tirto.id - Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lahir pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemudian direvisi pada masa Joko Widodo. Tapi aturan itu masih saja memuat pasal karet yang digunakan untuk memidanakan orang dengan tak seharusnya. UU ITE adalah salah satu warisan SBY yang merusak iklim kebebasan berekspresi, kata Usman Hamid di The Conversation, dan bukan tidak mungkin akan menjadi warisan Jokowi juga.
Mohammad Nuh, Menkominfo era SBY (2007-2009), baru-baru ini mengatakan UU ITE “rasanya dulu tidak begini.” “Dulu kita ingin memberi kepastian hukum transaksi teknologi, tapi kok tiba-tiba urusan caci maki?” katanya.
Dia kemudian mengatakan agar UU ITE tidak membungkam kebebasan berpendapat perlu ada peraturan setingkat pemerintah atau menteri. Atau peraturan itu sendiri yang langsung direvisi agar tidak disalahgunakan lagi.
Pernyataan Nuh memang tepat. Tapi fakta bahwa peraturan ini muncul di era ketika dia menjabat menteri membuatnya menjadi orang yang juga layak mendapat sorotan. Leo Batubara dalam artikel di Dewan Pers pada 2009 bahkan mengatakan Nuh adalah “salah satu otak di belakang UU ITE.”
Pemerintah juga bersikeras mempertahankan UU ITE ketika muncul kasus sangat menggemparkan yang menimpa Prita Mulyasari.
Semua berawal ketika Prita berobat di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang setelah pusing dan panas tinggi pada 7 Agustus 2008. Hasil diagnosis mengatakan Prita membutuhkan rawat inap karena demam berdarah. Pada hari itu, Prita diberi tahu bahwa trombositnya ada di angka 27 ribu–sangat rendah dibanding trombosit normal, 150-400 ribu per mikroliter darah.
Kondisi Prita tidak juga membaik setelah lima hari di RS. Ia mengaku diberi berbagai macam suntikan dan infus yang justru membuat kondisinya makin buruk: pembengkakan pada leher dan sesak napas.
Tidak puas dengan pelayanan yang terkesan lambat dan bertele-tele, Prita akhirnya pindah perawatan ke RS lain di daerah Bintaro, Tangerang Selatan dan meminta hasil pengecekan laboratorium sebelumnya ke RS Omni. Pihak RS kemudian memberikan hasil pengecekan trombosit Prita di angka 181 ribu, bukan 27 ribu.
Prita terus mendesak rumah sakit agar memberikan hasil pemeriksaan laboratorium yang pertama sebesar 27 ribu. Kendati awalnya mengaku tidak ada, RS kemudian meralat bahwa pemeriksaan itu ada di manajemen RS dan butuh waktu untuk menemukannya.
“Sebenarnya hasil lab saya 27 ribu adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik,” kata Prita.
Cerita ini ia kemas lewat surat elektronik dan dialamatkan kepada kerabat dekat beserta pihak RS. Keluhan dan kritik Prita disampaikan dalam forum terbatas (email) dan ia pun melakukan sensor nama dokter yang menanganinya.
Sekitar satu bulan kemudian, RS Omni mengadukan Prita ke polisi dengan dugaan pencemaran nama baik Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Di akhir September 2008, RS Omni juga menggugat Prita secara perdata.
RS Omni juga merogoh duit untuk melakukan pembelaan di dua media nasional. Namun klarifikasi yang didapat publik dari RS Omni hanya: “TIDAK BENAR DAN TIDAK SESUAI DENGAN FAKTA YANG SEBENARNYA TERJADI” tanpa merinci apa saja poin tidak benar yang disampaikan Prita.
Semenjak itu hidup Prita naik turun. Dia dinyatakan bersalah secara perdata pada 11 Mei 2009 dan harus mengganti kerugian materiel-imateriel dengan total Rp 261 juta. Kemudian dia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Tangerang dua hari kemudian. Tidak sampai sebulan kemudian, dia dibebaskan tapi masih menyandang status tahanan kota.
Pada akhir Juni 2009, Prita dibebaskan dari tuduhan pidana oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Setahun berikutnya, kasasi Prita dalam kasus perdata dikabulkan dan dia dibebaskan dari seluruh kewajiban ganti rugi. Tahun 2011, giliran kasasi RS Omni yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung dalam gugatan pidana. Prita divonis bersalah dan hukuman 6 bulan penjara dan masa percobaan satu tahun.
Setahun lagi, pada 17 September 2012, Peninjauan Kembali (PK) Prita akhirnya dikabulkan. Sekali lagi Prita divonis tidak bersalah dan bebas. Bebas sepenuhnya.
Ketika kasus tengah bergulir di 2008, banyak yang menganggap bahwa Prita adalah korban sosialisasi UU ITE dan dijadikan “contoh” penertiban yang bisa dilakukan negara pada warga. Namun Menteri Nuh membantah: “Pemerintah tidak mungkin tega mengorbankan Prita hanya untuk sosialisasi UU ITE.” Tapi dia juga menegaskan bahwa “proses hukum harus dihormati. Semua harus adil, bukan hanya karena Si A atau Si B, tapi sesuai peraturan.”
Kasus Prita merupakan kesalahan pertama dalam implementasi UU ITE, di mana perusahaan yang mendapat kritik bukan membenahi diri tapi justru mempidanakan konsumen yang juga adalah korban. Tapi Menteri Nuh tidak melihat hal ini sebagai potensi bahaya dan karenanya mengatakan tak mungkin merevisi UU ITE saat itu. “UU ITE tidak mungkin direvisi karena sekarang sudah masuk ke fase sosialisasi. Dan karena bukan cuma pemerintah yang buat, tapi juga DPR.”
Tak heran jika kemudian Leo Batubara dari Dewan Pers mengatakan “Depkominfo yang punya 'mainan' itu (UU ITE) justru cuci tangan di atas penderitaan Prita.” Ia juga memperingati bahwa “jika UU ini terus berlaku maka Prita-Prita lain akan menyusul,” prediksi yang menjadi kenyataan bertahun-tahun kemudian.
Kalah oleh Korporasi
Berdasarkan rekap internal dari Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), pengusaha adalah kelompok kedua setelah pejabat yang suka melapor dengan menggunakan UU ITE. Tentu saja selain pengusaha ada pula lembaga profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali yang ikut menjadi pelanggan pasal karet tersebut.
Data dari South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) juga menyebut ada perusahaan yang melapor tidak hanya sekali, tapi dua kali dengan UU ITE. Sebagian besar perusahaan itu mengadu dengan dasar Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik atau defamasi. Hanya satu yang berbeda, mengadu dengan dasar Pasal 28 ayat (2) soal ujaran kebencian.
Korporasi seharusnya tidak bisa menggunakan beleid pencemaran nama baik. Ada beberapa dasar hukum terkait, misalnya UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 (PDF). Salah dua pasal menyebutkan bahwa konsumen punya “hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan” dan juga punya “hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.”
Sayangnya kekuatan undang-undang ini kemudian melemah ketika masuk ke dalam kategori internet atau media sosial, sebab ada aturan lex specialis–UU ITE.
Hal-hal seperti inilah yang membuat banyak pihak mendesak UU ITE direvisi. Pada Juni 2021, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Menkominfo Johnny G Plate menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU ITE. Penandatanganan SKB itu disaksikan langsung oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
Lebih terperinci, delapan pasal yang diperhatikan dalam aturan itu adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36. Dengan adanya pedoman ini, diharapkan tidak lagi ada pihak-pihak tertentu, termasuk perusahaan, menjerat konsumennya sendiri.
Dalam pedoman tersebut dijelaskan “pengertian muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk dan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.” Dalam dua pasal itu, jelas dinyatakan bahwa pencemaran nama baik hanya bisa terjadi pada “seseorang”, bukan lembaga, institusi, apalagi perusahaan. Ini juga diterangkan oleh R. Soesilo dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentar Lengkap Pasal Demi Pasal (terbitan 1994).
Pedoman ini bukan produk hukum sekelas UU, tapi bisa diimplementasikan ke kasus-kasus yang juga tengah berjalan. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono menegaskan SKB ini bisa “dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum di lingkungan Kemenkominfo, Polri, dan Kejaksaan Agung dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.”
Tapi upaya tersebut sia-sia karena kepolisian dan kejaksaan masih saja menggunakan UU ITE untuk menjerat sipil yang berhadapan dengan.
Yang teranyar adalah penggunaan Pasal 27 ayat (3) untuk menjerat Stella Monica, warga asal Surabaya yang menceritakan pengalaman buruknya berobat di klinik kecantikan L’Viors di media sosial. L’Viors mengadukan Stella ke polisi dan jaksa menuntut pidana satu tahun penjara serta denda Rp 10 juta.
Guru Besar Universitas Airlangga yang juga menyusun pedoman UU ITE, Henri Subiakto, menyebut penggunaan UU ITE dalam kasus Stella keliru sama sekali. “Polisi dan jaksa penuntut itu salah semua,” kata Henri kepada Tirto, Minggu (24/10/2021).
Kalau saja Henri yang diundang sebagai saksi ahli dalam kasus itu, dia yakin dapat membeberkan dengan jelas bahwa penggunaan UU ITE tidak tepat.
Henri menegaskan bahwa pedoman justru dibuat untuk menghindari hal-hal semacam ini terulang, yaitu ketika “korporasi mengadukan individu,” namun “implementasinya malah ngawur.” Dia mengatakan jika Stella mau mengadu perusahaan sebagai pelaku pencemaran nama baik itu lebih tepat “karena Stella adalah individu, dia bisa menjadi korban,” tapi “perusahaan tidak bisa menjadi korban.”
PAKU ITE menduga perusahaan bisa memanfaatkan pasal ini dan berlanjut sampai persidangan karena kekuatan finansial. Atau, meminjam istilah Leo Batubara, UU ITE memang kerap kali tentang kelompok “mata air” yang merepresi kelompok “air mata”, antara mereka yang berkuasa melawan mereka yang lemah.
Benar-tidaknya klaim PAKU ITE, perusahaan memang mencoba mendapatkan keuntungan yang sama seperti para pejabat yang melakukan pemidanaan dengan UU ITE: terbungkamnya kritik.
Editor: Rio Apinino