tirto.id - Menjelang pemberlakukan new normal atau kelaziman baru di Indonesia, elemen masyarakat menyuarakan kritik. Apalagi kurva kasus positif Corona atau COVID-19 di Indonesia masih menanjak terus.
Berdasarkan laporan harian kasus Corona di Indonesia, pada 28 Mei terdapat penambahan 687 kasus, sehingga totalnya 24.538 orang sejak kasus pertama pada 2 Maret. Sedangkan jumlah pasien sembuh 6.240 dan meninggal 1.496 orang.
Kritik berdatangan, di antaranya dari Ketua DPR RI, Puan Maharani. Putri Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri ini meminta Presiden Joko Widodo agar tidak buru-buru menerapkan new normal, karena setiap tempat kerja punya karakteristik masing-masing seperti pasar, mal, dan sekolah.
Hal itu memerlukan aturan berbeda-beda, sehingga perlu adanya kajian sebelum menerapkan new normal.
"Kemudian kemampuan rumah sakit untuk menguji, mengisolasi serta menangani tiap kasus dan melacak tiap kontak," tuturnya, dilansir dari Antara.
Puan juga meminta penjelasan kepada pemerintah Indonesia terkait prediksi kurva COVID-19 ke depan agar rakyat tahu perkembangannya.
Ia juga mendesak penyusunan langkah-langkah antisipasi jika muncul gelombang baru Corona setelah penerapan new normal.
Sementara Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak istilah new normal atau kelaziman baru.
Konsep itu diyakini tidak akan berhasil untuk sektor industri karena saat ini bahan baku untuk produksi tak ada. Tanpa new normal, buruh juga tetap bekerja.
Ia mencontohkan industri yang bahan bakunya mengandalkan impor. Kenyataannya tak ada impor masuk seperti tekstil yang mengandalkan kapas. Sebaliknya, industri dalam negeri yang mengekspor juga mengalami penurunan produksi.
"Fakta ini menjelaskan, kenormalan baru tidak akan efektif. Percuma saja menyuruh pekerja untuk kembali masuk ke pabrik. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan, akibat tidak adanya bahan baku,” kata Said, seperti dikutip dari Antara, kemarin.
Ia juga mengatakan, tanpa adanya new normal, sudah banyak buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bukan New Normal, tapi New Abnormal
New normal merupakan wacana pemerintah Indonesia untuk menjaga performa perekonomian di tengah pandemi Corona. Sektor ekonomi Indonesia terpuruk akibat Corona.
Pada kuartal I pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 2,97 persen, meleset dari target 4,5 persen-4,6 persen. Prediksi kuartal berikutnya hampir sama buruknya karena hantaman Corona. Sepanjang 2020, perekonomian Indonesia diprediksi berkisar 2,3 persen.
Penularan virus SARS-CoV-2 di dunia dan Indonesia memicu orang untuk menghindari kerumunan, berada di dalam rumah dan mengurangi interaksi antarmanusia. Konsekuensinya sektor ekonomi terpukul karena mobilitas manusia berkurang drastis di saat pandemi.
Di tengah situasi tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan protokol hidup sehat. Di antaranya rajin cuci tangan, tetap menggunakan masker di luar rumah, dan menjaga performa kesehatan dengan kecukupan vitamin C dalam tubuh.
Semua protokol tersebut wajib dijalankan bagi industri dan perusahaan yang menjalankan new normal di masa mendatang.
Ada 4 provinsi di Indonesia dan 25 kabupaten/kota yang akan menjalankan new normal. Provinsi Jawa Barat bakal jadi yang pertama menerapkan new normal pada 1 Juni mendatang.
Meski demikian, keraguan tetap muncul di masyarakat. Selebritas Sophia Latjuba mengaku tetap akan tinggal di rumah saat pemberlakuan new normal.
“Terus terang sih no [untuk aktivitas saat new normal]. Saya akan di rumah,” kata dia saat memandu diskusi relawan peduli transparansi penanganan Corona di Indoneisa, Laporcovid-19 via Instagram, kemarin.
Sophia sadar umurnya kini di atas 45 tahun, sehingga ia mengikuti anjuran pemerintah untuk tetap di rumah meski masa depan pekerjaannya belum jelas karena mengharuskan berhadapan dengan kamera.
“Saya akan tetap jaga keluarga,” ujarnya.
Ia menganggap kondisi new normal tak ubahnya dengan beberapa bulan lalu saat kasus pertama diumumkan.
“Kalau personal, jangan anggap ini kurvanya sudah turun. Ini masih kondisi seperti bulan lalu,” ungkapnya.
Namun, ia tak melarang orang yang beraktivitas saat new normal, termasuk anaknya yang sudah dewasa.
“Saya pesan ke anak saya [agar hati-hati] anggap semua orang ada virusnya. Saya berharap pemerintah lebih tegas lagi [untuk tangani Corona],” imbuhnya.
Relawan Laporcovid-19 yang juga Ketua Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia, Ahmad Arif menilai, kondisi ke depan lebih tepat disebut new abnormal atau kondisi tak normal. Alasannya, pandemi yang belum mereda bukan berarti orang bisa bebas ke mal seperti saat sebelum ada wabah.
Menurut dia, bagi negara yang masuk ke new normal harus ada syaratnya. Negara harus bisa memastikan wabahnya terkendali. Di antaranya kurva melandai dan selama 14 hari ada penurunan kasus secara signifikan.
“Pemeriksaan yang dilakukan itu juga harus cukup banyak. Ini belum jelas terlaksana, tapi wacananya udah kenceng,” ungkapnya.
Salah satu indikator new normal adalah penurunan angka penularan virus atau reproduction rate (RO) di bawah 1 yang berarti 1 orang penderita Corona tidak menulari orang lain. Saat ini, angka RO Indonesia adalah 2,5 artinya satu penderita bisa menularkan ke 2,5 orang.
Arif mengingatkan agar pemerintah Indonesia bisa mengendalikan wabah saat ada pembukaan tempat kerja yang dibarengi dengan jaminan penurunan persebaran virus.
“Kalau wabah tidak dikendalikan, bukan lagi new normal, tapi bencana baru,” tegasnya.
Mengapa Tempat Ibadah Tak Ikut Dibuka?
Wabah Corona tak hanya berdampak pada sektor ekonomi. Peribadatan umat Islam yang mayoritas menjadi penduduk Indonesia juga terkendala dengan adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Masjid sebagai tempat ibadah utama mengalami penutupan hingga pembatasan akibat Corona. Selama menjalankan ibadah tahunan Ramadan, sebagian besar umat Islam mengikuti anjuran pemerintah Indonesia.
Setelah ada wacana new normal, muncul pertanyaan mengapa di satu sisi, mal dan tempat perbelanjaan mulai dibuka, sementara masjid dan tempat ibadah masih harus ditutup. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, kemarin.
“Hal ini berpotensi menimbulkan ketegangan antara aparat pemerintah dengan umat dan jamaah. Padahal ormas keagamaan sejak awal konsisten dengan melaksanakan ibadah di rumah, yang sangat tidak mudah keadaanya di lapangan bagi umat dan bagi ormas sendiri demi mencegah meluasnya kedaruratan akibat wabah COVID-19,” jelanya via rilis.
Atas dasar itu, Haedar di antaranya meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menjelaskan dasar kebijakan, maksud dan tujuan new normal dari aspek utama yakni kondisi penularan COVID-19 di Indonesia saat ini.
Ia juga meminta penjelasan terkait konsekuensi terhadap peraturan yang sudah berlaku, khususnya PSBB dan berbagai layanan publik. Serta jaminan daerah yang sudah dinyatakan aman atau zona hijau yang diberlakukan new normal.
“Semuanya perlu keseksamaan agar tiga bulan yang telah kita usahakan selama ini berakhir baik,” kata Haedar.
Kritik senada diungkapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas. Ia berkata kebijakan new normal ini tak bisa dengan gegabah diterapkan.
Jika pemerintah tetap menerapkan new normal pada saat data penyebaran virus belum melandai, maka jumlah kasus Covid-19 justru bakal meningkat tinggi.
Pria yang akrab disapa Gus Yaqut ini berkata ada tiga hal yang harus diperhatikan pemerintah sebelum menerapkan new normal di tengah pandemi COVID-19. New normal bisa terjadi, kata dia, pertama kalau tren penambahan kasus baru semakin kecil.
“Artinya ada kendali dari pihak otoritatif yang menyatakan bahwa penambahan kasus baru itu semakin kecil," kata Gus Yaqut seperti dilansir situs internal Ansor.
Kedua, jumlah pasien yang sembuh juga semakin banyak. Ketiga, penyebaran Covid-19 ini bisa dikendalikan dengan tes, tracing dan isolasi.
"Ini harus ada jaminan. Kalau tiga hal ini tidak bisa diberikan, maka new normal tidak berdampak apa-apa selain menambah buruk situasi," ujar Gus Yaqut.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz