tirto.id - “Dia mungkin marah karena rumahnya dirusak.”
Pohan Pardede, warga Desa Bulu Payung, mengisahkan pernah melihat satu individu mawas mendekati lingkungan mes karyawan PT North Sumatera Hydro Energy (PT NSHE), yang bersisian dengan Desa Pargudungan.
Lokasi kedua desa itu di Kecamatan Sipirok, pusat pemerintahan Tapanuli Selatan, satu dari tiga kawasan jelajah orangutan Tapanuli di hutan Batang Toru.
Ekosistem Batang Toru adalah rimba terakhir di Sumatera seluas 150 ribu hektare. Ia menjadi rumah bagi mawas alias Pongo tapanuliensis yang ditaksir jumlahnya tak lebih dari 800 individu, dengan ruang jelajah seluas 110 ribu hektare.
Para aktivis dan organisasi lingkungan, baik nasional maupun internasional, mengkhawatirkan pembangunan pembangkit listrik tenaga air Batang Toru, yang dikerjakan oleh PT NSHE, bisa mengancam populasi orangutan Tapanuli.
Pada November 2017, para peneliti mengidentifikasi Pongo tapanuliensis sebagai spesies terpisah dari Pongo abelii (orangutan Sumatera) dan Pongo pygmaeus (orangutan Kalimantan). Salah satu peneliti itu, Puji Rianti dari Institut Pertanian Bogor, berkata Pongo tapanuliensis memiliki genetika, morfologi, dan ekologi yang sangat berbeda dari dua orangutan yang telah dikenali di Indonesia itu.
"Rambutnya paling pirang di antara tiga spesies (Sumatera dan Borneo) dan paling panjang. Yang jantan semakin tua biasanya akan memiliki janggut,” ujar Rianti. Dari hasil penelitiannya, kepadatan orangutan Tapanuli saat ini hanya 0,23 per km persegi, paling rendah dari ketiga spesies orangutan Indonesia.
Orangutan tergolong spesies paling langka dan terancam punah akibat perubahan lingkungan, bisa karena habitatnya menyusut oleh permukiman penduduk dan pembukaan lahan untuk perkebunan skala besar. Mereka hidup di puncak pepohonan, yang menjadi sumber makanan utama mereka.
Di Kalimantan, misalnya, jumlah Pongo pygmaeus menurun hingga 25 persen dalam 10 tahun terakhir, menurut riset The Nature Conservancy, organisasi konservasi alam. Di kawasan Leuser, hutan terakhir di Aceh yang menjadi habitat Pongo abelii, situasinya sama karena habitat spesies ini tertekan oleh perkebunan kelapa sawit, ladang, perburuan, deforestasi, dan pembangunan jalan.
Menurut Rianti, spesies orangutan paling cepat punah jika kita tidak melakukan tindakan intervensi misalnya lewat konservasi. Dalam kasus orangutan Tapanuli, situasi khususnya hampir punah karena cuma segelintir betina yang aktif bereproduksi. Biasanya masa reproduksi orangutan hanya sembilan tahun sekali.
Sehingga jika tanpa memproteksi habitat tersisa mereka, “kepunahan menjadi keniscayaan dalam hitungan hari,” ujar Rianti.
Memotong Area Jelajah Orangutan
Saya mendatangi Camp Mayang, sebuah stasiun pengawasan ekosistem Batang Toru, sekitar 12 kilometer dari Sait Nihuta Kalangan II, desa terakhir di Tapanuli Tengah. Selama 7 jam berjalan kaki, tak satu pun saya melihat individu Pongo tapanuliensis.
“Bukan sedang musim buah, jadi jarang yang keluar mencari makan,” ujar Sheila Silitonga, manajer riset stasiun monitoring ekosistem hutan Tapanuli yang menemani saya.
Kawasan hutan yang kami masuki berada di blok barat hutan Batang Toru, area yang didiami 600-an individu Pongo tapanuliensis. Sementara blok timur di Tapanuli Selatan dan Dolok Sibualbuali, populasi orangutan semakin terdesak dan membutuhkan perkawinan dengan populasi di blok barat.
Pembangunan PLTA Batang Toru memotong tiga blok tersebut sehingga membatasi area jelajah orangutan Tapanuli, menurut aktivis lingkungan.
“Padahal kami berharap bisa menyembuhkan populasi ini,” ujar Arrum Harahap dari Sumatran Orangutan Conservation Programme.
Pendapat Arrum menjadi kekhawatiran para aktivis lingkungan yang berhimpun dalam Koalisi Indonesia untuk Batang Toru. Mereka terdiri Mighty Earth, The Ape Alliance, Program Lingkungan PBB, Yayasan Ekosistem Lestari, Orangutan Information Center, Center of Orangutan Protection, dan Sumatran Orangutan Conservation Programme.
Mereka mengingatkan pembukaan lahan hutan itu bisa berekses perburuan terhadap orangutan. Koalisi berharap habitat natural orangutan tetap seperti semula, tanpa ada pembangunan proyek PLTA.
Lebih penting lagi, Koalisi tak ingin nasib Pongo tapanuliensis sama seperti saudara mereka di Aceh dan Kalimantan yang banyak diburu akibat pembukaan lahan besar-besaran.
'Orangutan mengenal pohon, tidak kabel'
Menghadapi protes dan kekhawatiran itu, kepala humas PT North Sumatera Hydro Energy Firman Taufick berkata PLTA Batang Toru berada di area penggunaan lain (APL) sehingga secara hukum sah dimanfaatkan.
Lagipula, tambah Firman dalam jawaban tertulis kepada Tirto, PLTA dibangun di ketinggian 430-450 mdpl sementara habitat orangutan biasanya di ketinggian 600-800 mdpl.
PT NSHE juga membuat jembatan arboreal dari kabel untuk memfasilitasi hewan arboreal, salah satunya orangutan, yang kesulitan mencari makan akibat pembukaan lahan hutan. (PT NSHE mengunggah gambar jembatan itu di akun resmi Instagram.)
Meski begitu, menurut Arrum Harahap, membangun jembatan arboreal bukanlah solusi bagi orangutan yang habitatnya tergerus akibat pembangunan PLTA. Orangutan memang makhluk arboreal tapi mereka hanya mengenal pohon, tidak mengenal kabel, ujar Arrum.
“Dan memang seharusnya tidak mengenal itu. Orangutan seharusnya jauh dari manusia,” tambah Arrum.
Koalisi Indonesia untuk Batang Toru juga berpendapat bahwa kendati PLTA dibangun di atas area pemanfaatan hutan, tetapi lokasinya bersisian langsung dengan habitat orangutan.
Koalisi menilai tak ada urgensi membangun PLTA di tengah hutan Tapanuli, sementara masih banyak cadangan energi bersih di area itu. Misalnya, jika dibutuhkan, proyek geothermal Sarulla di Tapanuli Utara bisa ditingkatkan menjadi 1.000 megawatt.
“Banyak pilihan lain seperti panas bumi atau energi matahari yang lebih murah dan tidak merusak,” ujar Arrum.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam