Menuju konten utama

Yang Terjadi Bila Orangutan Punah

"Kita mungkin akan melihat kepunahan salah satu jenis kera besar dalam masa hidup kita.”

Yang Terjadi Bila Orangutan Punah
Kawanan Orangutan di kawasan konservasi Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) berjalan menghindari asap kebakaran hutan. FOTO/REUTERS

tirto.id - Kebanyakan orang akan susah membedakan yang mana Simpanse, Orangutan, atau Gorila—yang mereka tahu, hewan-hewan ini adalah hewan dilindungi. Namun, bagi Michelle Desilets, kecerdasan ketiganya yang membedakan dengan binatang lainnya.

“Jika kamu memberi seekor Simpanse sebuah obeng, maka dia akan menghancurkannya; jika kamu memberi Gorila obeng, maka dia akan melemparkannya ke bahunya; Tapi jika kamu memberi Orangutan obeng, maka dia akan membuka sangkarnya dan pergi. Saya percaya kalau Orangutan adalah spesies paling cerdas [di antara kera-kera besar lainnya],” kata Desilets dalam wawancara dengan Laurel Neme dalam podcast-nya seperti dilansir dari Mongabay, 2010 lalu.

Orangutan memang salah satu dari spesies kera besar yang paling mirip manusia. Ia tidak punya ekor, dan 97 persen DNA mereka serupa manusia. Kecerdasannya dianggap paling unggul dari kera lain. Ia juga satu-satunya spesies kera besar yang tak berasal dari Afrika, melainkan Asia.

Sejak 1994, Desilets sudah bekerja sebagai aktivis pelindung Orangutan dan jatuh cinta pada kera yang hanya terdiri dari dua jenis ini: Orangutan Borneo (Pongo pygmaeus) dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Membuat Indonesia jadi tempat paling dilihat untuk melestarikan satwa ini.

Kala Desilets membuka Nyaru Menteng Orangutan Rehabilitation and Reintroduction Center pada 1999, hanya ada lusinan Orangutan yang ia jaga. Pada 2010, jumlah itu naik jadi sekitar 600-an. Namun, bukan berarti hidup Orangutan makin aman.

Pekan lalu, 13 November, The Nature Conservancy (TNC) sebuah organisasi konservasi alam yang juga fokus pada keselamatan Orangutan mengeluarkan rilis tentang penurunan jumlah spesies Orangutan Borneo. Angkanya sangat besar. Dalam kurun 10 tahun terakhir, jumlahnya turun hingga 25 persen. Penyusutan hutan, konflik, dan perburuan liar serta perubahan iklim jadi penyebab utama menurunnya populasi Orangutan.

Makin terancamnya eksistensi Orangutan tentu saja akan berdampak besar pada alam, termasuk hajat hidup manusia. Pada dasarnya, Orangutan hidup di puncak pepohonan, sebab hampir semua makannya tumbuh di sana. Sekitar 60 persen adalah buah-buahan, 25 persen dedaunan muda, kulit pohon atau bunga, dan sekitar 10 persen adalah serangga—utamanya semut, dan 5 persennya adalah jangkrik. Tabiat memakan buah ini sangat penting secara ekologis, mereka membantu penyebaran benih sekaligus membentuk dan melestarikan hutan hujan tropis.

Menyusutnya Orangutan juga berbanding lurus dengan menyusutnya luas hutan. Berdasarkan hasil Population and Habitat Viability Assessment Orangutan 2016, menurut TNC, saat ini kepadatan populasi Orangutan Kalimantan cenderung menurun dari 0,45-0,76 individu/Km2 menjadi 0,13-0,47 individu/Km2 yang hidup di habitat seluas 16.013.600 hektare dan tersebar di 42 kelompok populasi (metapopulasi).

Artinya, semakin kecil hutan, semakin menipis pula spesies lain—bukan cuma tumbuhan, tapi juga hewan-hewan lain yang hidup dalam hutan hujan tropis. Hutan sangat vital kontribusinya bagi pasokan oksigen buat makhluk hidup tak kecuali manusia di Bumi.

Infografik Orangutan

Awal bulan ini, ada kabar baru yang cukup menggembirakan. Untuk pertama kalinya dalam 90 tahun terakhir, spesies kera besar tambah satu. Ia disebut Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) dalam publikasi jurnal internasional Current Biology, 3 November lalu.

Baca juga:Penemuan Spesies Baru Orangutan Tapanuli Melewati Riset Panjang

Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB), Puji Rianti menjelaskan ada perbedaan genetik sangat besar di antara Orangutan Tapanuli, Orangutan Kalimantan, dan Orangutan Sumatera. Menurut dia, perbedaan genetik ketiganya lebih gamblang ketimbang antara Gorila dataran tinggi dan dataran rendah maupun Simpanse dengan Bonobo di Afrika.

“Perbedaan lain dari segi morfologi. Ukuran tengkorak dan tulang rahangnya lebih kecil dibandingkan dengan kedua spesies lainnya. Rambut di seluruh tubuh Orangutan Tapanuli juga lebih tebal dan keriting,” kata Rianti, dalam siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Sayangnya, meski kabar ini termasuk menggembirakan, tapi nyatanya jumlah Orangutan Tapanuli sangat kecil, sehingga masuk kategori yang akan segera punah juga. Berdasar pendataan pada 2016, jumlah populasi Orangutan Tapanuli hanya tersisa 800-an individu yang tersebar di tiga lokasi terfragmentasi dalam Ekosistem Batang Toru. Sebab ia sangat lambat dalam berkembangbiak, dengan jarak melahirkan 8-9 tahun. Rata-rata memiliki anak pertama di usia 15 tahun dan mampu hidup sampai usia 50-60 tahun.

Hal ini membuat mereka bahkan langsung jadi spesies kera besar yang paling terancam punah. “Jika tak ada langkah yang diambil cepat untuk mengurangi ancaman dari masa kini dan masa depan untuk melestarikan hutan, kita mungkin akan melihat kepunahan salah satu jenis kera besar dalam masa hidup kita,” kata riset tersebut, seperti dikutip dari Independent.

Penurunan eksistensi Orangutan secara keseluruhan tentu saja perlu dikendalikan. Untuk di Kalimantan, Direktur Program Kehutanan TNC Indonesia Herlina Hartanto punya rekomendasi.

“Tata ruang provinsi perlu memasukkan kawasan lindung habitat Orangutan secara khusus dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan dan industri yang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan secara aktif,” ungkap Herlina.

Sementara itu, untuk nasib Orangutan Tapanuli, Novak, salah seorang penelitinya bilang, “Sangat penting bahwa semua hutan yang tersisa dilindungi dan bahwa badan pengelola lokal bekerja untuk memastikan perlindungan ekosistem Batang Toru,” seperti dikutip dari Independent.

Mereka bahkan menyarankan pemerintah untuk memberhentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga air di sana. Sebab mengurangi sedikit saja fungsi hutan, akan berdampak besar bagi nasib Orangutan.

Bila terus begini, generasi selanjutnya cuma akan mengenang Orangutan seperti generasi sekarang mengenang Dinosaurus atau Mamut—sebagai tulang fosil di museum-museum alam.

Baca juga artikel terkait KONSERVASI HUTAN atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra