tirto.id - Makin mendekati hari pencoblosan—17 April 2019—Joko Widodo makin sering bicara soal apa yang ia telah capai sejak menjabat sebagai presiden. Yang terkini: nasionalisasi Blok Rokan.
Bekas Wali Kota Solo tersebut mengatakan kalau salah satu apresiasi masyarakat setempat terhadap kebijakan pengembalian ladang minyak yang selama puluhan tahun dikelola Chevron Pacific Indonesia itu adalah pemberian gelar adat "Datuk Seri Setia Amanah Negara" oleh Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau.
"Warga Riau juga bergembira atas akan kembalinya Blok Rokan yang puluhan tahun dikelola perusahaan asing ke tangan Indonesia," kata Jokowi via Instagram.
Penguasaan Blok Rokan, yang luasnya 6.220 kilometer, memang belum benar-benar terealisasi. Namun, pada 31 Juli lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk memberikan 100 persen hak partisipasi Blok Rokan ke perusahaan pelat merah PT Pertamina pada 2021.
Jokowi juga menyampaikan bahwa salah satu kursi komisaris Pertamina bakal diberikan kepada "Putra Riau."
Direktur Pusat Kajian Politik UI, Aditya Perdana, mengatakan sulit untuk tidak mengatakan apa yang diputuskan Jokowi tidak bermuatan politis, lebih spesifik sebagai upaya untuk menggaet suara pemilih untuk Pemilu 2019.
Ini bukan cuma perkara Blok Rokan, tapi kebijakan-kebijakan lain. Dan ini pula bukan cuma terjadi di era Jokowi. Misalnya, pada 1 Desember 2008 atau beberapa bulan menjelang hari-H pencoblosan Pemilu 2009, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu menjabat presiden mengeluarkan kebijakan populis: menurunkan harga bahan bakar minyak dari Rp6.000 per liter jadi Rp 5.500 per liter.
"Kebijakan pemerintah di tahun politik ini, mau tidak mau, pasti dinilai politis. Sama halnya dengan kebijakan lain seperti dana kelurahan, divestasi Freeport dan lain-lain," katanya kepada reporter Tirto, Senin (17/12/2018).
Meski melihat ada motivasi ke arah sana, namun Aditya belum bisa menilai sejauh mana itu bisa menggaet pemilih di Riau. Sebab, keputusan untuk memilih calon presiden-wakil presiden tertentu dan meninggalkan yang lain dipengaruhi banyak faktor.
"Seperti apa latar belakangnya, apakah agamis, moderat. Berdasarkan umur dan lain sebagainya. Tapi sebagai janji, saya kira tinggal dilihat nanti. Apakah Jokowi akan diapresiasi atau malah justru dihakimi oleh masyarakat," ucapnya.
Beda dengan Aditya, peneliti senior Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Siti Zuhro mengatakan itu tak akan berdampak banyak. Sebab, katanya, yang dilihat masyarakat lebih ke program yang sudah berjalan.
"Masyarakat cenderung lihat program lain, yang lebih dekat dengan keseharian mereka," kata Siti kepada reporter Tirto.
Dugaan dua akademisi di atas bisa jadi benar sebab faktanya Jokowi memang kalah oleh Prabowo pada Pemilu terakhir di Riau. Ketika itu pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 50,12 persen dari total suara atau setara 1.349.338, sementara Jokowi-Jusuf Kalla 1.342.817 atau setara 49,88 persen.
Jokowi sendiri pernah menyinggung soal Blok Rokan dalam momen yang sangat politis: ketika hendak mendatangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rangka mendaftarkan diri sebagai capres 2019-2024, 10 Agustus lalu.
"Kita jaga kedaulatan kita, kekayaan Sumber Daya Alam (SDA). Blok Rokan, Blok Mahakam, dan mayoritas saham Freeport bukti kita berdaulat dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia," kata Jokowi.
"Apa yang kita kerjakan adalah bukti, bukan fiksi. Inilah pondasi yang dibangun dan perlu diteruskan dilanjutkan," tambahnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino