tirto.id - Popularitas bisa menjadi nikmat terbesar bagi seorang seniman, apalagi di era di mana media sosial bisa membuat nama dan karyanya makin moncer. Meski demikian, berbekal hukum kebebasan berekspresi, dunia maya juga bisa jadi tempat mahakejam. Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah pesohor yang kerap jadi korban komentar negatif akhirnya menyerah dan menyatakan diri untuk menonaktifkan akun media sosial mereka.
Baru-baru ini penyanyi asal Britania Raya Ed Sheeran menyatakan akan mengakhiri cuitannya di Twitter. Penyanyi kelahiran Halifax, 17 Februari 1991, itu berkata pada awak media bahwa batas kesabarannya telah habis. Hari-harinya belakangan ini dipenuhi dengan cuitan-cuitan bernada negatif yang membuatnya sakit kepala, dan tentu saja amat mengganggu proses kreativitasnya dalam bermusik serta membuat suasana hatinya buruk sepanjang hari.
“Aku benar-benar akan tak berhubungan lagi dengan Twitter. Aku tak sanggup lagi untuk mengikuti apa yang ada di dalamnya. Kemarin-kemarin aku sempat melongoknya sebentar, namun isinya cuma hal-hal yang menyakitkan hati,” katanya kepada The Sun.
“Twitter benar-benar panggung yang tepat untuk melakukan hal itu. Cukup satu komentar saja untuk bisa merusak harimu. Itu mengapa aku memilih pergi saja. Kepeningan hebat di kepala terus ada selama aku berusaha mencari pemahaman mengapa orang-orang bisa membenciku sedemikian besarnya,” imbuhnya.
Ed kemudian menyebutkan faktor penyebabnya, yakni sebuah kecelakaan kecil saat ia menjalani sebuah wawancara dan tiba-tiba diserang oleh sejumlah penggemar Lady Gaga yang menyebut Ed sedang menjelek-jelekkan penyanyi favorit mereka. Padahal, Ed sama sekali tak sedang mengomentari Lady Gaga. Namun api terlanjur menyebar di ruang komunikasinya dengan para penggemar di Twitter.
Budaya cyberbullying atau tindak intimidasi dan/atau kekerasan verbal (bahkan visual) tumbuh dalam diri netizen, seakan keduanya tak bisa dilepaskan satu sama lain. Para psikolog menyebut para pelakunya sebagai trolls:monster yang bersembunyi di kegelapan dan mengancam orang lain.
Kasus Ed membuktikan bahwa trolls bisa menyasar orang dalam status tinggi, bukan hanya menyasar mereka yang dianggap lemah dan rendah. Trolling berdasar pada anonimitas, ketidaktampakan, dan tak harus bertemu pihak-pihak yang disasar. Psikolog menyebutnya dalam istilah “online disinhibition effect”.
Ed juga bukan pesohor satu-satunya yang jadi korban lalu memutuskan untuk mematikan akun medsosnya. Justin Bieber, misalnya, sempat menghapus akun instagramnya pada 16 Agustus 2016 akibat komentar negatif penggemar terhadap hubungannya dengan Sofia Richie. Penyanyi yang dulu meroket lewat lagu “Baby” itu takut apinya tak terkontrol.
“Aku akan membuat akun Instagramku menjadi pribadi jika kalian tak menghentikan kebencian yang semakin tak terkendali ini. Jika kalian benar-benar penggemar, Anda tidak akan bersikap demikian kepada orang yang Anda suka,” demikian ancam Bieber di salah satu postingan Instagramnya.
Lalu beberapa lama kemudian, Bieber benar-benar menonaktifkan akun Instagramnya. Sikap ini pun bukan yang pertama kali. Pada 2013, ia menyatakan berhenti Twitteran, tapi beberapa lama kemudian aktif kembali—meski akunnya dicurigai bukan akun asli.
Diserang Gerombolan Rasis dan Misoginis
Itu adalah Bieber yang ngambek karena orang-orang mempermasalahkan kehidupan pribadi. Beberapa pesohor lain sempat menutup akun medsosnya karena persoalan yang serius menyangkut budaya rasisme hingga sikap misoginis.
Lena Dunham, misalnya, sempat menyatakan akan menonaktifkan akun Twitternya pada 2015 setelah menerima kekerasan verbal dan “body-shamming.” Kala itu ia menyatakan akan tetap mencuit tapi melalui orang lain. Namun kini akunnya telah aktif kembali. Lena Dunham adalah penulis sekaligus aktris utama dalam serial Girl yang mengangkat isu seputar perempuan. Masalah sikap misoginis juga yang menyebabkannya muak hingga berniat keluar dari lingkaran medsos.
Persoalannya bermula dari foto unggahannya di Instagram yang menampilkan Lena memakai beha olahraga dan celana dalam pacarnya. Lena sendiri telah mengonfirmasi bahwa foto tersebut bukan gambar yang tak senonoh. Namun kemudian muncul komentar-komentar yang bagi Lena “debat menjijikkan tentang tubuh perempuan, dan lama-lama Instagramku siang itu jadi kanal penghubung bagi para misoginis.”
Tak ada definisi yang baku terkait “fat shaming”. Namun, pada dasarnya “fat shaming” adalah kritik yang dilancarkan kepada para orang-orang gemuk dan para pengidap obesitas agar mereka malu akan kondisinya.
Tujuan awalnya sesungguhnya mulia, yakni agar orang-orang yang kelebihan berat badan itu bisa mengubah gaya hidup serta pola makan “kembali ke jalan yang benar”. Sayang, misi suci ini tak menemukan kanal yang tepat di internet. Budaya bullying di dunia maya yang begitu mengakar membuat “fat shaming” hanya menjadi ajang olok-olok, ejekan, dan pelecehan bagi orang-orang gemuk.
Sebagaimana virus diskriminasi dan intimidasi lain, sasaran “fat shaming” kemudian menjadi bias. Sasaran para netizen tak hanya ditujukan pada para penderita obesitas, tapi semua orang yang sekiranya terlihat gemuk dan bullyable. Lena, yang memang memiliki tubuh sintal, jadi salah satu diantaranya. Apalagi selama ini ia kerap menyindir sikap para misoginis selama berakting di serial Girl.
Leslie Jones adalah aktris sekaligus komedian Amerika Serikat keturunan Afrika-Amerika. Selama ini ia dikenal mengisi acara Saturday Night Live (NFL) dan menjadi bintang di beberapa film seperti Sing dan Masterminds. Tahun lalu ia berkesempatan untuk menjadi salah satu pemeran Ghosbusters (versi perempuan). Sayang, di Twitter, muncul banyak ujaran-ujaran kebencian bersifat rasis yang ditujukan untuknya.
Film Ghosbusters telah menjadi perbincangan bernada negatif oleh para misoginis di media sosial sebab dianggap tak pantas diperankan oleh pemeran perempuan. Trailernya di kanal YouTube bahkan menjadi promosi film dengan jumlah tombol tak suka (disliked) terbanyak dalam sejarah. Persoalannya menjadi lebih personal bagi Leslie sebab ia juga jadi sasaran orang-orang rasis yang tak suka dengan keberadaannya di film.
Kemuakan Leslie berujung pada penonaktifan akun Twitternya pada suatu hari di bulan Juli 2016. Para penggemarnya, dan juga sejumlah pesohor Hollywood lain, kemudian memberikan dukungan lewat tagar #LoveforLeslieJ. Dukungan tersebut rupanya berhasil mengubah pendirian Leslie untuk kembali aktif di Twitter, terhitung tiga hari sejak akunnya pingsan.
Rasisme adalah perkara laten di AS dan di banyak negara. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh lembaga think tankDemos yang berfokus pada analisis konten media sosial selama sembilan hari di bulan November 2012. Mereka menemukan kira-kira ada 10.000 penggunaan istilah rasis di mana 500 hingga 2.000 di antaranya ditujukan kepada individu.
Dalam cuitannya, Leslie menyatakan rasa sedih atas komentar rasis yang ia umpamakan seperti perkataan anak kecil yang dungu. Ia membayangkan para pelakunya pasti memiliki kebencian yang amat banyak di dalam dirinya sendiri sehingga perlu menyalurkannya kepada Leslie. Serangan kepada Leslie tak hanya berwujud kata-kata, tapi juga dalam bentuk foto bahkan video.
“Video, saudara-saudara. Niat sekali mereka,” ujarnya.
“Dulu aku bertanya-tanya kenapa sejumlah selebriti tak memiliki akun Twitter, tapi sekarang aku bisa memahaminya. Kau tak bisa dengan mudahnya jadi orang baik dan berkomunikasi normal dengan para penggemarmu di medsos. Kenapa? Sebab banyak orang-orang gila di sana.”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani