Menuju konten utama

Pelantikan Arief Hidayat Wujud Penurunan Kualitas Hakim MK

Arief Hidayat dinilai bukan sosok negarawan seperti yang disyaratkan di UU No 24/2003 tentang MK karena terbukti dua kali melanggar etik.

Presiden Joko Widodo memberikan ucapan selamat kepada Hakim Konstitusi Arief Hidayat, disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, seusai pelantikan hakim konstitusi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (27/3/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Pelantikan Arief Hidayat sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2018-2023 oleh Presiden Joko Widodo, Selasa (27/3/2018) menuai protes. Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Adeline Syahda menilai, hal tersebut sebagai wujud penurunan standar Hakim MK.

Alasannya, kata Adeline, seorang Hakim MK harus bersih dari segala bentuk kecacatan etika. Sedangkan Arief, kata dia, telah menerima dua kali sanksi etik dari Dewan Etik MK pada April 2016 atas kasus surat katebelece ke Jaksa Agung dan Januari 2018 atas kasus lobi-lobi dengan DPR sebelum fit proper test, Desember 2017.

Selain itu, kata Adeline, Arief juga memiliki catatan-catatan keputusan kontroversial selama menjadi Ketua MK dan Hakim MK periode 2013-2018.

“Idealnya Hakim MK tidak punya kecacatan, dapat menjadi simbol untuk membawa pembaharuan di tubuh MK, di tengah permasalahan yang menimpa MK beberapa waktu belakangan,” kata Adeline pada Tirto, Selasa (27/3/2018).

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Aradila Caesar Ifmaini Idris menyatakan, Arief bukanlah sosok negarawan seperti yang menjadi syarat Hakim MK di Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Alasannya, kata Aradila, karena ia terbukti melanggar kode etik.

“Melantik kembali Arief Hidayat sebagai hakim MK bukan hanya berpotensi merusak dan mencederai marwah Mahkamah Konstitusi, tetapi juga hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga penjaga konstitusi ini,” kata Aradila dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto.

Dengan pertimbangan tersebut, Adeline dan Aradila menuntut kepada Presiden Jokowi agar menarik kembali Surat Keputusan (SK) Hakim MK Arief Hidayat dan meminta kepada delapan Hakim MK lainnya agar tidak memilih yang bersangkutan sebagai Ketua MK dalam pemilihan internal, April mendatang.

Arief tak mau berkomentar terkait desakan koalisi masyarakat sipil yang mempersoalkan Keppres pengangkatan dirinya sebagai Hakim MK. “Saya tidak mau komentar itu. Yang digugat bukan saya, tapi Keppres, silakan saja,” kata Arief seperti dikutip Antara, Selasa (27/3/2018).

Arief menjelaskan, desakan mundur dari berbagai pihak tidak akan menyurutkan dirinya. “Saya tidak terganggu apa-apa, saya enggak komentar. Saya seperti biasa menjalankan amanah,” kata dia menambahkan.

Saat ditanya soal desakan agar delapan hakim MK tidak memilih Arief Hidayat sebagai Ketua MK kembali, ia hanya menjawab singkat: “Jika RPH [Rapat Permusyawaratan Hakim] tidak memilih lagi, saya siap. Saya tidak jadi apa pun siap, daripada di-bully terus.”

Keputusan Kontroversial Arief Hidayat

Selama menjadi hakim konstitusi dan Ketua MA, Arief kerap mengeluarkan putusan kontroversial. Salah satunya, ia pernah menolak gugatan uji materi Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 tahun 2015 tentang objek Hak Angket DPR. Keputusan tersebut dinilai sejumlah pihak menguatkan dugaan lobi-lobi politik antara Arief dengan DPR di Hotel Midyana Plaza, sebelum pelaksanaan fit and proper test di Komisi III.

Selain itu, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya ada lima putusan MK yang mengakomodir terduga, tersangka, dan mantan terpidana korupsi, serta memberikan dampak buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.

Pertama, perluasan objek praperadilan. Misalnya, pada 28 April 2015, MK telah mengabulkan permohonan uji materi Pasal 77 huruf (a) KUHAP yang memperluas objek praperadilan yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pacific Indonesia yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung.

Padahal, Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya mengatur bahwa pengadilan berwenang memutuskan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.

Namun, melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2015, MK memutuskan untuk memperluas objek permohonan praperadilan, tidak saja tentang keabsahan penghentian penyidikan dan penuntutan tetapi juga menambah tiga hal baru yang termasuk dalam objek praperadilan, yaitu: penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Kedua, putusan MK yang mengabulkan permohonan agar Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan. Akibatnya, mantan narapidana dapat mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Ketiga, putusan MK yang mengabulkan permohonan Anna Boentaran, istri Djoko D Tjandra, buronan dalam perkara skandal korupsi cessie Bank Bali. Dalam konteks ini, Jaksa tidak diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. Putusan MK ini tentu menutup peluang bagi Jaksa untuk mengajukan PK terhadap vonis bebas dalam perkara korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap, tetapi dinilai kontroversial.

Keempat, MK mengabulkan gugatan Abdullah Puteh terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, sehingga mantan terpidana korupsi seperti Abdullah Puteh dapat mengikuti pilkada di Aceh.

Kelima, MK juga mengabulkan seluruh gugatan terkait penafsiran “pemufakatan jahat” yang diajukan Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI sekaligus politikus Golkar yang sedang dalam proses penyelidikan di Kejaksaan Agung.

Dalam permohonan lainnya, MK juga telah menerima sebagian gugatan uji materi yang diajukan oleh Setya Novanto terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.

Dikabulkannya permohonan uji materiil yang diajukan oleh Setya Novanto berimbas pada penghentian proses hukum penyelidikan perkara korupsi skandal “papa minta saham” yang ditangani oleh pihak Kejaksaan Agung. Kasus “papa minta saham” pun akhirnya kandas.

DPR Tidak Kompeten Dalam Lakukan Fit And Proper Test

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai, dalam hal ini kesalahan terdapat pada Komisi III DPR yang meloloskan Arief dalam fit and proper test, bukan pada Presiden Jokowi.

Menurut Refly, proses fit and proper test Arief di DPR tidak memenuhi prinsip transparansi, partisipatif, objektif, dan akuntabel. DPR, menurut dia, terlalu terburu-buru dalam melakukan fit and proper test dan tidak melihat potensi sosok lain sebagai peserta.

Seharunya, kata Refly, DPR mengikutsertakan calon lain agar proses fit and proper test menjadi akuntabel. “Urusan nanti Arief yang terpilih lagi ya yang penting proses akuntabelnya itu terpenuhi," kata Arief.

Refly membandingkan proses tersebut dengan fit and proper test Jimly Asshidiqie pada 2008 yang mengikutsertakan calon Hakim MK lainnya, yakni Hariyono, Mahfud MD dan Akil Mochtar.

Maka, dalam hal ini, Refly mendesak DPR agar melakukan fit and proper test ulang Hakim MK dengan mengikutsertakan calon lain agar lebih akuntabel dan meminta kepada MK agar melakukan pemilihan ulang terhadap Ketua MK.

“Menurut saya sesuai preseden selama ini pemilihan ulang. Kan masa jabatan Ketua MK berakhir seiring dengan berakhirnya masa jabatan dia periode pertama,” kata Refly.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Junimart Girsang menyatakan, proses fit and proper test di Komisi III telah berlangsung sesuai dengan prosedur yang diatur UU MD3. “Kami melakukannya secara terbuka. Ada panelis. Apa lagi yang salah?” kata Junimart, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (27/3/2018).

Junimart menyatakan, saat itu memang hanya nama Arief Hidayat yang masuk ke DPR. Sehingga, Komisi III melakukan fit and proper test dengan satu calon. "Enggak ada itu nama Saldi Isra dan yang lain,” kata Junimart.

Dalam fit and prope test saat itu, kata Junimart, Komisi III juga telah mengklarifikasi kepada Arief terkait kasus surat katebelece dan sejumlah keputusan kontroversial yang dilakukannya selama menjadi Hakim MK.

“Dia bisa jawab semua. Panelis meloloskan. Jadi tidak ada itu penurunan kualitas," kata Junimart.

Lagi pula, kata Junimart, Arief belum tentu menjadi Ketua MK lagi dan tidak memimpin semua persidangan konstitusi. Sehingga, menurut dia, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Dia kena sanksi etik ringan. Harus mundur kan kalau sedang atau berat," kata Junimart.

Komisi III, kata Junimart, tidak mungkin melakukan fit and proper test ulang seperti yang disarankan Refly Harun. Karena menurut Junimart, hal itu tidak diatur dalam UU MD3 dan keputusan Arief sebagai Hakim MK telah diketok di Paripurna DPR.

“Nanti lucu dong kalau kami fit and proper test ulang. Bisa dianggap tidak kompeten dong kami," kata Junimart.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Hanura, Syarifudin Sudding menyatakan, fit and proper test ulang hanya mungkin dilakukan jika MK meminta kepada DPR secara resmi. "Kan sampai sekarang MK juga tidak ada itu surat masuk minta fit and proper test," kata Sudding kepada Tirto.

Berbeda dengan keduanya, Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra, M Syafii menyatakan, dalam proses fit and proper test Arief memang terdapat keganjilan. Menurut dia, saat itu fraksinya telah mengusulkan agar mengikutsertakan calon lainnya sebagai bentuk objektivitas.

"Karena dengan pensiunnya Arief kan membuka peluang bagi Hakim MK yang baru," kata Syafii kepada Tirto.

Namun, kata Syafii, usulan tersebut ditolak oleh mayoritas fraksi lainnya setelah sempat melalui lobi dan terjadi deadlock. Sehingga, kata dia, saat itu Gerindra memutuskan untuk walk out dan tidak bertanggung jawab atas segala keputusan fit and proper test.

Menurut Syafii, kekhawatiran Gerindra tersebut pada akhirnya terbukti dengan sanksi etik yang diterima Arief pada 11 Januari 2018 atau selang sebulan dari pelaksanaan fit and proper test.

"Saya kira hakim yang istilah wakil tuhan, kalau sudah melakukan pelanggaran etik sampai ditegur ya mbok tahu dirilah supaya mundur," kata Syafii.

Baca juga artikel terkait HAKIM MK atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz