tirto.id - Dalam satu kesempatan, Leo Tolstoy, penyair masyhur dari jazirah Rusia yang digadang-gadang sebagai salah satu penulis terbaik sepanjang masa, pernah berujar sesuatu yang menarik perihal kesabaran dan menunggu.
“Kesabaran adalah tentang menunggu,” ujarnya. “Bukan menunggu secara pasif. Itu kemalasan. Kesabaran adalah terus bergerak ketika semua terasa sukar dan lamban. Dua kekuatan paling besar adalah kesabaran dan waktu.”
Apa yang dibilang oleh Tolstoy ada benarnya. Bahwa menunggu secara aktif adalah sebuah laku yang perlahan harus kita pelajari. Dalam masa yang statis dan diam –atau dalam istilah Tolstoy, lamban– itu kita seperti diuji: bisakah kita tetap sabar dan melakukan hal-hal lain yang memberi banyak manfaat untuk diri.
Ini bisa berlaku juga dalam konteks pemilu. Setelah debat terakhir calon presiden yang berlangsung pada Minggu (4/2), kontestasi politik akan kembali pada masa yang lebih senyap dan lamban, dan ujungnya adalah masa tenang kampanye yang akan berlangsung pada 11 - 13 Februari 2024.
Tepat di sini nasihat Tolstoy bisa kita praktikkan.
Jika di masa kampanye mata dan telinga kita sibuk menelaah terlalu banyak informasi dan gimmick yang berseliweran di media maupun media sosial, di masa tenang seperti sekarang kita bisa menjadikan ini momen untuk menilik ulang visi-misi Presiden secara detail dan lebih mendalam. Ini juga melongok hal-hal penting yang luput dibicarakan secara mendalam di berbagai debat dan perbincangan elektoral.
Salah satunya adalah soal lingkungan. Ini adalah topik vital, tapi sayangnya tidak dibahas dengan lebih mendalam. Padahal permasalahan lingkungan, mulai dari polusi udara hingga deforestasi, terjadi di nyaris seluruh Indonesia. Hal ini dirasakan terutama oleh para pemilih muda.
Pemilu tahun ini memang punya atmosfer berbeda dibandingkan dengan edisi sebelumnya, salah satunya: makin banyaknya pemilih usia muda. Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum, sekitar 55 persen pemilih pemilu 2024 berasal dari generasi milenial dan Z, atau berusia sekitar 17-39 tahun.
Generasi muda ini, berdasarkan banyak riset mulai dari Deloitte sampai Pew Research Center, adalah generasi yang dianggap lebih kritis terhadap isu lingkungan. Hal ini dikarenakan mereka menganggap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim adalah ancaman yang nyata bagi masa depan mereka.
Kenapa anak-anak muda ini, yang kerap disalahpahami sebagai generasi yang cuek dan apolitis, menjadi peduli terhadap isu lingkungan –dan pada akhirnya berpengaruh pada preferensi calon pemimpin mereka?
Pertama, anak muda melihat dan merasakan sendiri dampak dari perubahan iklim. Suhu lebih panas, kekeringan panjang, hingga banjir dan longsor setiap musim hujan. Anak-anak muda ini tidak lagi melihat di layar kaca, melainkan merasakan sendiri pahit buah dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Kedua, media sosial membuat semua informasi kerusakan lingkungan tersebar dengan cepat. Platform ini juga membuat mereka lebih gesit dalam membagi kepedulian kolektif mereka.
Ketiga, ada semakin banyak edukasi lingkungan dan aktivisme di akar rumput yang melibatkan generasi muda. Kerja-kerja jangka panjang ini berhasil pelan-pelan menumbuhkan kesadaran dan mengambil tindakan untuk melindungi lingkungan.
Argumen ini juga diperkuat oleh survei daring dan roadshow ke beberapa daerah yang dilakukan oleh PilahPilih.id terhadap ribuan pemilih muda. Hasilnya mengungkapkan 90 persen responden khawatir terhadap masa depan lingkungan. Artinya, 9 dari 10 anak muda khawatir dengan keberlangsungan lingkungan. Hasil survei PilahPilih memperlihatkan, lingkungan menjadi faktor yang menentukan pemilih muda dalam memilih calon pemimpin tertentu.
PilahPilih lantas membuat senarai apa saja masalah lingkungan yang menjadi kecemasan para anak muda di Indonesia. Di Kalimantan Selatan, misalnya, para anak mudanya khawatir terhadap deforestasi, pencemaran udara, hingga transisi energi bersih. Di Sulawesi Tengah, isu lingkungan yang dikhawatirkan adalah terkait konservasi air, sampah plastik, hingga perubahan iklim. Sedangkan di Papua, dari Barat Daya hingga Pegunungan, masalah sampah plastik jadi salah satu isu besar yang menjadi kerisauan kolektif.
Bahkan, 97% peserta survei berpendapat akan sangat mempertimbangkan dan cukup mempertimbangkan masalah lingkungan saat memilih pemimpin di pemilu 2024. Hasil survei ini semakin menegaskan bahwa pemilih muda punya kepedulian kuat terhadap isu lingkungan.
Hasil survei itu juga memaparkan isu-isu lingkungan yang jadi perhatian anak muda. Dari sana kita bisa tahu bahwa fokus utama anak muda ini adalah masalah sampah plastik. Isu ini menduduki peringkat pertama dengan persentase 35 persen, khususnya oleh anak-anak muda di Pulau Jawa. Angka besar ini menunjukkan bahwa masalah sampah plastik punya dampak besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Di peringkat kedua ada isu perubahan iklim (22 persen) yang rata-rata dirasakan oleh anak muda di kawasan barat Indonesia. Sedangkan di peringkat tiga ada isu pencemaran udara (16%) yang banyak terjadi di Jakarta, Jawa, dan Banten.
Sayangnya, meski isu lingkungan sudah menjadi isu yang urgent, isu ini tak dibahas terlalu dalam di acara-acara resmi seperti debat capres dan cawapres. Maka tak mengherankan kalau 87% pemilih muda merasa isu lingkungan belum dibahas secara mendalam di berbagai forum diskusi politik jelang pemilihan umum. Selain itu, 95 persen responden juga khawatir kalau masalah lingkungan tidak cukup dibahas dalam diskusi dan perdebatan politik jelang pemilu ini.
Pemilih muda dan pemerhati lingkungan yang ikut nonton bareng Debat Cawapres secara langsung dan online bersama GenZ Memilih, PilahPilih.id, dan Bijak Memilih menyoroti acara debat tersebut sebagai forum yang minim substansi. Ketiga Cawapres dianggap tidak menunjukkan keseriusan dalam menangani krisis iklim.
Pemilih muda menganggap mereka hanya terjebak dalam gimik-gimik politik yang seolah untuk kepentingan konten semata. Ini adalah buah dari sempitnya pola pandang yang menganggap generasi muda hanya peduli soal senang-senang dan gimik.
Dalam ajang Pemilu 2024, generasi muda kembali mengingatkan ketiga paslon akan komitmen bangsa Indonesia saat ini dalam melakukan transisi energi menuju energi terbarukan.
Untuk diketahui, pemerintah memiliki target bauran energi terbarukan sebesar 17 sampai 19 persen pada 2023. Itu artinya, presiden mendatang memiliki kewajiban untuk memenuhi target tersebut.
Maka PilahPilih.id mengajak anak muda yang peduli dengan isu lingkungan untuk mendalami lebih jauh rekam jejak dan visi misi para calon presiden. Pergunakan masa tenang untuk menyigi secara dalam apa yang dibawa oleh para calon pemimpin ini, seperti apa visi misi mereka terkait lingkungan. Jangan terjebak pada ilusi gimik dan tren semu. Gimik dan citra yang dibentuk oleh paslon sedemikian rupa tidak akan mampu meminimalisir krisis iklim dan permasalahan lingkungan yang ada di sekitar. isu lingkungan, terutama yang berdampak langsung ke kehidupan sehari-hari harusnya diperbincangkan lebih sering, serius, dan solutif oleh calon pemimpin dan partai politik menjelang pemilihan umum.
Di saat seperti ini, nasihat Tolstoy terasa lebih relevan.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis