Universitas Negeri Semarang, Fathur Rokhman.
Rektor UGM, Panut Mulyono menganggap kasus plagiat tersebut sudah selesai. Ia tak menampik ada putusan dari DKU, tapi enggan menjelaskannya.
“Perkara sudah selesai,” ujar dia singkat, Selasa (14/7/2020).
Seorang sumber di UGM mengatakan, rektor membentuk tim hukum untuk menelaah putusan DKU. Hasil telaah tim rektor mementahkan putusan dan rekomendasi DKU. Putusan DKU juga tidak dibawa ke Senat Akademik UGM. Padahal berdasar Peraturan Rektor UGM nomor 514/P/SK/HT/2015 tentang Dewan Kehormatan UGM putusan diumumkan dalam rapat senat dan putusan DKU merupakan tingkat pertama dan terakhir.
Putusan DKU UGM
Tirto memperoleh salinan dokumen rekomendasi DK UGM nomor 2/UNI/DKU/2020 tanggal 9 Maret 2020. Dalam putusan, DKU memaparkan adanya bukti-bukti plagiat dengan menyebut bagian-bagian yang sama dengan karya lain.
Sejumlah data dan kalimat yang ada di dalam disertasi Fathur tahun 2003 tersebut memiliki kesamaan dengan karya skripsi dua mahasiswanya di Fakultas Bahasa dan Seni Unnes.
Dua skripsi itu milik Ristin Setiyani berjudul “Pilihan Ragam Bahasa Dalam Wacana Laras Agama Islam di Pondok Pesantren Islam Salafi Al-Falah Mangunsari Banyumas” Kemudian skripsi milik Nefi Yustiani, berjudul “Kode dan Alih Kode Dalam Pranatacara Pernikahan di Banyumas”.
Kedua skripsi itu diterbitkan Unnes pada 2001 atau dua tahun lebih dulu sebelum disertasi Fathur diterbitkan oleh UGM. Fathur disebut telah mengutip data dari dua karya skripsi tersebut tanpa mencantumkan sumber.
DKU juga menjelaskan hal-hal yang dinilai memberatkan sehingga Fathur dianggap layak diberi saksi pencabutan gelar. Di antaranya saat pemeriksaan Fathur berbelit-belit dalam memberikan keterangan. Dalam dokumen, Faktur juga mengaku tidak pernah membaca skripsi Ristin dan Nefi, padahal keduanya merupakan mahasiswa bimbingannya.
Selain itu dalam dokumen DKU disebutkan pula saat pemeriksaan Fathur beberapa kali melontarkan pernyataan-pernyataan dengan nada yang mengancam.
DK UGM memutuskan Fathur melanggar sejumlah aturan, yakni Pasal 37 PP 153/2000 tentang Penetapan UGM sebagai badan hukum milik negara; pasal 15 huruf a dan pasal 24 ayat (2) UU 19/2002 tentang Hak Cipta; dan pasal 25 ayat (2) UU 20/2003 tentang Sisdiknas.
“Setelah mempertimbangkan etika, kepatutan, telaah dokumen.. Dewan Kehormatan UGM merekomendasikan terlapor dijatuhi sanksi berupa pencabutan gelar akademik doktor dalam ilmu budaya..” mengutip putusan DK UGM.
Keputusan DKU ini memperkuat hasil investigasi Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi Kemenristekdikti (sekarang Ditjen Dikti Kemendikbud) yang disampaikan pada 2018. Hasil investigasi tim Dikti saat itu menemukan adanya bukti-bukti bahwa Fathur melakukan plagiat.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz