tirto.id - Penyidik KPK Riska Anungnata dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan merintangi penyidikan kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto dengan terdakwa Fredrich Yunadi.
Dalam kesaksiannya, Riska menyebut ada sejumlah pihak yang tidak dikenal saat Setya Novanto dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau usai insiden kecelakaan.
Ia mengatakan, orang-orang yang diduga simpatisan mantan Ketua DPR sekaligus mantan Ketua Umum Golkar itu tersebar di lantai 3 ruang tempat perawatan.
"Kurang lebih ya kalau itungan kasar saya 30 orang ya. 30 orang yang ada di RS tapi yang di koridor kurang lebih 6-7 orang," kata Riska saat bersaksi di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jakarta, Senin (7/5/2018).
Riska menduga, orang-orang tersebut berkaitan erat dengan keluarga Novanto. "Mereka berada di situ, tentu kalau enggak kenal [pasti] diusir harusnya oleh pihak keluarga. Cuma saya kan tidak tahu pada saat saya datang ke situ saya tidak paham," kata Riska.
Menurut Riska, orang-orang tersebut berada di koridor pintu utama VIP dan pintu samping, bahkan beberapa orang sempat masuk di dalam ruang VIP.
Penyidik yang aktif sejak 2011 itu mengaku, beberapa pihak berusaha mendokumentasikan saat tim penyidik KPK memasuki ruang VIP. Ia pun meyakini pihak yang mendokumentasikan itu bukan lah wartawan.
"Saya yakin tidak [wartawan] ya, karena walaupun saya tidak kenal, saya yakin tidak. Mereka berkumpul dengan keluarga Pak Setnov, ada ajudan yang cewek, ada juga dengan siapa yang saya kenal [...] Adam, Reza saat itu kita lihat di kamar ada dan pakai baju loreng-loreng warna kuning," kata Riska.
Saat di RS, Riska mengaku memperkenalkan diri sebagai penyidik KPK kepada keluarga Novanto. Saat masuk di ruang VIP, ia melihat Setya Novanto (SN) tengah tertidur. "Kita melihat pak SN beliau dalam keadaan tertidur tidak sadar saat itu tidak membuka mata. Di situ kami keluar kami terkait dengan peristiwa kecelakaan siapa yang terlibat saat itu," kata Riska.
Berdasarkan keterangan Riska, sejumlah penyidik KPK sempat mengonfirmasi ke perawat rumah sakit dan mendapat informasi bahwa orang yang menangani Setya Novanto adalah dr. Bimanesh Sutarjo. Mereka pun meminta perawat menelpon Bimanesh.
Selain ke perawat, penyidik KPK pun sempat mengonfirmasi kepada ajudan Novanto, AKP Reza Pahlevi dan meminta semua pihak yang tidak terlibat untuk meninggalkan ruangan.
"Namun ada satu orang yang saya tidak tahu siapa pakai loreng-loreng kuning di dalam kamar. Saya pikir tidak apa-apa karena saya infokan keluar tapi tidak mau keluar dari kamar itu menunggu Reza. Di situ terjadi dialog," kata Riska.
Riska mengaku, penyidik KPK sempat bertanya mengenai kasus kecelakaan Setya Novanto kepada Reza. Usai kecelakaan, menurut Reza, Setya Novanto langsung dibawa ke rumah sakit oleh seseorang bernama Azis Samual.
"Ketika kecelakaan beliau keluar angkut Pak Setya Novanto dimasukkan ke mobil seseorang. Siapa seseorang itu? ditanya Pak Affandi (penyidik KPK) menjawab Pak Azis dia bilang terus dibawa ke mana? Ke rumah sakit terdekat dia bilang seperti itu," kata Riska.
Penyidik pun sempat bertanya kepada Reza apakah kondisi Setya Novanto saat itu mengalami luka-luka. "Reza bilang pada [saya] saat itu 'saya tidak melihat beliau berdarah atau tidak yang penting saya bertugas mengamankan Pak Setnov'," ujar Riska.
Dalam kasus ini, Fredrich didakwa sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung, atau tidak langsung, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
Jaksa mendakwa Fredrich bersama Dokter RS Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo merekayasa informasi medis tentang kondisi kesehatan Setya Novanto, yang mengklaim sakit, usai insiden kecelakaan mobil menabrak tiang listrik, pada 2017 lalu.
Saat itu, Novanto diduga kuat berupaya menghindari pemeriksaan KPK di kasus korupsi e-KTP. Sementara Fredrich, ketika peristiwa itu terjadi, berstatus sebagai kuasa hukum Setya Novanto.
Atas perbuatannya, Fredrich didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto