tirto.id - Kereta anjlok, “masalah” sinyal, “gangguan” wesel, bahkan peristiwa kebakaran rumah di dekat rel, serta beragam masalah lain tak pernah sepi, jika bukan disebut akrab, dari sistem operasi KRL se-Jabodetabek.
Pada awal Oktober lalu, misalnya, KRL jurusan Bogor-Angke anjlok di Stasiun Manggarai persis pada jam puncak, sekitar pukul 08:00. Imbasnya, semua jalur terlambat. PT KAI da PT KCI harus mengatur evakuasi semua penumpang kereta yang melintasi Manggarai, stasiun sentral persimpangan antar-rute.
Tahun ini saja, antara Januari-Oktober, sudah 156 kasus “gangguan sarana” dari perjalanan KRL yang mencapai 950 kali per hari dengan penumpang hingga 1 juta per hari. Ibaratnya: jumlah penumpang adalah deret ukur, sementara jumlah kereta adalah deret hitung.
Masalah klasik ini terus dibenahi oleh PT KCI sebagai operator KRL, termasuk memperluas jaringan. Di selatan Jakarta, KRL sudah menjangkau hingga Rangkasbitung (Banten), dan sisi timur sudah mencapai Cikarang.
Menurut Mega Rusiandi, wakil presiden pelayanan PT KCI, problem sinyal dan infrastruktur adalah tanggungjawab PT Kereta Api Indonesia. Sementara PT KCI bertanggung jawab terhadap penumpang.
PT KCI juga tengah menambah rel di Manggarai untuk mengurai KRL dan kereta jarak jauh. Bila sudah selesai, ujar Mega, masalah mendasar terutama dari Bekasi maupun Bogor bisa beres.
"Itu doang jalan keluarnya, enggak ada lagi,” tambahnya.
Berikut wawancara Reja Hidayat dari Tirto dengan Mega Rusiandi, yang sesekali ditambahi Deni H, manajer pelayanan, di kantor PT KCI, 26 Oktober 2017.
Apa saja masalah lazim yang dihadapi PT KCI setiap hari?
Kalau soal keluhan sebatas pada kenyamanan. Penumpang naik, otomatis kenyamanan menurun. Ini juga akibat pembenahan atau pengembangan stasiun terutama Manggarai dan proyek double-double track (DDT) Manggarai-Cikarang. Bikin andil (keterlambatan) perjalanan kereta api.
Mereka yang komplain karena jadwal kereta tidak pas. Yang lain hampir tidak ada. Masalah pelayanan, penumpang, ticketing—lancar. Paling satu-dua karena faktor kesalahan penumpang sendiri. Yang lazim tiap hari itu peak hour pasti penuh penumpang.
Ada beberapa komplain karena ada yang menyangkut masalah keterlambatan, masalah sinyal. Permasalahan satu gangguan aja efeknya ke mana-mana. Misalnya gangguan dari sisi sarana, itu pasti imbasnya ke mana-mana. Jadi kadang-kadang penumpang mengeluh tiap hari ada gangguan.
Mengenai keluhan penumpang soal kereta tertahan di stasiun, gangguan sinyal dan mogok, apa penyebab sebenarnya?
Masalah infrastruktur dan sarana, kami pasti dirawat. Maka frekuensi gangguan itu turun drastis dibandingkan dua atau tiga tahun lalu karena perawatan kami rutin. Kalau sinyal dan wesel itu di luar kontrol, semuanya Daop (Daerah Operasi 1 Jakarta). Kami lebih ke kereta dan angkut penumpang.
Langkah apa yang sudah dilakukan KCI untuk menyelesaikan masalah tersebut?
Melihat perubahan ke belakang, sangat jauh. Dari kompetensi petugas, training, pemantauan, perawatan di depo, perawatan di jalan—kami lakukan semua. Saat peak hour, orang operasional pasti di lapangan.
Bagaimana KCI menghadapi keluhan penumpang?
Kami membuka saluran komplain 121 yang mengendalikan mereka. Dari sisi handling komplain, kami bisa ditemui langsung.
Ada lagi bila penumpang meningkat tajam, permasalahan juga meningkat tajam. Dari dorong-dorongan sehingga jatuh. Kami punya tenaga pos kesehatan (Poskes) yang responsif di stasiun prioritas. Satu lagi, kami monitoring perjalanan kereta api pertama sampai terakhir. Situasi dan kondisi stasiun melalui control room di Stasiun Djuanda.
Apakah semua stasiun ada Pos Kesehatan?
Saat ini masih di stasiun tertentu, yang menurut kami prioritas dari segi volume penumpang: Jakarta Kota, Djuanda, Gondangdia, Cikini, Manggarai, Bekasi, Bekasi Timur, Cikarang, Kampung Bandan, Duri, Tanah Abang, Tangerang, Kebayoran, Sudimara, Serpong, Parung Panjang, Maja, Rangkasbitung, Sudirman, Tebet, Lenteng Agung, Pasar Minggu, Pondok Cina, Depok Baru, Depok, Bojong Gede, dan Bogor. Di tahun ini kami berencana mengadakan fasilitas mobil ambulance untuk menangani respons cepat.
Dalam sehari, orang pingsan naik kereta pasti ada, terutama di stasiun Sudirman. Langkah apa untuk mengurangi kasus semacam ini?
Nah, komuter saat peak hour tidak ada yang bisa melarang, menolak, atau membatasi jumlah penumpang. Gimana caranya? Saya bingung. Masak saya harus menutup stasiun untuk jumlah tertentu. Enggak bisa.
Masalah kami kumulatif. Kalau ada masalah, satu kena semua. Ada beberapa hal kebijakan atau strategi untuk mengurangi keterlambatan dengan memotong relasi, misalnya keterlambatannya tinggi dari Jakarta ke Bogor. Kalau sudah peak hour, kami potong relasi. Itu untuk mengurangi keterlambatan dan semua diumumkan.
Penambahan stasiun Cikarang berdampak pada keterlambatan warga Bekasi. Benar enggak berpengaruh?
Ini sama hal waktu kami buka Stasiun Rangkasbitung. Ini masalah kebiasaan. Saya pikir memang ada transisi, masa penyesuaian. Salah satu fasilitas yang kami berikan kepada penumpang adalah KRL Access. Jadi penumpang sudah tahu posisi kereta. Penumpang sudah mengatur pola perjalanan sendiri.
Terkait daya angkut dan frekuensi kereta, apa tidak bisa ditambah lagi?
Sampai seberapa pun kami tingkatkan daya angkut, pasti selaras dengan penambahan jumlah penumpang. Ini pesat banget. Contohnya, dua tahun lalu masih 500-600 ribu penumpang, kami tambah frekuensi, pelayanan kami perbaiki, dan stasiun dibuat nyaman. Maka meningkatnya sangat drastis sampai 800-900 ribu penumpang per hari.
Dengan penumpang sebanyak itu, sudah tidak mungkin lagi kereta ditambah. Upaya inovasi dari manajemen adalah menambah gerbong kereta dari SF10 menjadi SF12. Ternyata permintaan penumpang tinggi.
Kalau pulang, teman-teman penumpang bisa mengatur jadwalnya. Tapi kalau pagi jadwalnya barengan, masuk jam delapan atau jam sembilan. Sudah begitu semua. Kalau pulang, kan, bisa bertahap. Memang dilihat di pagi hari penuh dibandingkan sore. Jamnya sudah jelas, jam 7 sudah mulai peak hour.
Kok penuhnya bukan main? Kan, seperti itu. Apalagi hampir semua kondisi jalan di Jakarta dalam pembangunan sehingga kemacetan lebih parah. Pencapaian volume penumpang di hari kerja mencapai 1 juta lebih. Kalau DDT jadi, kapasitas penumpang bisa meningkat.
Jumlah penumpang yang paling tinggi di stasiun mana?
Tanah Abang, tapi tertentu. Rata-rata perjalanan sehari-hari (jam kerja) itu bisa di Bogor. Tapi kalau ada waktu tertentu bisa mencapai 130 ribu.
[Catatan: Data PT KCI soal rata-rata volume penumpang di jam kerja untuk September 2017 per stasiun; Bogor 45.493, Tanah Abang 40.816, Sudirman 29.619, Bekasi 45.483, Bojonggede 34.819, Depok Baru 34.584, Citayam 32.917, Jakarta Kota 20.059, Serpong 7.869, Tanjung Priok 1.155, Tanggerang 17.088, Duri 9.310 penumpang.]
Soal penumpang difabel. Semua stasiun di Jabodetabek tidak ramah terhadap disabilitas, misalnya di Palmerah. Padahal itu stasiun baru. Tanggapan Anda?
Dari sisi infrastruktur ya itu domainnya dari regulator atau pemerintah. Pihak KCI hanya operator, tapi untuk peningkatan pelayanan, pasti kami perbaiki terus.
Sebenarnya untuk Palmerah ada fasilitas untuk disabilitas seperti lift. Fasilitas juga ada untuk ubin disabilitas. Penumpang bisa mandiri, transaksi di loket dan di kereta. Kami juga sudah melatih passenger service di stasiun dengan bahasa isyarat.
Di stasiun, kami sudah menggunakan jembatan penghubung (portable ramp) dari peron ke kereta bagi yang menggunakan kursi roda. Enggak bisa langsung jadi. Sistemnya masih komunikasi antara stasiun keberangkatan dan stasiun kedatangan.
Kami berupaya terus, tapi enggak bisa seperti membalik telapak tangan.
Setiap ujung gerbong ada bangku prioritas untuk penumpang. Tapi praktiknya bangku tersebut bukan diisi oleh penumpang prioritas, malah muda-mudi?
Secara aturan ada dua; yang satu ditunjukkan untuk penumpang, kedua regulasi untuk operator. Kami sudah menyediakan bangku untuk prioritas penumpang. Aturannya sudah ada, untuk penegakan sudah ada, dari imbauan sampai tindakan.
Tapi karena keterbatasan petugas keamanan dalam kereta hanya ada empat, lalu pada peak hour orang enggak bisa bergerak. Itu masih ada kekurangan. Yang kami harapkan kesadaran penumpang bahwa ada aturan yang harus dipatuhi, enggak bisa semena-mena, meskipun sudah membeli tiket.
Ada usulan konsumen untuk bangku prioritas menggunakan kartu khusus. Tanggapan Anda?
Sekarang aturannya juga berjalan. Untuk disabilitas atau berkebutuhan khusus, lansia, ibu hamil. Mereka bisa mendapat bangku prioritas asal mau berkomunikasi dengan petugas kami. Saya sudah tekankan kepada petugas di lapangan mengenai bangku prioritas. Enggak mungkin penumpang datang, lalu punya kartu langsung duduk. Sulit juga.
Sekarang penumpang sudah mulai teredukasi dengan baik. Ada beberapa penumpang yang ngeyel. Yakin saya, ibu hamil langsung diberikan bangku oleh penumpang kereta, khususnya pria. Memang susahnya perempuan dengan perempuan, saya juga pernah hamil. Maka lebih baik berkomunikasi dengan petugas biar dibantu. Ini masalah teknis. Kalau PIN, tidak bisa kontrol.
Terakhir masalah edukasi. Melalui imbauan dan komunikasi. Banyak penumpang yang sudah di kereta, pura-pura tidur. Kalau mereka sungkan, banyak juga penumpang yang membangunkan atau menghubungi petugas. Yang kebutuhan khusus terhadap kursi, penyeberang jalan, penyeberangan antar-peron, kursi roda setiap stasiun sudah ada. Kami tidak diam aja.
Terkait kasus keterlambatan di jam kerja, ada enggak kompensasi PT KCI untuk penumpang?
Dalam waktu tertentu jika keterlambatan cukup tinggi, kami ada kebijakan pengembalian tiket. Kasus kereta anjlok di Manggarai yang mencapai tiga sampai empat jam, penumpang silakan jalan. Atau pengembalian tiket bisa beberapa hari. Jadi kami penuhi hak penumpang.
Untuk mengurangi kemacetan Jakarta, perlu integrasi kereta dengan moda transportasi lain. Bagaimana kondisinya?
Kami konsen terhadap integrasi. Beberapa stasiun menjadi penggagas, salah satunya Tebet. Sudah kami bicarakan sejak 2015. Sudah kami luncurkan dan ditangkap Transjakarta. Ada 29 ribu penumpang di Tebet. Malah kami mencanangkan sekitar 17 simpul integrasi.
Apalagi ada Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), menjadi leader untuk mengintegrasikan antara operator dengan satu sistem perjalanan. Kami menginginkan penumpang terakomodasi setelah turun dari kereta. Sekarang ojek di mana-mana. Halte Transjakarta juga dekat seperti Stasiun Djuanda.
Stasiun yang sudah berjalan integrasi itu di mana saja?
Ada sembilan stasiun yang sudah terintegrasi. Jakarta Kota, Djuanda, Manggarai, Tebet, Palmerah, Pesing...
Penumpang jalur Cikarang dan Nambo mengeluhkan jadwal yang minim, mereka meminta jadwal tambahan. Apakah ini bisa terealisasi?
Enggak bisa karena masalah kapasitas lintas. Kalau sudah ada perencanaan untuk menambah kapasitas lintas lagi pasti akan mempengaruhi faktor lain. Kedua, mengenai masalah permintaan—itu sangat memengaruhi operasi.
Kalau memungkinkan bisa kami lakukan penambahan seperti Tangerang. Tanjung Priok ke Jakata Kota kami tambah. Kapasitas lintasnya bagus, jadi bisa kami tambah lagi.
Kalau Bogor sama Jakarta, 7 menit sudah maksimal. Nambo itu memengaruhi perjalanan di lintas, khususnya Depok sampai Bogor. Perlu pengaturan lagi.
Kalau misalnya Manggarai jadi, itu jadi solusi untuk menambahkan jadwal. Mau melakukan apa pun gampang. Kami enggak diam aja, mulai membangun peron dan perpanjang kereta SF12. Sekarang sudah ada 20 KRL yang formasi gerbong SF12. Kapasitas lintas bukan hanya penambahan perjalanan tapi penambahan kereta.
[Catatan PT KCI 2017: kereta komuter dangan 12 gerbong atau SF12 mencapai 18 rangkaian, SF10 ada 29 rangkaian, dan SF8 ada 27 rangkaian.]
Terkait double-double track, apakah itu solusi untuk kereta jalur Bekasi?
Bekasi, Bogor, yang mau masuk ke Jakarta Kota, loop line, dan sebaliknya. Itu adalah solusi. Sangat membantu dan ini yang ditunggu-tunggu. Enggak bisa lain lagi. Ini masalah infrastruktur.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam