tirto.id - Sejak dibacakan dalam rapat paripurna DPR pada 30 Mei lalu, Pansus Hak Angket KPK terus bergulir di DPR RI. Menurut keterangan anggota pansus dari fraksi PDIP, Eddy Kusuma Wijaya, keberadaan pansus yang memakan anggaran Rp3 miliar itu ditargetkan mampu bekerja selama 60 hari terhitung sejak pekan kedua Juni 2017.
“Setelah 60 hari, kami sudah harus melaporkan kepada DPR. Akan kami pertanggungjawabkan juga di sidang paripurna DPR,” kata Eddy kepada Tirto di Gedung Parlemen, Jakarta, pada 8 Juni lalu.
Dalam periode kerja tersebut, pansus rencananya akan memanggil komisioner dan petinggi KPK, serta para ahli. Eddy mengungkapkan salah satu tujuan dibentuknya pansus adalah untuk membuktikan tuduhan adanya tekanan dari enam anggota Komisi III DPR RI dalam keterangan politikus Partai Hanura, Miryam S. Haryani, yang disampaikan dalam persidangan kasus KTP elektronik beberapa waktu lalu.
“Menurut kami, karena ini menyebut nama-nama Komisi III, berpeluang merugikan Komisi III. Makanya kami ingin KPK memutar rekaman penyidikan tersebut. Kami mau dengar, benar atau tidak Miryam mengatakan seperti itu. Ada yang bilang komisioner, ada yang bilang enggak,” ujar Eddy.
Sampai sejauh ini, setidaknya sudah ada 7 fraksi dan 25 anggota DPR yang menjadi anggota pansus ini. Ketujuh fraksi itu adalah PDIP, Gerindra, Hanura, Golkar, PAN, NasDem, dan PPP.
Dengan mengirimkan 6 orang perwakilan dari fraksinya ke pansus, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto membantah apabila hal itu dinilai sarat muatan politis. “Kami kirimkan anggota-anggota pansus itu sebagai evaluasi. Untuk evaluasi sendiri, kan, sudah biasa. Partai politik, kan, sudah biasa juga dievaluasi oleh rakyat. Lembaga juga tidak apa-apa untuk dievaluasi,” ucap Hasto di Jakarta, pada 11 Juni lalu.
Lebih lanjut, Hasto menilai pengguliran hak angket ini bukan merupakan upaya untuk melemahkan KPK. “Evaluasi adalah hal yang wajar. Setiap lembaga perlu check and balance. Partai politik pun terbuka untuk dievaluasi, dikritik rakyat dan pengamat politik,” tambah Hasto.
Sama halnya dengan PDIP, Golkar juga menyatakan dukungannya terhadap pansus KPK. Tak hanya itu, bahkan salah satu anggota yang dikirimkan, yakni Agun Gunandjar, secara resmi telah didapuk menjadi ketua pansus saat rapat perdana bersama pimpinan, pada 7 Juni lalu.
Agun sendiri merupakan saksi kasus dugaan korupsi KTP elektronik yang beberapa kali sempat dipanggil KPK. Menanggapi hal itu, Agun mengklaim tidak akan adanya konflik kepentingan dalam pansus.
“Saya rasa nggak ada konflik apa-apa. Apapun yang dalam konteks penegakan hukum KTP elektronik, saya jalani, hargai, dan patuhi,” kata Agung seusai rapat pansus hak angket KPK di Gedung Parlemen, pada 7 Juni.
Sebelumnya, politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo pun sempat berpendapat bahwa lembaga antirasuah itu harus dibenahi dan diperkuat, sehingga kinerjanya dalam pemberantasan korupsi bisa berjalan secara efektif.
“Saya berharap rapat pansus angket KPK ini berlangsung terbuka untuk umum dan transparan, sehingga rakyat dan wartawan bisa melihat prosesnya,” ucap Bambang seperti diwartakan Antara pada 7 Juni itu.
Sementara itu, Hanura merupakan fraksi yang sedari awal telah menyetujui adanya hak angket. Bersama dengan PDIP, Hanura menyatakan sikap pro-nya secara terang-terangan sejak rapat antara Komisi III dengan KPK yang berlangsung pada 17-18 April lalu. Saat itu mayoritas fraksi menolak atau setidaknya mengaku masih ingin mengkaji lebih lanjut perihal hak angket ini.
“Hanura mendukung hak angket, tetapi hanya diarahkan pada objektivitas penyidikan, sehubungan dengan adanya isu panas yang dilemparkan bahwa ada penekanan terhadap saksi MH (Miryam S. Haryani) oleh beberapa oknum anggota DPR,” ujar Sekretaris Fraksi Hanura, Dadang Rusdiana.
Fraksi yang Bergabung Belakangan
Berbeda dengan Hanura ataupun PDIP yang sedari awal secara konsisten mendukung bergulirnya hak angket, fraksi PPP, NasDem, dan PAN merupakan nama-nama yang terakhir memutuskan untuk bergabung mengirimkan anggota.
Pada awalnya, PAN tergolong dalam kumpulan fraksi yang menolak dilakukannya hak angket. Akan tetapi terjadi perubahan sikap PAN. Perubahan ditengarai setelah Amien Rais disebut-sebut dalam perkara korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadillah Supari.
Membantah tengara itu, Wakil Ketua Umum PAN Taufik Kurniawan mengatakan pihaknya semata-mata hanya ingin mengawal kinerja KPK. “Tujuannya semata-mata kita ingin kawal agar KPK bisa kembali pada marwah yang sesungguhnya,” ucap Taufik di Gedung Nusantara III, Jakarta, pada 7 Juni lalu.
Alasan serupa juga ditunjukkan NasDem maupun PPP. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh secara terbuka telah memberikan restu bagi para anggota fraksi NasDem untuk menggunakan hak angketnya. Melalui siaran pers pada 3 Mei lalu, Surya mengatakan hak angket merupakan salah satu hak yang melekat pada DPR, di mana itu dapat dilakukan sebagai suatu alat yang berfungsi sebagai pengawasan.
Surya pun turut menegaskan bahwa hak angket itu dilakukan bukan untuk menjatuhkan KPK, melainkan untuk melaksanakan tugas dan fungsi DPR.
Sedangkan dari PPP, yang awalnya hanya didukung kubu Ketua PPP hasil Muktamar Jakarta Djan Faridz, kini telah menyatakan kemantapannya dalam mendukung hak angket.
Lebih kurang sama dengan alasan fraksi-fraksi pendukung lainnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP Arsul Sani juga mengatakan alasan pihaknya mendukung adalah karena berkeinginan untuk memperbaiki KPK, dan bukan mendukung pelemahan sebagaimana gencar diberitakan selama ini.
Seakan sadar akan konsekuensinya dalam mendukung bergulirnya pansus KPK, Arsul mengaku PPP tidak mencemaskan citra partainya. Menurut Arsul, cap negatif terhadap fraksi-fraksi pendukung dikarenakan masyarakat sudah diberi informasi yang berdasarkan prasangka buruk.
Fraksi-Fraksi yang Menolak
Lain halnya dengan 6 fraksi yang secara kompak telah menyatakan kesetujuannya terhadap pansus KPK, internal Gerindra rupanya masih belum se-iya sekata. Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon telah menyatakan bahwa fraksinya akan mengirimkan perwakilan ke dalam pansus.
“Kita melihat, kalau tidak ikut di dalam pansus, berarti kita tidak punya suara. Tidak punya tangan, tidak punya kaki,” ujar Fadli saat ditemui seusai menghadiri acara buka bersama di rumah dinas Ketua DPR RI Setya Novanto pada 5 Juni.
“Kita lihat nanti. Kan kalau kita berada di dalam pansus, kita punya suara. Ikut mengarahkan dan sebagainya. Kita ingin semuanya juga berjalan dengan fair, sesuai koridor. Kita tidak ingin adanya pelemahan terhadap institusi tertentu, tapi kita juga tidak ingin adanya abuse of power,” tambah Fadli.
Dua hari setelahnya, meskipun perwakilan Gerindra hadir ke rapat perdana pansus, namun anggota DPR RI Komisi III Desmond J. Mahesa keluar terlebih dahulu setelah berada di dalam ruangan, tak lebih dari 10 menit.
Saat diklarifikasi mengenai tindakannya itu, Desmond mengaku dirinya hanya menjadi peninjau, dan bukan anggota pansus.
“Gerindra, kan, sudah menarik delegasinya. Jadi saya tadi hanya peninjau saja. Ini sudah keputusan fraksi," kata Desmond di kompleks Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta Pusat, pada 8 Juni.
Di sisi lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat bersikukuh tidak akan mengirimkan perwakilannya ke dalam pansus KPK.
Penolakan dari fraksi PKS sebenarnya telah dimulai sejak Pembukaan Masa Persidangan V DPR RI pada pertengahan Mei lalu. Saat itu, Wakil Ketua Fraksi PKS Ansory Siregar mendesak agar pembentukan pansus hak angket KPK dibatalkan. Ketidaksetujuan itu didasarkan pada pengesahan pengajuan pada penutupan masa sidang DPR 28 April lalu oleh pemimpin DPR, Fahri Hamzah, yang dinilai tergesa-gesa dan sepihak.
“Kami tidak akan mengirimkan wakil. Ini sebagai bentuk konsistensi kami,” ucap Ketua Fraksi PKS Jazuli.
Sikap konsisten juga sedang ditunjukkan Partai Demokrat. Menyatakan tidak setuju sejak awal, Partai Demokrat menilai dibentuknya pansus tersebut dapat berdampak pada pelemahan serta terganggunya kinerja KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Partai Demokrat pun meyakini KPK saat ini sedang memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, serta membutuhkan konsentrasi tinggi dalam penyelesaiannya. “Nanti kalau ada pansus akan sering dipanggil ke DPR untuk penyelidikan dan akhirnya bisa mengurangi waktu kerja KPK. Karena itu Demokrat tidak setuju dengan pembentukan Pansus KPK,” ujarnya.
Di sisi lain, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sampai saat ini masih melakukan sejumlah pertimbangan dan memutuskan. Sedangkan PKS dan Partai Demokrat bersikukuh tidak akan mengirimkan perwakilannya ke dalam pansus KPK.
Saat Tirto mengkonfirmasi soal sikap PKB ini kepada anggota Komisi III DPR RI, Jazilul Fawaid, dirinya terkesan tidak ingin berkomentar banyak. Meski begitu, Jazilul tidak menampik apabila pengkajian terhadap keikutsertaan dalam pansus KPK masih terus berlangsung.
“Saat ini ada (pembicaraan tersebut). Tapi untuk lebih lanjutnya, biar Ketua Fraksi PKB saja yang bicara,” ucap Jazilul kepada Tirto melalui sambungan telepon pada Minggu (18/6/2017) sore.
Sebelumnya, Ketua Fraksi PKB Ida Fauziah telah mengatakan PKB masih belum satu suara soal hak angket. “Konstituen itu terbelah. Itu yang kemudian membuat kita tidak segera memutuskan. Kalau mayoritas, saya tidak bisa hitung. Ada dua pendapat yang berbeda, pokoknya begitu kira-kira,” kata Ida di Gedung Parlemen, Jakarta, pada 12 Juni.
Penolakan Pansus KPK dari Publik
Di luar partai politik, ketidaksetujuan terhadap dibentuknya pansus KPK juga telah disampaikan Ketua Umum DPP Asosiasi Pengajar Tata Hukum Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Mahfud MD. Tak tanggung-tanggung, Mahfud menilai pembentukan pansus itu cacat hukum.
"Cacat hukum karena tiga hal. Pertama, subjeknya keliru. Kedua, objeknya keliru. Dan yang ketiga, prosedurnya salah," kata Mahfud MD saat menggelar konferensi pers bersama pimpinan KPK di Gedung KPK, Jakarta pada Rabu (14/6) lalu seperti dikutip Antara.
Menurut Mahfud, maksud dari kesalahan subjek adalah karena seharusnya hak angket itu ditujukan kepada pemerintah dan bukannya pada KPK langsung. Selanjutnya, apabila mengacu pada Pasal 79 Ayat 3 UU MD3, hak angket DPR berfungsi untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah, bukan lembaga di luar struktur pemerintahan.
Tak berhenti di situ, Mahfud menduga telah terjadi pelanggaran Undang-Undang dalam prosedur pembentukan pansus. "Karena pertama menurut yang disiarkan di media massa pada waktu itu dipaksakan prosedurnya. Ketika itu, masih banyak yang tidak setuju tiba-tiba diketok (Rapat Paripurna DPR),” ujar Mahfud.
"Di dalam Undang-Undang disebutkan materi hak angket itu menyangkut hal penting. Ini (kasus penetapan Miryam sebagai tersangka kesaksian palsu) tidak ada strategisnya dan tidak berpengaruh luas ke masyarakat. Ini masalah biasa saja dan masyarakat juga menganggap pemeriksaan Miryam itu biasa," tambah Mahfud lagi.
Menanggapi Komisi III DPR RI yang keukeuh membentuk pansus KPK, Pakar Hukum dari APHTN-HAN Bivitri Susanti menilai hal itu tak ubahnya pertunjukan politik untuk menekan KPK. “Untuk menunjukkan kekuatannya. Dampak konkretnya ke masyarakat itu tidak ada,” kata Bivitri kepada Tirto pada 8 Juni lalu.
Bivitri pun menjelaskan, sebetulnya Komisi III DPR RI bisa tetap melakukan pengawasan terhadap KPK. Namun dengan digulirkannya hak angket ini, DPR malah memiliki kewenangan lebih dan sifatnya cenderung lintas komisi.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz