tirto.id - Pada 2014, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) meminta Onrizal, peneliti keanekaragaman hayati dari Universitas Sumatra Utara, untuk membuat analisis mengenai dampak lingkungan PLTA Batang Toru. Saat itu Onrizal menyanggupi dengan dua syarat: Ia diizinkan melihat semua kajian dan mendapatkan akses ke lapangan.
“Hasilnya saya tulis semua,” ungkapnya. “Pembangunan PLTA akan merusak habitat orangutan.”
Pada 2016, PT NSHE bermaksud membuat adendum dalam kajian lingkungan tersebut. Onrizal semula tak ambil pusing karena saat itu sudah putus kerja dengan NSHE. Belakangan, ia mengetahui namanya masih dicatut dalam dokumen 2016 tersebut.
Masalahnya, dalam dokumen 2016 itu, PT NSHE tidak mencantumkan hasil kajian Onrizal mengenai potensi kerusakan ekosistem akibat pembangunan PLTA. Tandatangannya pun dipalsukan.
Onrizal protes. “Saya sudah laporkan itu kepada polisi. Saat ini sedang diurus perkaranya.”
Kepala humas PT NSHE Firman Taufick beralasan ada masalah di tim internal penyusun AMDAL. Alasannya, perusahaan melakukan adendum AMDAL pada 2016 sehubungan ada perubahan letak quarry dalam pembangunan waduk buat PLTA. Sehingga, alasan Firman, adendum kajian lingkungan tahun 2016 tidak menggantikan pendapat Onrizal.
Firman justru menyalahkan tim penyusun AMDAL 2016 “yang harus menyelesaikan persoalan” tersebut.
“Dalam hal ini kami termasuk pihak yang dirugikan juga,” dalihnya.
Mengapa di Batang Toru?
PT NSHE, yang menjalankan proyek PLTA Batang Toru 510 megawatt, adalah produsen listrik swasta yang dibentuk oleh konsorsium. Nilai proyek ini sekitar 1,6 miliar dolar AS atau setara Rp21 triliun.
PLTA Batang Toru adalah ambisi Presiden Jokowi demi mewujudkan proyek listrik nasional 35.000 MW. Ia juga dianggap bisa menghemat duit negara karena bisa memangkas kebutuhan impor bahan bakar diesel. Ia juga dianggap ramah lingkungan sehingga Indonesia bisa terlibat memenuhi Perjanjian Paris demi mengurangi emisi karbon.
Pemerintah memilih Sungai Batang Toru karena dianggap punya debit besar dan arus stabil sehingga mampu menggerakkan turbin, yang ujungnya menghasilkan daya listrik 510 megawatt.
Proyek ini memakan lahan seluas 122 hektare—konsep pembangunan yang diklaim irit lahan dibandingkan PLTA lain di Indonesia karena hanya memerlukan kolam raksasa seluas 66 hektare.
Duit Utang dari Cina
Pertanyaannya, dari mana uang proyek senilai triliunan ini? Atau, seperti yang diajukan oleh Koalisi Indonesia untuk Batang Toru: Siapa yang diuntungkan?
Setelah terpilih sebagai pengembang PLTA Batang Toru, PT North Sumatera Hydro Energy menjalin kerja sama dengan Sinohydro, perusahaan rekayasa dan konstruksi air milik negara Cina.
Dari temuan Mighty Earth, organisasi lingkungan internasional yang tergabung dalam Koalisi Indonesia untuk Batang Toru, Direktur Utama PT NSHE bernama Shen Decai.
Nama Shen Decai muncul di hampir semua perusahaan konsorsium terkait proyek PLTA Batang Toru. Di kursi komisaris utama, ada nama Anton Sugiono yang terkait dengan Dharmawangsa Group.
PT NSHE memiliki tiga perusahaan konsorsium, dengan PT Dharma Hydro Nusantara, bagian dari Dharmawangsa Group, sebagai pemilik saham tertinggi. Perusahaan lain adalah PT Fareast Green Energy dan PT Pembangkitan Jawa–Bali.
Semula proyek ini akan dibiayai oleh Bank Dunia. Tapi, lantaran berpotensi merusak lingkungan, lembaga keuangan PBB itu memilih mundur. Bank of China akhirnya maju sebagai investor dengan menggelontorkan dana hingga 1,6 miliar dolar AS atau setara Rp21 triliun, yang diduga bagian dari One Belt One Road Initiative Tiongkok.
Namun, setelah ada gelombang protes dari pelbagai organisasi lingkungan, Bank of China menyatakan akan mengevaluasi pendanaan PLTA Batang Toru.
“Kami berkomitmen untuk mendukung perlindungan lingkungan hidup global dan menegakkan prinsip-prinsip green finance. Bank of China akan mengevaluasi proyek tersebut dengan sangat hati-hati dan mengambil keputusan yang bijak dengan mempertimbangkan promosi pendanaan hijau, sebagai tanggung jawab sosial kami serta kepatuhan terhadap prinsip komersial,” demikian rilis resmi Bank of China.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam