Menuju konten utama
Sidang Tahunan MPR RI

Pelajaran Sejarah Toleransi dalam Pidato Ketua MPR

Zulkifli Hasan mengajak segenap peserta sidang untuk mengingat hubungan berbagai tokoh pendiri bangsa lainnya yang kerap berbeda pandangan, agama, dan ideologi tetapi tetap saling menghargai.

Pelajaran Sejarah Toleransi dalam Pidato Ketua MPR
Presiden Joko Widodo memberi salam sebelum menyampaikan pidato kenegaraan saat Sidang Tahunan MPR Tahun 2017 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Para pendiri bangsa kerap berbeda ideologi dan berseberangan pendapat, tetapi di luar itu hubungan pribadi bisa berlangsung mesra, saling menghormati, dan tidak menyimpan dendam satu sama lain. Pesan ini menjadi poin penting pidato Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan pada Sidang Tahunan MPR, Selasa (16/8/2017).

Dalam pidato yang disampaikannya pasca-Presiden Jokowi memberikan pidato tahunan dalam rangka peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-72, Zulkifli menegaskan pentingnya toleransi dan kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dalam bingkai narasi pertemanan para pendiri bangsa.

Baca juga: Persahabatan Lintas Ideologi Natsir Kasimo dan Leimena

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengisahkan relasi mesra antara Ketua Umum Partai Katolik Indonesia Ignatius Joseph Kasimo dengan para pimpinan partai Masyumi yang berideologi Islam.

Mulanya, Zulkifli menceritakan persahabatan antara Kasimo dengan Ketua Umum Masyumi Muhammad Natsir. Kata Zulkifli, keduanya tetap bersepeda bersama setelah berdebat sengit di parlemen, Kemuidan dia juga mencontohkan hubungan antara Kasimo dengan pimpinan Masyumi Prawoto Mangkusasmito

“Pak Prawoto, mantan Wakil Perdana Menteri dan saat itu menjadi Wakil Ketua Konstituante, adalah pribadi yang jujur, berdedikasi, dan sangat sederhana. Ia tak kunjung memiliki rumah. Ketika hendak membeli rumah yang sudah lama ia kontrak, Pak Kasimo membantunya,” ujar Zulkifli.

Baik Partai Katolik maupun Masyumi memang kerap berbeda pandangan dan berdebat sengit dalam berbagai forum di Konstituante. Dalam sejarah Indonesia, Kontituante dibentuk untuk merumuskan dasar-dasar negara. Perdebatan sengit terjadi antara yang menginginkan dasar negara Islam dan dasar negara Pancasila. Masyumi menginginkan Islam menjadi dasar negara, sedangkan Partai Katolik (juga Partai Nasional Indonesia) menginginkan Pancasila.

Selanjutnya, Zulkifli mengajak segenap peserta sidang untuk mengingat hubungan berbagai tokoh pendiri bangsa lainnya yang kerap berbeda pandangan, agama, dan ideologi tetapi tetap saling menghargai.

“Kita juga ingat persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta yang tetap hangat dan akrab, meski mereka berbeda pandangan yang tak ada titik temunya tentang demokrasi. Kita juga ingat kisah persahabatan Pak Simatupang dengan Pak Kasman dan Pak Prawoto ketika sama-sama bergerilya akibat agresi Belanda. Kita juga ingat kisah Buya Hamka bergegas untuk mengimami solat jenazah Bung Karno kendati telah dipenjarakan tanpa proses peradilan,” ungkap Zulkifli.

Baca juga: Sukarno dalam Polemik Piagam Jakarta

Menurut Zulkifli, keteladanan para pendiri bangsa tersebut penting untuk dipelajari lagi sekarang sehubungan dengan kondisi Indonesia yang memprihatinkan akibat abai pada keteladanan para Bapak Bangsa kita. “Kita kurang empati pada sesama anak-anak bangsa. Selalu menganggap diri yang paling benar,” ungkap Zulkifli.

Di akhir pidatonya, Zulkifli mengutip pernyataan Muhammad Natsir, “Dan dasar satu-satunya bagi satu bangsa, ialah tidak persamaan agama atau persamaan keturunan, tapi bersamaan keyakinan hidup, bahwa bangsa itu mempunyai tanah air yang satu, dan bernegara yang satu.”

Baca juga artikel terkait PIDATO PRESIDEN atau tulisan lainnya dari Husein Abdul Salam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdul Salam
Penulis: Husein Abdul Salam
Editor: Yuliana Ratnasari