Menuju konten utama
Trump Bredel VOA

Populisme Trump yang Membidik VOA dan Kaum Intelektual

7 karyawan VOA bersama serikat pekerja yang mewakili karyawan federal mengajukan gugatan hukum yang menentang penutupan VOA.

Populisme Trump yang Membidik VOA dan Kaum Intelektual
Presiden AS Donald Trump mengangkat salinan Laporan Estimasi Perdagangan Nasional 2025 saat ia berpidato dalam acara pengumuman perdagangan “Make America Wealthy Again” di Rose Garden, Gedung Putih pada 2 April 2025 di Washington, DC. Trump yang menyebut acara tersebut sebagai “Hari Pembebasan” diperkirakan akan mengumumkan tarif tambahan yang menargetkan barang-barang yang diimpor ke AS. Chip Somodevilla/Getty Images/AFP (Foto oleh CHIP SOMODEVILLA / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP)

tirto.id - Sudah sekitar lima bulan kanal-kanal Voice of America (VOA) hening tanpa siaran berita. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari delapan dekade, lembaga penyiaran tersebut tak memberitakan apapun.

Kantor berita internasional milik pemerintah Amerika Serikat (AS) itu selalu menjadi sarana informasi bagi jutaan pemirsanya di berbagai penjuru dunia sejak Perang Dunia Kedua.

Alih-alih menyiarkan program seperti biasa, stasiun TV VOA juga cuman menampilkan secara berulang bumper video bendera AS dan logo VOA. Situs mereka yang berbahasa Indonesia, terakhir menayangkan informasi bertanggalkan 15 Maret 2025.

Semua ini bermula sejak Presiden AS, Donald Trump, meneken perintah untuk melemahkan VOA. Pada medio Maret lalu, Trump menandatangani perintah eksekutif yang menyerukan penghapusan, “komponen dan fungsi non-statuta,” di induk perusahaan VOA, US Agency for Global Media (USAGM), mengurangi badan tersebut, “semaksimal mungkin sesuai dengan hukum yang berlaku”.

USAGM, yang juga mendanai media nirlaba seperti Radio Free Europe dan Radio Free Asia ini akhirnya menghentikan semua program VOA, melarang jurnalis melaporkan berita, dan merumahkan lebih dari 1.300 pekerja. Seperti disarikan dari laman #SaveVOA, tercatat hampir 600 pegawai kontraktor pun mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) buntut perintah eksekutif Trump.

Direktur VOA Michael Abramowitz dalam unggahannya 16 Maret 2025 mengkonfirmasi hal ini. "Saya sangat sedih karena untuk pertama kalinya dalam 83 tahun, Voice of America yang tersohor dibungkam," ucapnya dalam narasi teks.

Namun, tak tinggal diam, tujuh karyawan VOA, termasuk jurnalis asal Indonesia, Patsy Widakuswara, bersama dengan serikat pekerja yang mewakili karyawan federal, dan Reporters Without Borders, mengajukan gugatan hukum yang menentang penutupan VOA dan rencana pemerintah untuk memecat semua jurnalisnya.

Mereka mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Distrik Washington DC dengan nama perkara “Widakuswara v Lake”, yang merujuk pada Kari Lake, tokoh yang ditunjuk Trump untuk mengawasi USAGM dan melaksanakan pembekuan aktivitas VOA.

“Saya dan beberapa kolega saya menggugat Pemerintah Trump karena kami merasa independensi dan anggaran VOA ditentukan oleh legislatif atau Kongres, bukan eksekutif,” ujar Patsy lewat sebuah video yang diunggah di akun X pribadinya, Minggu (24/8/2025).

Dia bilang, gugatannya kini sedang melalui proses banding. Selain mengajukan gugatan tersebut, mereka pun melakukan advokasi ke Kongres AS.

Per Selasa (26/8/2025), USAGM mengambil langkah untuk menerbitkan surat pemberitahuan PHK baru, setelah sebelumnya pada Juni 2025 sempat mengumumkan PHK massal tapi kemudian ditarik kembali karena adanya kesalahan administratif.

Alasan Trum Melumpuhkan dan Membungkam VOA

Jika menilik perintah eksekutif yang ditandatangani, Jumat (14/8/2025), Presiden Trump menguraikan pengurangan jumlah tujuh lembaga federal, salah satunya USAGM. Pengurangan tersebut dilakukan terhadap lembaga-lembaga yang dianggap Trump, "tidak perlu".

Associated Press mewartakan bahwa Trump dan anggota Partai Republik lainnya menuduh VOA memiliki, "bias kiri," dan gagal memproyeksikan nilai-nilai "pro-Amerika" kepada audiensnya di seluruh dunia. Pafahal menurut mandat Kongres, VOA harus bertindak sebagai organisasi berita non-partisan.

Sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengatakan, "Presiden Trump menepati janjinya untuk membuat pemerintahan kita lebih efisien". Katanya, seperti dikutip dari USA Today, "pembayar pajak Amerika seharusnya tidak mendanai propaganda anti-Amerika atas nama jurnalisme".

Sejarah VOA

Melihat historinya, program VOA secara luas sebenarnya dianggap berperan dalam runtuhnya Uni Soviet. Pada akhir tahun 1930-an, AS adalah satu-satunya kekuatan dunia yang tidak memiliki layanan radio internasional yang disponsori pemerintah.

Negara-negara lain secara teratur menyiarkan siaran di luar perbatasan mereka termasuk Uni Soviet, Italia, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang. Pecahnya Perang Dunia II mendorong AS untuk mulai membangun infrastruktur bagi lembaga penyiaran yang didanai pemerintah federal.

Lalu pada 1 Februari 1942, VOA menayangkan siaran pertamanya dalam bahasa Jerman, dengan tujuan menjangkau mereka yang hidup di bawah kendali Nazi.

Menurut informasi di situs #savevoa, mereka menyediakan berita dan informasi dalam hampir 50 bahasa kepada sekitar 354 juta pemirsa setiap minggunya. Media itu memproduksi konten untuk platform digital, televisi, dan radio.

Sejak didirikan pada tahun 1942, VOA berkomitmen untuk menyediakan liputan berita yang komprehensif dan menyampaikan kebenaran kepada pemirsa.

Meskipun dikelola oleh pemerintah, pagar api yang ditetapkan oleh Undang-Undang Penyiaran Internasional AS tahun 1994 melarang pejabat pemerintah untuk mengganggu pelaporan VOA yang, "objektif dan independen".

"Firewall tersebut memastikan bahwa VOA dapat membuat keputusan akhir tentang berita apa yang akan diliput, dan bagaimana berita tersebut diliput," demikian bunyi keterangan di situs VOA.

Trump sebagai Sosok Populis Anti-Elite

Meski tak heran, mungkin masih muncul pertanyaan, mengapa Trump sebagai sosok politisi populis punya kepentingan untuk menutup media yang bakal kritis terhadap pemerintahannya?

Profesor di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Nyarwi Ahmad, menjelaskan, salah satu karakter politisi populis adalah anti-elite.

Selain anti-elite politik yang lain yang menjadi lawannya, anti-elite ekonomi, politisi populis juga anti-elite intelektual. Karena para pekerja media atau jurnalis juga bagian dari kaum cendekia terdidik, menurut Nyarwi, akhirnya itu juga dianggap sebagai bagian dari elite.

Nah, makanya itu saya tidak heran, waktu periode pertama kan dia mengkritik keras media-media yang dianggap tidak sejalan dengan dia–CNN dalam konteks ini. Itu juga saya kira target pertama,” tutur Nyarwi lewat telepon, Rabu (27/8/2025).

Dia berpendapat, karakter politisi populis Trump ada paradoksnya. Dia bukan berangkat dari karangan masyarakat biasa. Akan tetapi dia tahu persis untuk mendapatkan dukungan masyarakat Amerika, maka dia akan mengadopsi strategi populisme.

Donald Trump

Presiden AS Donald Trump membuang maskernya saat diatas panggung pada reli kampanye, kemunculan pertama kali sejak perawatan akibat terinfeksi virus corona (COVID-19), di Bandara Internasional Orlando Sanford di Sanford, Florida, Amerika Serikat, Senin (12/10/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Ernst/FOC/djo

Di tengah isu-isu yang berkembang dan geopolitik dunia yang memberikan ruang luar biasa dalam menguatnya populisme, alhasil Trump konsisten dengan sikap, strategi, komunikasi politik, maupun karakter, yang populis.

“Dan dalam politisi populisme itu kan rata-rata ada karakter yang mirip ya. Karakter pertama biasanya itu people centrism. Jadi dia itu akan concern pada isu-isu –fight gitu ya– yang menjadi concern dari masyarakat. Dan rata-rata bisa terkait ekonomi, terkait dengan lapangan pekerjaan, terkait banyak hal,” ujar Nyarwi.

Hal itu kemudian berhubungan dengan karakter populisme berikutnya, yaitu anti-elitism. Selain itu juga ada kecenderungan anti-imigran, misalnya yang membangun border di Meksiko atau perbatasan.

Akan tetapi, Nyarwi bilang, anti-elitism sesungguhnya adalah hal yang paling menonjol dan sering berbenturan dengan elite-elite penyangga demokrasi.

“Karena anti-elite ini bisa macam-macam. Anti-elite politik yang lain yang menjadi lawannya; dari orang-orang misalnya orang yang dianggap mapan, tapi mewakili orang menengah atas, orang yang kaya misalnya," terang Nyarwi.

Massa Pendukung Trump Serbu Capitol

Seorang pendukung Trump dengan tampilan kuku uniknya, memegang potongan wajah gambar Presiden Donald Trump saat aksi massa 'Save America Rally' pada Rabu, 6 Januari 2021, di Washington. AP / Jacquelyn Martin

"Walaupun dia juga bagian dari itu sungguhnya, tapi dia berusaha membedakan dirinya dengan kelompok-kelompok itu. Terus yang kedua, anti-elite ekonomi, kalau dia nggak setuju, misalnya entah pelaku apa pebisnis, orang-orang bisnis yang dominan yang berseberangan dengan dia juga potensi di-attack atau diserang gitu,” tambah dia

Dan terakhir adalah anti-elite intelektual, yang di dalamnya termasuk media massa. Di samping media, politisi populis pun punya tendensi untuk mengkritik hal-hal yang disampaikan oleh ilmuwan, yang tidak sejalan dengan pemikiran dia.

“Itu juga dikritik, termasuk ekonom mungkin bisa jadi ya, ekonom-ekonom yang melihat kebijakan dia kurang pas juga dikritik. Termasuk ahli-ahli politik luar negeri, diplomat dan lain-lain terkait dengan sikap, kebijakan dia, dalam international affair misalnya, itu juga kesemuanya akan dikritik,” ujar Nyarwi.

Pada akhirnya, pilar-pilar penyangga demokrasi, termasuk media menjadi sasaran. Dan ketika legitimasi media itu sendiri diserang oleh politisi populis dengan narasi "fakenews" dan sejenisnya, di sinilah populis dianggap membahayakan demokrasi.

"Apalagi Trump ini juga berbisnis ya, tentu dia akan berhitung untung rugi, terkait dengan apa sih keuntungan yang bisa didapat dengan mendanai, misalnya VOA dan lain-lain. Nah, itu yang saya kira menjadi bagian dari target efisiensi yang dilakukan oleh Trump, di periode pemerintahnya kedua itu," tutur Nyarwi.

Baca juga artikel terkait KEBIJAKAN DONALD TRUMP atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto