tirto.id - Pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal I (Q1) 2020 hanya mencapai 2,97 persen. Nilai itu mendarat jauh dari target kuartal I yang diharapkan mencapai kisaran 4,5-4,6 persen. Itu saja masih dengan catatan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 bisa menyentuh 2,3 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani lantas menyoroti tren penurunan konsumsi yang memburuk di kisaran 2,84 persen, padahal biasanya masih tumbuh di kisaran 5 persen. Kontribusi konsumsi pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencakup hampir 57 persen setara Rp9.000 triliun.
Menurut Sri Mulyani, porsi Jakarta dan Pulau Jawa sendiri berkontribusi 55 persen dari PDB Indonesia. Jika 10 persen PDB konsumsi itu turun, maka dampaknya akan langsung terasa.
Sri Mulyani mengatakan penyebabnya adalah penerapan work from home (WFH) dan physical distancing selama pandemi COVID-19. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi penyebaran Corona dengan konsekuensi aktivitas di luar rumah sejak pekan kedua Maret 2020 berkurang drastis.
Ia pun tak memungkiri kuartal berikutnya akan lebih buruk lagi karena adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“[Pertumbuhan] Q2/2020 kami prediksi akan lebih buruk. Seperti kita lihat Q2 mulai April-Mei 2020 PSBB sudah lebih masif ke berbagai daerah,” ucap Sri Mulyani dalam telekonferensi bersama wartawan, Jumat (8/5/2020).
Meski demikian, Sri Mulyani belum ingin mengubah target mengejar pertumbuhan 2,3 persen di akhir tahun. Ia menyatakan bansos menjadi salah satu strategi pemerintah mengantisipasi hal ini, terutama melakukan ekspansi sehingga bansos bisa mencakup 60 persen masyarakat Indonesia yang terdampak.
Ia bilang bansos senilai Rp65 triliun hingga Rp110 triliun memang tidak bisa mensubtitusi semua penurunan, tetapi paling tidak bisa meminimalisasinya. Namun, diakui Sri Mulyani penanganan COVID-19 menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintah mengupayakan pertumbuhan ekonomi kembali naik.
“Kalau situasi semakin meningkat, kita harus terima dampak ekonomi dan konsumsi, maka bansos harus diperluas dan efektif,” katanya.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman menilai dampak pada pertumbuhan ekonomi seharusnya tidak sebesar itu. Pasalnya, pengurangan aktivitas ekonomi baru terjadi pertengahan Maret 2020. PSBB sendiri saja baru dimulai paling cepat 10 April 2020 di DKI Jakarta.
Ia lantas menduga ada persoalan lain yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama menjadi terpuruk.
“Artinya pondasi dan bantalan ekonomi kita sangat rapuh sehingga saya melihat ke depan jangka pendek ini cukup riskan,” ucap Rizal dalam siaran live di akun Youtube Indef, Rabu (6/5/2020).
Dari hasil simulasinya, Rizal mengatakan pertumbuhan ekonomi selanjutnya jelas akan memburuk dengan memperhitungkan capaian pada kuartal 1/2020. Pada kuartal 2/2020, ia memprediksi pertumbuhan akan mengalami kontraksi 0,15 persen dengan kondisi sangat berat dan minus 0,69 persen pada kondisi sangat berat sekali.
Sejalan dengan Sri Mulyani, ia juga yakin konsumsi rumah tangga akan terus turun. Prediksinya, kurtal 2/2020 konsumsi rumah tangga bisa menyentuh minus 1,54 persen bahkan minus 2,08 persen jika sangat berat sekali.
Menurut Rizal, guna mempertahankan daya beli, pemerintah tetap perlu memperhatikan tren pengangguran dan PHK agar tak sampai meningkat dan praktis memukul pendapatan masyarakat. Namun, sayangnya, ia malah mendapati secara sektoral industri kurang menyerap investasi. Hal itu terlihat dari anjloknya investasi dalam Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang hanya mentok di angka 1,7 persen, atau melambat dari kuartal 1/2019 yang masih 5,03 persen.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia pada 23 Maret lalu justru mengklaim investasi kuartal 1/2020 masih tumbuh 5 persen. Padahal, di sisi lain aktivitas industri tampaknya terus menurun. Pada kuartal 1/2020, ekspor sudah anjlok di angka 0,24 persen dan bisa melambat lagi sampai kontraksi 5,75 persen dan 8,87 persen. Impor pada kuartal 1/2020 sudah terkontraksi 2,19 persen dan kontraksi berpotensi semakin dalam di kisaran 7,9 persen dan 10,71 persen.
“Kebijakan insentif stimulus fiskal harusnya tidak hanya mempertahankan konsumsi. Setidaknya investasi juga harusnya bisa bergerak,” ucap Rizal.
Indonesia Bisa Resesi?
Senior Economist Samuel Sekuritas Indonesia Ahmad Mikail menilai nasib pertumbuhan ekonomi ke depan bakal banyak bergantung pada penanganan COVID-19. Persisnya: seberapa lekas pemerintah bisa menekan penyebaran COVID-19, sehingga PSBB bisa segera dilonggarkan.
Ia memprediksi pada kuartal 2/2020 pertumbuhan ekonomi bakal menyentuh kontraksi minus 0,3 persen. Penyebabnya adanya PSBB secara meluas di periode ini dan capaian kuartal 1 yang jauh lebih rendah dari perkiraan banyak orang.
Bahkan, menurut Ahmad, perlambatan pada kuartal 1 ini berpotensi berlanjut di kuartal 2. Ia bilang pada kuartal 3 Indonesia masih bisa tumbuh positif di angka 1,2 persen tapi itu dengan syarat angka kasus COVID-19 sudah menurun dan PSBB sudah dilonggarkan.
“Kalau PSBB baru dilonggarkan September 2020 dan Q3 masih ada PSBB, bisa jadi kita menuju resesi. Definisi resesi itu dua triwulan (Q2 dan Q3) berturut-turut ekonomi kita kontraksi. Tapi mudah-mudahan tidak,” ucap Ahmad dalam siaran live di akun Youtube Samuel Sekuritas, Rabu (6/5/2020).
Sejalan dengan itu, ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri pernah menyatakan Indonesia harus berbenah dalam penanganan COVID-19. Menurut Faisal, dengan tren penanganan pandemi yang terkesan bertele-tele, sulit jika Indonesia ingin mencapai pertumbuhan 2 persen di akhir tahun 2020.
Ia mengkritik jumlah tes COVID-19 per 24 April 2020 lalu yang masih di kisaran 56 ribu penduduk atau setara 214 per 1 juta penduduk. Belum lagi dari penanganan COVID-19, antar lembaga malah berjalan sendiri lengkap dengan pernyataan-pernyataan yang membuat masyarakat bingung.
Dengan kondisi saat ini, lengkap dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah, menurut Faisal, minimal pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 0,5 persen dan masih bisa memburuk menjadi minus 0,4 persen alias pertumbuhan satu tahun penuh terkontraksi.
Pada 2021 saja Indonesia ia perkirakan baru bisa kembali ke 4,9 persen dan perlahan menyentuh 5 persen hingga 5,2 persen pada 2023-2024.
“Kita sudah kecolongan banyak. Misal Iran, active cases-nya turun, kita masih naik entah sampai kapan. Dua persen itu prestasi luar biasa. Jangan diharapkan ekonomi tumbuh di situasi seperti ini,” ucap Faisal dalam diskusi online bertajuk Ongkos Ekonomi Hadapi Krisis COVID 19, Jumat (24/4/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Bayu Septianto