tirto.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dan Penasihat Hukum Terdakwa Hevearita G Rahayu alias Mbak Ita, eks Wali Kota Semarang, berdebat soal aliran fee proyek dalam sidang lanjutan perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (5/5/2025).
Perdebatan kedua belah pihak bermula dari kesaksian para kontraktor mengenai adanya setoran commitment fee pada setiap proyek penunjukan langsung atau tanpa lelang yang ada di seluruh kecamatan dan kelurahan se-Kota Semarang.
Jaksa KPK ingin membuktikan apakah fee proyek tersebut mengalir ke terdakwa Mbak Ita dan suaminya, Alwin Basri sebagaimana konstruksi perkara di dakwaan.
Saat bersaksi di sidang, kontraktor pemilik PT Dwi Berkah Insan Mandiri, Gatot Sunarto, mengaku menyetor Rp303 juta sebagai commitment fee untuk 35 proyek di Kecamatan Tembalang dan Candisari.
Fee tersebut diserahkan secara bertahap kepada staf Martono, Ketua Gapensi Kota Semarang--Martono didakwa sebagai pemberi suap dan gratifikasi kepada Mbak Ita dan Alwin.
“Saya setornya ke stafnya Pak Martono," ujar Gatot di hadapan majelis hakim.
Saksi Gatot tak mengetahui apakah uang fee tersebut selanjutnya diserahkan atau tidak kepada Mbak Ita dan Alwin. "Itu, saya kurang tahu," jawabnya saat dicecar jaksa KPK.
Jaksa mengajak saksi untuk fashback mengingat pertemuannya bersama Martono dan pengurus Gapensi Kota Semarang. Pada pertemuan itu, Martono sempat menjelaskan peruntukan commitment fee.
“Waktu pertemuan di kantor Gapensi, fee 13 persen itu katanya untuk 'bose'," ujar saksi Gatot.
Sejurus pernyataan saksi, Jaksa KPK mengejar siapa yang dimaksud "bose" dalam kalimat itu. Namun, saksi mengaku tidak tahu secara pasti dan hanya menjawab dengan perkiraan.
Jaksa KPK masih mengejar keterangan saksi. Ia berupaya merunut ploting paket pekerjaan di mana kuasa pengguna anggarannya para camat dan lurah tetapi fee-nya malah diserahkan ke Martono selaku pihak swasta.
“Saat menemui camat sebagai pemilik proyek, tadi katanya tidak ada penolakan. Berarti sudah di-setting dari awal? Lantas apakah hubungan antara setting dengan posisi bose?" tanya Jaksa KPK.
Ketika jaksa sedang berbicara, penasihat hukum terdakwa langsung menyergah. Ia mengajukan interupsi lantaran menganggap pertanyaan jaksa tendensius, terkesan mengarahkan jawaban saksi.
“Interupsi, Yang Mulia. Menurut kami pertanyaan jaksa itu mengarahkan!" sergah Penasihat Hukum Terdakwa.
"Nggak bisa. Ini bukan mengarahkan," sanggah Jaksa.
Perdebatan keduanya terus berlangsung sampai Ketua Majelis Hakim menyuruhnya diam. "Sudah. Biar kami yang mengambil alih pertanyaan," ucap Hakim Gatot Sarwadi.
Saksi dalam keterangan akhirnya mengaku tidak mengetahui secara pasti siapa yang dimaksud "bose". Namun, ia menduga bahwa sosok itu adalah Mbak Ita dan suaminya.
"(Siapa bose?) yang memberi pekerjaan. (Siapa?) setahu saya Pemerintah Kota Semarang. (Siapa itu?) menurut saya Wali Kota," jawab saksi kepada majelis hakim.
Sebelumnya diberitakan, Penuntut Umum KPK mendakwa Mbak Ita dan Alwin Basri menerima suap dan gratifikasi yang totalnya mencapai Rp9 miliar dari tiga perkara berbeda.
Rinciannya, pertama, Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima suap Rp3,7 miliar atas pengondisian beberapa proyek, salah satunya pengadaan meja kursi fabrikasi SD pada Dinas Pendidikan Kota Semarang tahun anggaran 2023.
Kedua, Mbak Ita dan Alwin didakwa memeras ASN Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang dengan cara meminta jatah hasil iuran pegawai yang totalnya mencapai lebih dari Rp3 miliar.
Ketiga, Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi senilai Rp2 miliar dari hasil pengondisian proyek-proyek penunjukan langsung di kelurahan dan kecamatan se-Kota Semarang. Aliran gratifikasi inilah yang diperdebatkan dalam sidang hari ini.
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz