tirto.id - Peran Brigjen Soeparjo dalam G30S termasuk fragmen Gerakan 30 September 1965 yang memunculkan pertanyaan. Berstatus Brigadir Jenderal, Soepardjo terlibat dalam gerakan yang dipimpin oleh prajurit dengan pangkat di bawahnya, Letkol Untung Syamsuri.
Brigjen Soepardjo termasuk salah satu nama yang tertulis dalam susunan Dewan Revolusi seperti diumumkan Letnan Kolonel Untung pada 1 Oktober 1965 siang melalui RRI Pusat. Dalam susunan itu, Soepardjo disebut sebagai wakil ketua, posisi di bawah Untung.
Soepardjo juga tak menyuarakan penolakan saat pimpinan G30S menyerukan penurunan pangkat kemiliteran di atas Letnan Kolonel. Padahal, hal itu berarti ia harus turun pangkat seandainya G30S mencapai tujuannya.
Pada akhirnya, Soepardjo menjadi bagian dari G30S hingga gerakan tersebut berantakan, sementara karier militernya yang sempat melejit dipastikan tamat. Hidupnya pun pungkas karena vonis Mahmilub 1967.
Di antara yang paling terang dari peran Brigjen Soepardjo dalam G30S ialah upaya sang jenderal mewakili kawan-kawannya untuk meminta dukungan Presiden Soekarno. Usaha Soepardjo tadi berujung gagal karena Bung Karno menolak permintaan itu.
Statusnya sebagai satu-satunya jenderal di lingkaran elite G30S dan berbagai langkahnya usai gerakan ini meletup, memunculkan dugaan bahwa ia tokoh kunci. Namun, dokumen yang diyakini berisi tulisan Soepardjo memuat keterangan sebaliknya.
Di dokumen tersebut, Supardjo malah menyatakan hanya terlibat selama tiga hari dalam aktivitas G30S. Isi dokumen tadi memperlihatkan kebingungannya saat mengamati detik demi detik peristiwa G30S, pengalaman yang mendorong ia menulis autokritik.
"Rencana operasinya ternyata tidak jelas. Terlalu dangkal," tulis Supardjo dalam dokumen bertajuk "Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja G30S Dipandang dari Sudut Militer." Catatan ini dikenal dengan istilah "Dokumen Supardjo."
Siapa Brigjen Soepardjo?
Mustafa Sjarif Soepardjo lahir pada 23 Maret 1923 di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Tidak banyak informasi terkait masa mudanya.
Dia diketahui pernah menempuh pendidikan sekolah pelayaran Jepang di Cilacap semasa Dai Nippon menjajah Indonesia. Julius Pour dalam buku Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul (2011) menyebutkan, di sekolah pelayaran Cilacap, Supardjo termasuk anak muda Indonesia yang berstatus sebagai calon bintara Angkatan Laut Jepang (Kaigun).
Selepas kemerdekaan Indonesia, Soepardjo turut melebur dalam institusi militer republik. Dari catatan A.H Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama (1985), diketahui bahwa Soepardjo sempat berdinas di TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia).
Namun, ia lantas tergabung dengan Divisi Siliwangi yang notabene bagian dari Angkatan Darat. Masuk Divisi Siliwangi, Supardjo ikut pula dalam penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun pada 1948.
Sedari muda, Soepardjo telah dikenal punya bakat mengatur strategi tempur. Dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008:128), John Roosa menulis kepiawaian Soepardjo mulai terlihat pada masa perang kemerdekaan di Jawa Barat.
"Ia menggunakan variasi industrial modern dari taktik kuda Troya. Ia mencegat kereta api, diam-diam menaikkan tiga ratus prajurit ke gerbong-gerbongnya, dan selanjutnya mengejutkan pasukan Belanda yang jauh lebih besar ketika kereta api itu lewat dekat kubu pertahanan mereka," tulis Roosa.
Kualitasnya sebagai ahli strategi pun teruji ketika membantu penumpasan pemberontakan DI/TII Jawa Barat. Kala itu ia menjadi Komandan Korem Priangan di Garut.
Bertugas di Garut yang pada awal 1960-an menjadi basis DI/TII, Soepardjo menerapkan taktik "pagar betis" dengan melibatkan penduduk sipil untuk melakukan penyisiran.
Strategi ini dinilai berhasil mendesak pergerakan pasukan pemberontak ke wilayah yang semakin sempit. Dalam penerapan taktik "pagar betis," Supardjo mengandalkan bantuan dari kader-kader Partai Komunis Indonesia (PKI) yang militan.
Keberhasilannya membantu penumpasan DI/TII di Jawa Barat berbuah kenaikan pangkat bagi Soepardjo. Kedekatan Supardjo dengan PKI diduga mulai terjalin dalam aktivitasnya memberangus pemberontakan DI/TII tersebut.
Menurut Roosa, ada indikasi pola serupa mengawali kedekatan Supardjo dengan petinggi Biro Khusus PKI, Sjam Kamaruzaman. Supardjo dan Sjam sama-sama masuk di lingkaran pelaku inti G30S. Nama terakhir disebut adalah orang dekat Ketua PKI saat itu, DN Aidit.
Pada 1965, beberapa bulan sebelum G30S berlangsung, Supardjo berhasil memiliki posisi tinggi di Angkatan Darat. Jabatan resmi Brigjen Supardjo kala itu ialah Panglima Komando Tempur II dalam Komando Mandala Siaga (Kolaga), operasi militer yang dibentuk ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Di Kolaga, Supardjo kebagian tugas memimpin pasukan yang bersiaga di area perbatasan Kalimantan. Ia bertanggung jawab pada Panglima Kolaga, Laksamana Madya Omar Dani.
Sebelum memegang jabatan itu, ia belajar satu tahun di sekolah staf tentara Pakistan di Quetta. Di sana, Soepardjo pernah menulis sebuah naskah tentang perang gerilya.
Bagaimana Peran Brigjen Supardjo di G30S?
Brigjen Soepardjo masih berada di perbatasan Kalimantan-Barat Malaysia menjelang hari-hari terakhir September 1965. Ia mendadak kembali ke Jakarta pada 28 September 1965 setelah istrinya mengirim radiogram berisi kabar anaknya kritis karena sakit keras.
Hendro Subroto dalam Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengomuniskan Indonesia (1997), mencatat begitu tiba di bandara Pontianak, Soepardjo bertemu dengan Chalimi Imam Santoso, komandan Batalyon I RPKAD, yang juga hendak menuju Jakarta. Ketika ditanya Santoso, ia hanya bilang harus kembali ke Jakarta karena ada panggilan mendadak.
Pengakuan mirip tentang alasan kembali ke Jakarta disampaikan Soepardjo dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) 1967.
Soepardjo juga menyatakan bertemu Panglima Kolaga Laksamana Madya Omar Dani, tak lama setelah ia tiba di Jakarta. Semula ia berniat balik ke Kalimantan pada 1 Oktober, tapi Dani memintanya bertahan sampai 3 Oktober 1965 agar bisa ikut rapat dengan presiden.
Dalam waktu yang berdekatan, Soepardjo pun mengaku bertemu kawan lamanya, Sjam Kamaruzaman. Pertemuannya dengan Sjam berlanjut hingga ia terlibat dalam G30S.
John Roosa, penulis buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) menguji informasi dalam "Dokumen Supardjo" setelah menemukannya di ruang penyimpanan arsip militer Dinas Dokumentasi Museum Satria Mandala, Jakarta.
Analisis Roosa jatuh pada kesimpulan, kendali utama G30S tidak dipegang Soepardjo. Dia menulis, peran Brigjen Supardjo di G30S seperti "sebagai orang luar dan orang dalam."
Soepardjo layak disebut "orang dalam" karena ia berkumpul dengan penggerak inti G30S di lokasi persembunyian mereka, Pangkalan Udara Halim.
Di sisi lain, status "orang luar" bisa disematkan pada Soepardjo karena ia terlibat aktif di gerakan itu selama tiga hari saja: 30 September sampai 2 Oktober 1965.
Keterlibatan yang singkat itu berarti ia tidak turut dalam berbagai rapat perencanaan saat G30S dirancang. Menurut Roosa, terlepas dari benar atau tidak alasan Soepardjo balik ke Jakarta, G30S dapat berjalan tanpa keterlibatannya.
Apalagi, ia tidak punya kendali langsung pada pasukan yang terlibat G30S. Pasukan yang bisa dikontrol oleh Soepardjo berada jauh di Kalimantan ketika G30S pecah.
Posisi itu membuat analisisnya tentang penyebab kegagalan G30S dinilai cukup andal. "Ia dapat mengamati peristiwa-peristiwa [terkait G30S] dari sudut seorang pengamat yang berjarak," tulis Roosa.
Dokumen Supardjo memuat analisis Soepardjo tentang berbagai faktor penyebab G30S berakhir gagal. Dia menilai G30S dirancang dengan perencanaan buruk, termasuk tidak adanya persiapan menghadapi situasi darurat. Fokusnya hanya pada menculik 7 jenderal, dengan harapan aksi itu memicu reaksi berantai di daerah-daerah.
Soepardjo menilai koordinasi di antara pimpinan gerakan, pasukan di lapangan, dan milisi sipil juga amburadul. Dia bahkan mencatat, tidak adanya suplai makanan untuk pasukan G30S merupakan salah satu pemicu kegagalan gerakan tersebut.
Semua kritik Soepardjo ke G30S berhulu pada masalah tidak adanya komando tunggal di gerakan. John Roosa menulis, Dokumen Supardjo menggambarkan G30S dikendalikan 2 kubu: perwira militer dan Biro Chusus PKI. Dua kubu tersebut (Letkol Untung cs dan Sjam Kamaruzaman cs) berbarengan menjalankan gerakan, tetapi tidak berada di bawah garis komando yang ketat.
Nasib Brigjen Supardjo setelah G30S 1965
Brigjen Supardjo baru tertangkap 15 bulan setelah G30S terjadi, tepatnya pada tanggal 12 Januari 1967. Ia lantas divonis hukuman mati oleh Mahmilub.
Vonis untuk Soepardjo tertuang dalam Putusan Mahkamah No.PTS-19/MLB-II/SPD/1967 tanggal 12 Maret 1967. Hidup Soepardjo berakhir ketika ia dieksekusi mati pada 18 Maret 1967.
Operasi khusus yang ditujukan untuk meringkus Brigjen Supardjo adalah Operasi Kalong yang dipimpin Kapten CPM Suroso. Kerap aktif pada malam hari, operasi yang diperkuat pasukan Kompi Raiders Kodam V Jaya itu dinamakan Kalong.
Pasukan Operasi Kalong berhasil meringkus Soepardjo pada suatu subuh menjelang Idul Fitri dirayakan, tepatnya 12 Januari 1967. Soepardjo ditangkap saat bersembunyi di atas loteng rumah Kopral Sutarjo di Komplek AURI Halim Perdanakusuma.
Editor: Addi M Idhom