Menuju konten utama

Perlu Kebijakan Serius Atasi Overload Lapas, Bukan Hanya Atensi

Lembaga pemasyarakatan itu pada dasarnya adalah pembinaan, bukan justru jadi tempat penjara.

Perlu Kebijakan Serius Atasi Overload Lapas, Bukan Hanya Atensi
Warga binaan pemasyarakatan berada di dalam kawasan Lapas Kelas IIA Kerobokan di Badung, Bali, Senin (4/9/2023). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/Spt.

tirto.id - Persoalan kelebihan muatan atau overload di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) menjadi atensi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kepala negara itu bahkan sudah memanggil Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Mengingat beban kapasitas penampungan tahanan dan narapidana hampir terjadi baik ada di lapas, rutan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), dan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) di seluruh Tanah Air.

Berdasarkan data SDP Publik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, total penghuni tahanan dan narapidana hingga per Kamis (5/9/2024) sudah mencapai 273.263 orang. Sementara total kapasitas hanya mencapai 142.873. Artinya, terjadi overload hampir sekitar 130.390 orang.

Jika dirinci overload total penghuni tahanan dan narapidana terjadi di LPP, Lapas, dan Rutan. Total penghuni di LPP mencapai 6.062 orang sementara kapasitasnya hanya 4.973. Sedangkan, di lapas kapasitasnya hanya 97.108 orang sementara total penghuni tahanan dan narapidananya sebanyak 189.895.

Kemudian, untuk di rutan kapasitasnya hanya 36.295 orang sedangkan total penghuni tahanan dan narapidananya mencapai 74.924. Sebaliknya untuk di LPKA masih dalam kapasitas aman. Total penghuni tahanan dan narapidana hanya mencapai 2.382 orang. Ini masih di bawah kapasitasnya sebesar 4.497 orang.

“Terkait over kapasitas lembaga pemasyarakatan ya, ini pun juga over kapasitas juga memang menjadi atensi Presiden [Jokowi],” kata Supratman Andi Agtas, kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2024).

Jika dicermati, menurut Pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, yang membuat penjara penuh yaitu angka kejahatan yang meningkat dan kurang maksimalnya penggunaan jenis pemidanaan lain selain penjara. Di dalam Pasal 10 KUHP misalnya, sebenarnya dijelaskan bahwa ada lima jenis pidana pokok, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, denda, dan tutupan.

Akan tetapi kenyataannya putusan pidana penjara lebih sering dijatuhkan, sehingga menyebabkan pidana pokok lain sering terlupakan. Bahkan sering tidak disadari juga, kata Fickar, lembaga pemasyarakatan itu pada dasarnya adalah pembinaan, bukan justru jadi tempat penjara.

“Coba dipikirkan "pemasyarakatan" itu intinya pembinaan, lebih baik maling-maling kampung kelas teri tidak usah di penjara, serahkan pada aparat wilayah untuk membinanya. Jadi yang dipenjara itu yang kakap kakap saja,” jelas Fickar kepada Tirto, Kamis (5/9/2024).

Pakar Hukum Pidana Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andini, mengatakan untuk melihat overload terjadi di lapas harus dilihat lebih dahulu narapidana apa saja yang mendominasi ada di sana. Sebab permasalahannya justru ada di sana.

Misalnya, kata Orin, orang terlibat dalam kasus narkotika sebagai pecandu ataupun penyalahgunaan narkotika yang seharusnya direhabilitasi, justru dijebloskan ke penjara. Kemudian, banyak kasus-kasus yang gagal diselesaikan di luar pengadilan sehingga tetap masuk ke lapas.

“Jadi harus dilihat dulu napi yang mendominasi di lapas. Kalau [sekedar] hanya ucapan mendapat atensi ya tidak bisa [selesaikan masalah],” jelas dia kepada Tirto, Kamis (5/9/2024).

Perlu Revisi UU Narkotika

Sekretaris Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Nasional, Gina Sabrina, mengatakan sebagian besar tahanan dan narapidana di Indonesia itu adalah kasus narkoba. Bahkan hampir 70 persen dari kasus narkoba dijerat pidana melalui Undang-Undang Nomor.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Berdasarkan data Direktorat Pengamanan dan Intelijen Kementerian Hukum dan Hak Asasi sebanyak 52,97 persen penghuni penjara, baik narapidana maupun tahanan, adalah mereka yang terjerat kasus penyalahgunaan narkoba.

Secara keseluruhan, saat ini tercatat sebanyak 271.385 orang (data per April 2024) yang mendekam di lembaga pemasyarakatan (lapas) maupun rumah tahanan negara (rutan) se-Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 135.823 orang di antaranya merupakan narapidana dan tahanan kasus narkoba.

“Jadi banyak regulasi sebenarnya tidak perlu diancam pidana penjara dan hampir semua dipenjara. UU Narkotika itu jadi kontributor utama dalam menyumbang orang orang menjadi warga binaan pemasyarakatan. Sudah saatnya pemerintah lakukan perubahan terhadap UU Narkotika,” kata Gina kepada Tirto, Kamis (5/9/2024).

Belum lagi, menurut Gina, hampir rata-rata kasus narkoba sulit untuk mendapatkan bebas bersyarat atau potongan hukuman masa tahanan. Kondisi itu membuat hampir mayoritas tahanan dan narapidana kita didominasi oleh kasus narkoba.

“Pendekatan harus berubah kalau kemarin pendekatannya punitive, sekarang harus dipertimbangkan dengan pendekatan baru salah satunya pendekatan kesehatan misal dengan jumlah tertentu bisa diintervensi dengan kesehatan dia direhabilitasi lalu kemudian tidak perlu sampai masuk penjara,” jelas dia.

Bantuan hukum gratis bagi warga binaan di Ciamis

Direktur BOW dan Partners Prabowo Febriyanto (kedua kanan) dan rekan berbincang dengan warga binaan saat pendampingan hukum gratis di Lapas Kelas II B, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (27/8/2024). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/aww.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengatakan jika pemerintah benar-benar serius mengatasi permasalahan overload rutan dan lapas revisi UU Narkotika harus dilakukan. Hal ini karena overload merupakan masalah utama selama ini dan jelas membutuhkan perhatian lebih.

Pada level perubahan legislasi, pemerintah bersama dengan DPR perlu untuk pertama merevisi UU Narkotika dengan menjamin dekriminalisasi bagi pengguna narkotika. Pendekatan Kesehatan berupa rehabilitasi dapat diberikan kepada yang membutuhkan intervensi atas dasar asesmen kesehatan.

“Dalam draf RUU Narkotika rehabilitasi justru menjadi kewenangan polisi dan BNN, harusnya intervensi dilakukan berbasis kesehatan, berikan kewenangan asesmen dekriminalisasi pada pihak kesehatan, Indonesia memiliki Puskesmas sebagai sistem yang sudah mapan,” katanya.

Dia mengatakan untuk kasus penggunaan narkotika yang tidak membutuhkan rehabilitasi medis di lembaga, presiden dapat menyerukan pada kejaksaan untuk menuntut dengan rehabilitasi rawat jalan, mendayagunakan peran Puskesmas tanpa perlu memindahkan overcrowding rutan atau lapas ke pusat rehabilitasi.

“Presiden dapat menyerukan jaksa untuk menuntut menggunakan Pasal 14a dan c KUHP tentang pidana bersyarat dengan masa percobaan untuk pengguna narkotika, atau syarat rehabilitasi jalan atau pun inap berdasarkan kebutuhan,” jelasnya.

Perbanyak Pidana Alternatif

Selain itu, lanjut Erasmus, dalam jangka pendek untuk mengatasi overload pemerintah perlu perbanyak pidana alternatif pemenjaraan (pidana bersyarat, denda dan lainnya). Untuk tindak pidana paling banyak lainnya semisal pencurian dan penganiayaan (tidak untuk kekerasan seksual) dilakukan pendekatan penanganan kasus dengan pengarusutamaan peran korban bisa dilakukan dengan restorative justice.

Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait. Prinsip dasarnya adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.

Dalam pelaksanaan restorative justice, pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum.

“Ini bisa dilakukan dengan mengutamakan penggunaan ganti kerugian pada korban yang selaras dengan pertanggungjawaban pelaku, bisa dengan memperbanyak penggunaan Pasal 14c KUHP tentang pidana bersyarat berupa penggantian kerugian dengan masa percobaan,” jelas dia.

Kebijakan presiden lainnya, kata dia, juga menjadi penting untuk serukan polisi dan jaksa tidak melakukan penahanan rutan untuk tindak pidana ekspresi misalnya penghinaan. Alternatif penahanan non-rutan dapat digunakan seperti tahanan rumah dan kota.

“Pemerintah juga dapat mendorong penggunaan mekanisme jaminan yang sudah diatur dalam KUHAP,” ujar dia.

Di sisi lain, Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, sedang mengkaji memberikan restorative justice sebagai alternatif untuk menekan penuhnya lapas dan rutan. Pihaknya akan melakukan koordinasi bersama dengan Polri dan Jaksa Agung untuk membicarakan restorative justice. Karena ini perlu supaya ada kesamaan persepsi kepada kedua lembaga yang mempunyai wewenang untuk melakukan itu,

Restorative justice itu perlu penetapan pengadilan atau cukup kebijakan dari penyidik di masing-masing institusi atau mungkin juga di tingkat penuntutan, kan itu yang menjadi persoalan menyangkut restorative justice tadi,” pungkasnya.

Raker Komisi III DPR dengan Jaksa Agung dan Menkumham

Jaksa Agung ST Burhanuddin (kanan) bersama Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Supratman Andi Agtas (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2024). Rapat tersebut membahas Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L) Tahun Anggaran 2025 serta usulan program. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.

Baca juga artikel terkait LAPAS PENUH atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto