Menuju konten utama

Ketika Bumi Makin Botak

Planet bumi yang biru ini 31 persennya ditutup oleh rimbunnya hutan di seluruh dunia yang menyediakan oksigen dan juga sebagai habitat bagi tumbuhan dan hewan. Ada 1,6 miliar dari 7 miliar orang di planet ini yang menggantungkan langsung hidupnya dari hutan, sebagai sumber makanan, air, pakaian, obat, dan tempat perlindungan. Apa jadinya kalau bumi makin botak karena hutannya makin berkurang?

Ketika Bumi Makin Botak
Sebuah kawasan hutan terlihat gundul dan gersang akibat pembalakan di tambu, balesang, donggala, sulawesi tengah, minggu (1/5). Antara foto/Fiqman Sunandar.

tirto.id - Salah satu hutan terbesar di dunia, Amazon telah menyusut luasnya hingga 17 persen dalam 50 tahun terakhir. Itu baru Amazon, belum hutan-hutan lainnya di berbagai belahan dunia yang juga mengalami kerusakan parah. Deforestasi dipercaya telah menyumbang 12-20 persen efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global hingga perubahan iklim, bahkan penurunan kadar oksigen di bumi.

Manusia tak bisa lepas dari keberadaan hutan yang perannya sangat vital. Dalam sebuah hitung-hitungan kasar melalui teknologi satelit, saat ini diperkirakan ada 3 triliun pohon yang ada di muka bumi. Jumlah pohon ini jauh lebih banyak dari jumlah bintang dalam galaksi Milky Way. Jumlah ini kurang lebih memberikan jatah 400 pohon untuk setiap orang dalam populasi manusia di bumi. Sangat cukup untuk memberikan oksigen ke seluruh manusia. Pertanyaannya semua ini akan tetap tersedia?

Hutan Rusak, Bumi Botak

Dalam studi Bank Dunia, selama kurun waktu 1990-2015, ada 1,3 juta km persegi lahan hutan yang hilang dari muka bumi. Jumlah ini menyusut dari 41,5 juta km persegi menjadi 39,9 juta km persegi. Kebotakan pada bumi makin tak bisa dihindari. Padahal pada awal abad ke-20, luas hutan yang ada di Bumi masih tercatat 50 juta km persegi. Industrialisasi oleh manusia telah mengubah segalanya.

Jumlah hutan yang menyusut setara dengan luas Afrika Selatan atau rata-rata setiap jam seukuran 1.000 lapangan sepakbola hutan hilang. Kawasan Amerika Selatan dan Karibia merupakan penyedia hamparan hutan terbesar kedua. Kawasan ini sudah kehilangan 9,5 persen lahan hutan dalam 25 tahun. Kondisi terparah terjadi di kawasan sub sahara Afrika, punahnya hutan terjadi sebanyak 11,9 persen.

Untungnya ada beberapa wilayah yang masih mengalami pertumbuhan jumlah hutan seperti Timur Tengah-Afrika Utara, Asia Selatan, Eropa-Asia Tengah, Asia Timur-Pasifik, dan Amerika Utara. Timur Tengah-Afrika Utara menjadi penyumbang penambahan kawasan hutan yang tumbuh 16,4 persen dalam 25 tahun.

Tentunya orang-orang di bumi tak bisa mengandalkan dari pertumbuhan bertambahnya hutan dari negara-negara tadi. Saat ini, cadangan hutan terbesar di dunia masih dipegang oleh 10 negara yang memiliki lahan hampir 2/3 dari lahan hutan yang ada di bumi, termasuk Indonesia yang menyumbang hanya 0,9 juta km persegi. Rusia masih menjadi negara dengan pemilik hutan terbesar hingga 8,2 juta km persegi disusul oleh Brazil hingga 3,9 juta km persegi, selebihnya disumbang dari Kanada, AS, Cina, Kongo, Australia, Peru, dan India.

Data Bank Dunia juga menunjukkan dari 64 negara hanya ada 36 negara atau 56 persen yang berhasil menjaga hutannya atau kerusakan hutan nol persen sejak 1990, termasuk Singapura. Sementara itu, angka kerusakan hutan di Indonesia cukup kasat mata. Pada 1990, masih ada 1.185.450 km persegi lahan hutan, tapi tahun lalu hanya tersisa 910.100 km persegi atau susut 23 persen.

Dampak Kebotakan

Rusaknya hutan di bumi sangat luas dampaknya untuk seluruh makhluk hidup termasuk manusia. Bagi manusia, keberadaan hutan khususnya pohon sebagai penyuplai utama oksigen yang merupakan syarat mutlak untuk keberlangsungan hidup manusia.

Sebuah media Sciensifocus melakukan hitung-hitungan mengenai kebutuhan oksigen setiap orang dengan keberadaan banyaknya pohon yang dibutuhkan. Setiap tahun seorang manusia menghirup 9,5 ton udara yang tak semuanya berisi oksigen. Dari jumlah udara yang terhirup saat bernapas, total bersih oksigen yang terpakai 740 kg per tahun. Sedangkan sebuah pohon setinggi 12 meter dengan bobot 2 ton termasuk daun dan akarnya akan menghasilkan 100 kg oksigen per tahun. Artinya, secara rata-rata manusia membutuhkan keberadaan 7-8 pohon per tahun.

Celakanya, kerusakan hutan dan pencemaran udara dari kegiatan industri telah mengubah segalanya. Theguardian mencoba menggambarkan dampak kondisi ini bagi manusia ketika kadar oksigen yang ada di udara makin susut termasuk akibat makin botaknya bumi. Menurut Roddy Newman, penulis buku dari The Oxygen Crisis, bila dibandingkan zaman prasejarah, kadar oksigen di atmosfer bumi saat ini sudah menyusut lebih dari 30 persen, bahkan untuk kota-kota yang polusinya parah sudah menyusut hingga 50 persen. Pada 10.000 tahun lalu manusia dan makhluk hidup lainnya lebih banyak mendapatkan pasokan oksigen dari udara.

Menurut penelitian dari Yale University yang dilakukan oleh Profesor Robert Berner, kandungan udara pada zaman prasejarah 10.000 tahun lalu jauh lebih kaya oksigen daripada saat ini. Diperkirakan pada 75 juta tahun lalu, kadar oksigen di udara mencapai 35 persen. Penelitian lain dari Adelaide University, mengungkapkan pada masa prasejarah kadar oksigen di udara masih 30-35 persen. Sedangkan saat ini paling tinggi 21 persen, bahkan di kawasan industri bisa jauh lebih rendah hanya 15 persen saja.

“Sejak abad 20 manusia telah mempercepat jumlah karbon dioksida di udara dengan membakar karbon dari batu bara, BBM dan gas. Juga kegiatan menebang hutan,” kata Professor of Geological Sciences, Notre Dame University Keith Rigby dikutip dari Theguardian.

Apa jadinya bila manusia hidup dengan sedikit oksigen? Sampai saat ini belum ada studi yang secara signifikan yang memotret dampak tipisnya oksigen bagi makhluk hidup khususnya manusia. Namun, seorang penasihat di PBB, Profesor Ervin Laszlo pernah mengungkapkan tipisnya oksigen berpotensi serius bagi umat manusia. Kadar oksigen yang rendah berpotensi pada kemampuan manusia dalam menjaga daya tahan tubuh dan organ tubuh mereka agar tak rusak.

Bila diumpamakan bumi ini sebuah kepala seorang manusia. Rusaknya hutan di dunia ini sebagai kerontokan rambut. Yang pasti kerontokan rambut akan membuat seseorang tak sedap dipandang mata. Sayangnya bumi ini bukan sebuah kepala manusia, yang berdampak pada kepantasan sebuah penampilan seseorang. Setiap kerusakan yang ada di bumi seperti hutan akan berimbas pada tatanan ekosistem alam termasuk berdampak pada manusia. Merosotnya suplai oksigen di bumi akibat menyusutnya hutan hanyalah satu sisi persoalan dari kerusakan hutan. Tega kah Anda mewariskan stok oksigen yang terbatas kepada anak cucu kita?

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti