tirto.id - Penemuan bangkai orangutan tanpa kepala dengan luka sabetan benda tajam dan 17 peluru senapan angin di Sungai Kalahien, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah Senin (15/1) menuai sorotan aktivis pecinta hewan dan lingkungan. Bagi mereka penemuan ini menunjukkan kurangnya keseriusan pemerintah di dalam upaya melindungi satwa langka yang terancam punah ini.
“Saya menilai pemerintah tidak berpihak pada satwa liar,” kata Direktur Investigasi LSM Scorpion Wildlife Trade Monitoring Group Marison Guciano kepada Tirto, Sabtu (27/1).
Ketidakseriusan pemerintah menurut Marison tampak dari izin-izin perkebunan sawit yang diberikan di habitat orangutan. Ketika habitat orangutan rusak, otomatis potensi konflik dengan manusia menjadi lebih terbuka. Padahal menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa orangutan masuk dalam daftar satwa dilindungi.
Selain itu, penegakkan hukum terhadap pelaku pembunuhan orangutan juga dinilai tidak memberi efek jera. Hal ini karena lemahnya sanksi yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di dalam Pasal 21 ayat (2) UU itu misalnya menyatakan larangan bagi setiap orang untuk:
a) Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
b) Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati.
c) Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
d) Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
e) Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.
Namun dalam Pasal 40 UU itu sanksi denda yang diberikan bagi pelanggar hanya Rp100.000.000. Sedangkan sanksi penjara paling lama hanya lima tahun.
Marison mengatakan para aktivis pecinta satwa sudah berupaya meminta DPR dan pemerintah merevisi ketentuan sanksi bagi para pembunuh satwa langka, tapi hingga sekarang usulan itu belum direalisasikan.
“Perlindungan satwa liar memang masih lemah dan keberadaannya terancam. Baik untuk yang dilindungi maupun yang tidak,” tutur Marison.
Realitas penegakkan hukum di lapangan ternyata lebih menyedihkan dari ketentuan UU. Rabu 18 April 2012 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara misalnya hanya menjatuhkan vonis delapan bulan penjara bagi empat terdakwa pembantai orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus morio).
Padahal pembantaian diinisiasi secara massif oleh perusahaan sawit asal Malaysia yang beroperasi di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Manajemen perusahaan mengiming-imingi pelaku dengan uang Rp200 ribu untuk membunuh seekor monyet dan bekantan. Serta Rp1000.000 untuk keberhasilan membunuh orangutan.
Cerita miris tentang orangutan juga terjadi pada Juni 2015. Kala itu para pecinta satwa dibuat geram foto dengan kemunculan foto-foto di akun facebook Polo Panitia Hari Kiamat. Foto itu menggambarkan aksi keji seorang pria sedang membakar orang utan dengan wajah tak bersalah.
Kemudian pada 20 Februari 2016 aksi konyol pembakar hutan untuk dijadikan lahan perkebunan membuat tiga ekor orang utan gosong mati terbakar. Belum lagi Januari 2017 publik kembali dibikin kesal dengan foto yang menggambar perilaku kejam sejumlah orang yang membunuh orangutan dengan cara ditembak kemudian dimasak. Perilaku ini diduga terjadi di areal perusahaan sawit.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono mengatakan pembantaian terus terjadi karena orang utan dianggap hama bagi pengusaha dan petani sawit. Seekor oranghutan bisa merusak 30 sampai 50 tunas tanaman sawit untuk makan. Situasi ini menurut Dimas tidak harus terjadi seandainya habitat mereka tidak diubah menjadi perkebunan sawit.
“Tergerusnya habitat orangutan otomatis membuat makanan di hutan jadi menipis, sehingga mau nggak mau mereka mencari makan ke kebun,” ujar Dimas.
Dimas mengatakan pemerintah perlu persuasif mengajak masyarakat melindungi dan menjaga orangutan. Sebab, status orangutan sebagai satwa dilindungi sudah banyak diketahui masyarakat. “Memang perlu adanya pendekatan persuasif. Masyarakat sebetulnya tahu kalau orangutan itu dilindungi,” ucap Dimas .
Dimas juga mendorong pemerintah mengevaluasi izin-izin perkebunan sawit yang telah dikeluarkan. Perusahaan yang terbukti melanggar hak hidup orangutan mesti diberi sanksi tegas sebagai efek jera. “Penegakkan hukum secara tegas kepada perusahaan yang nakal juga harus dilakukan. Di sini ada kok yang tidak ada AMDAL tapi memiliki pabrik,” ungkap Dimas tanpa menyebutkan nama perusahaan yang dimaksud.
Data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah area kebun sawit di Kalimantan. Pada 2014 area kebun sawit seluas 3.451.949 hektar. Kemudian pada 2015 seluas 3.639.737 hektar. Meningkat menjadi 3.756.314 hektar pada 2016.
Jumlah perusahaan sawit yang beroperasi di Kalimantan juga tidak sedikit. Data Badan Pusat Statistik 2016 menyebutkan perusahaan sawit di Kalimantan Barat berjumlah 221 perusahaan, Kalimantan Tengah 143 perusahaan, Kalimantan Selatan 85 perusahaan, Kalimantan Timur 130 perusahaan, Kalimantan Utara 3 perusahaan. Ironisnya rata-rata perusahaan itu tergabung dalam grup PT Perkebunan Nusantara yang merupakan perusahaan BUMN.
Janji Polisi Menuntaskan Kasus
Polres Barito Selatan berjanji akan menuntaskan kasus pembunuhan keji orangutan di Sungai Kalahien. “Kami akan terus melakukan penyelidikan dengan memeriksa puluhan saksi terkait hal ini," kata Kapolres Barito Selatan AKBP Eka Syarif Nugraha Husen di Buntok, Jumat (26/7) seperti diberitakan Antara.
Eka menyatakan pihaknya sudah menyelidiki Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang diduga menjadi lokasi eksekusi orang utan. Dia meminta masyarakat tidak takut melapor jika memiliki informasi terkait kasus ini. “Kita berharap, semoga dalam waktu dekat, kasus kematian orangutan ini bisa cepat terungkap,” kata Eka.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyatakan pemerintah tidak akan segan-segan menindak tegas pelaku pembantai orang utan. "Kami secara hukum mendorong agar kasus diproses hukum," ujarnya.
Ia menilai, pembantaian terhadap hewan dilindungi tidak dibenarkan dengan alasan apapun. "Penanganan terus oleh Polda (Kalimantan Tengah). KLHK mengikuti terus. Kami mendorong diproses hukum," katanya.
Siti mengungkapkan di dalam habitat asli orangutan kini terdapat 224 perusahaan sawit. "Dalam catatan kami, ada 200 lebih perkebunan sawit yang di dalamnya ada habitat orangutan. Luasnya mencapai 406.000 hektare. Saya minta dirjen panggil unit kita yang terkait kebun sawit yang di habitat orangutan," kata Siti Nurbaya Bakar.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad membantah keterlibatan perusahaan sawit dibalik pembantaian orang utan. “Tidak ada itu. Bohong,” jawab Asmar saat ditemui di The Akmani Hotel, Jakarta pada Jumat sore.
Asmar mengklaim keberadaan perusahaan sawit tidak menggangu orangutan. Sebab menurutnya secara natural telah beradaptasi dengan lingkungan baru. “Satwa itu secara natural, melindungi dirinya sendiri. Enggak perlu kita atur,” ucap Asmar.
Ketua Sekretariat Komisi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Azis Hidayat menjamin tidak ada perusahaan sawit bersertifikat yang melakukan pembantaian orangutan. Azis menyatakan telah mengonfirmasi perusahaan sawit yang memperoleh sertifikat ISPO di Kalimantan Tengah.
Sertifikat ISPO berlaku selama lima tahun dengan pengawasan secara berkala yang dilakukan setiap tahunnya. Apabila suatu perusahaan sawit kedapatan melanggar ketentuan ISPO, Azis mengatakan pencabutan sertifikasi memungkinkan untuk dilakukan. Menurutnya pembantaian terhadap orangutan kerap dilakukan perusahaan sawit yang tidak memiliki sertifikasi ISPO.
“Kalau tidak ISPO, susah melacaknya karena itu kewenangan dari daerah. Kewenangan pengendalian dan pengawasan kebun sawit di daerah tergantung penerbit izin usaha, yakni Dinas Perkebunan dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” jelas Azis.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar