tirto.id - Gelombang penolakan UU Cipta Kerja makin masif sejak disahkan pada Senin (5/10/2020) lalu. Kritik terhadap DPR RI dan Pemerintah membanjiri media sosial. Pun dengan ribuan buruh di pabrik-pabrik berbagai daerah mogok dan menghentikan produksi di pusat perputaran kapital. Aksi perlawanan juga rencananya digelar di Jakarta, kemarin (8/10/2020).
Salah satu alasan mengapa masyarakat menolak peraturan ini adalah karena betapa tertutup pembahasannya, selain alasan substansial lain seperti merusak lingkungan dan semakin dikebirinya hak-hak pekerja.
Ketertutupan ini dimulai oleh Presiden Joko Widodo sendiri.
Pada 7 Februari lalu, Jokowi mengirim Surat Presiden (Supres) kepada DPR RI yang meminta mereka memprioritaskan pembahasan RUU Cipta Kerja. Lima hari setelahnya, 12 Februari, beberapa menteri yang ditugasi oleh Jokowi datang ke DPR RI menyerahkan draf RUU.
Supres itu digugat oleh koalisi masyarakat sipil ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dengan nomor 97/G/2020/PTUN.JKT. Mereka menilai ada pelanggaran prosedur dari penyusunan RUU Cipta Kerja. Pemerintah dinilai tidak melibatkan publik saat menyusun draf padahal jelas-jelas peraturan itu akan berdampak luas bagi masyarakat.
Koalisi juga menilai Pemerintah mengabaikan prinsip yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ketika buruh dan masyarakat sipil lain dihambat, pengusaha justru sebaliknya. Partisipasi mereka dibuka lebar-lebar. Buktinya, Pemerintah membentuk Satgas Omnibus Law yang langsung dikepalai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani. Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjadi pengarah.
Total ada 127 orang yang dipilih untuk menginventarisasi masalah dan memberikan masukan terkait omnibus law.Sebagian besarnya pengusaha.
Alasan lain Supres Jokowi digugat ke PTUN karena draf RUU Cipta Kerja diserahkan berbarengan dengan Naskah Akademik (NA). Semestinya NA dibuat terlebih dulu sebelum RUU dirancang, dibentuk, dan dibahas.
Dilanjutkan DPR Si Tukang Stempel
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan seharusnya Pemerintah membuka akses draf RUU itu kepada publik--termasuk mengundang pihak-pihak terkait untuk memberikan masukan--sebelum menyerahkannya kepada DPR.
Saat pemerintah menyerahkan draf pada 12 Februari, kata Fajri, seharusnya DPR menolak karena partisipasi publik belum banyak terjaring. Dengan begitu DPR menjalankan kewenangannya: memastikan proses legislasi partisipatif.
Namun, DPR tetap menerima dan justru mempercepat prosesnya.
"DPR-nya juga enggak menolak. Jadi memang DPR ini nurut banget sama Presiden untuk RUU ini, padahal mereka yang punya kewenangan," kata Fajri saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (7/10/2020) siang.
Pembahasan oleh Badan Legislasi DPR RI setali tiga uang. Pembahasannya berjalan tertutup, mengabaikan protes publik, dan diskriminatif. Penggarapannya pun dikebut.
PSHK memberikan banyak catatan yang menunjukkan pembahasan RUU Cipta Kerja cacat formil dan serampangan. Preseden pembahasan yang ugal-ugalan sudah terjadi ketika rapat kerja pertama pembahasan RUU Cipta Kerja langsung memutuskan membentuk panitia kerja (panja).
Proses pembahasan RUU yang berasal dari usulan Pemerintah seharusnya diawali dengan pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) di tahap rapat kerja, katanya. Tetapi yang terjadi adalah DPR hanya satu kali menjalankan raker dan langsung masuk ke tahap panja padahal DIM belum dibahas, bahkan fraksi-fraksi belum siap dengan DIM-nya.
Dengan kata lain, sampai sini saja ada banyak tata tertib yang diterabas.
Kemudian, rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sempat dilakukan dalam masa reses dan di luar hari kerja. Selain itu juga sempat dilakukan di hotel luar DPR. Bagi PSHK, itu menyalahi aturan.
Pertimbangan atas kesepakatan dan persetujuan pelaksanaan rapat DPR dalam masa reses, di luar waktu rapat, serta di luar DPR inilah yang tidak pernah dipublikasikan kepada publik. Publik tidak paham mengapa pembahasan RUU Cipta Kerja begitu cepat dan cenderung dipaksakan, padahal substansi pengaturannya sangat kompleks dan mencakup beragam isu.
Ruang partisipasi yang tersedia juga hanya formalitas tanpa makna. Rapat-rapat yang disiarkan langsung hanya yang bersifat pemaparan, bukan pengambilan keputusan.
Proses pengesahan RUU Cipta Kerja pada Senin lalu juga dinilai janggal. Bahkan publik tak bisa mengetahui apa isi peraturan itu karena sampai beberapa hari disahkan dokumennya tak juga tersedia di laman resmi. Publik hanya dijejali narasi bahwa informasi yang berkembang di media sosial tidak benar tanpa bisa dapat memverifikasinya langsung.
UU Cipta Kerja juga semakin sulit dipahami, terutama bagi masyarakat yang tidak terbiasa membaca peraturan, karena jumlah pasal yang banyak dan dituliskan dengan format omnibus.
Semua catatan ini digenapi dengan tak adanya kebijakan penutupan kantor selama tiga hari sesuai PSBB DKI Jakarta setelah pada akhir Juni lalu ada 10 orang yang positif COVID-19 di DPR RI.
Atas dasar itu semua Fajri mengatakan "PSHK menegaskan bahwa DPR malah jadi tukang stempel di pengesahan RUU ini."
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino