tirto.id - Spesies baru bernama Orangutan Tapanuli berhasil ditemukan setelah melewati riset panjang. Satwa dengan nama ilmiah Pongo Tapanuliensis itu menjadi spesies orangutan ketiga. Dua spesies terdahulu ialah Pongo Pygmaeus (Orangutan Kalimantan) dan Pongo abelii (Orangutan Sumatera). Pengumuman resmi penemuan spesies baru itu muncul dalam publikasi jurnal internasional Current Biology pada Jumat (3/11/2017).
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian LHK, Wiratno menilai penemuan spesies orangutan baru ini sangat penting.
“Ini adalah temuan terbesar abad ini,” kata dia dalam siaran pers yang dilansir di laman Kementerian LHK pada hari ini.
Penemuan spesies Orangutan Tapanuli bermula dari penelitian populasi Orangutan Sumatera pada habitat terisolir di ekosistem Batang Toru, di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Riset di Provinsi Sumatera Utara itu berlangsung sejak 1997 dan merupakan hasil kerja sama Kementerian LHK, LIPI, IPB, Universitas Nasional, dan Yayasan Ekosistem Lestari-Program Konservasi Orangutan Sumatra (YEL-SOCP).
Fase terpenting penemuan spesies ini terjadi pada 2011. Sebagaimana dilansir Antara, Koordinator Program PAN ECO-SOCP Yayasan Ekosistem Leuser, Gabriella Fredricson mencatat para peneliti dari Universitas di Swiss dan IPB mulai menemukan indikasi spesies Orangutan Tapanuli di tahun itu.
Hasil penelitian awal itu, menurut dia, menyimpulkan genetika orangutan di Tapanuli lebih dekat dengan orangutan Kalimantan dibandingkan orangutan di ekosistem Leuser. Temuan itu menarik karena Tapanuli lebih dekat jaraknya dengan Leuser di Aceh ketimbang Kalimantan.
Temuan itu dilanjutkan dengan pengukuran morfologi tengkorak dan tulang rahang spesies ini, pada 2014, melalui riset Anton Nurcahyo, yang sedang menuntaskan studi doktoral di Australian National University (ANU), bersama bersama dengan pakar taksonomi primata Prof. Colin Groves. Hasilnya, ukuran tengkorak spesies ini memang khas dan berbeda dari orangutan lain.
Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB), Puji Rianti menjelaskan ada perbedaan genetik sangat besar di antara Orangutan Tapanuli, Orangutan Kalimantan dan Orangutan Sumatera. Menurut dia, perbedaan genetik ketiganya lebih gamblang ketimbang antara gorila dataran tinggi dan dataran rendah maupun simpanse dengan bonobo di Afrika. Orangutan Tapanuli diduga merupakan keturunan langsung dari nenek moyang orangutan yang bermigrasi dari dataran Asia pada masa Pleistosen, sekitar lebih dari 3,4 juta tahun silam.
“Perbedaan lain dari segi morfologi. Ukuran tengkorak dan tulang rahangnya lebih kecil dibandingkan dengan kedua spesies lainnya. Rambut di seluruh tubuh Orangutan Tapanuli juga lebih tebal dan keriting,” kata Rianti.
Berdasarkan studi perilaku dan ekologi, orangutan tapanuli juga memiliki karakter panggilan jarak jauh (cara jantan sebarkan informasi) yang berbeda serta jenis pakan unik berupa buah-buahan yang hanya ada di Ekosistem Batang Toru.
Satwa ini sangat lambat dalam berkembangbiak, dengan jarak melahirkan 8-9 tahun. Rata-rata memiliki anak pertama di usia 15 tahun dan mampu hidup sampai usia 50-60 tahun. Kementerian LHK akan mengusulkan pemasukan satwa ini ke dalam daftar spesies “sangat terancam punah” berdasarkan daftar merah IUCN.
Berdasar pendataan pada 2016, jumlah populasi Orangutan Tapanuli hanya tersisa 800-an individu yang tersebar di tiga lokasi terfragmentasi dalam Ekosistem Batang Toru. Populasi Orangutan Tapanuli terpecah ke dalam dua kawasan utama (blok barat dan timur), terpisah oleh lembah patahan Sumatera, dan juga ada populasi kecil di Cagar Alam Sibual-buali di sebelah tenggara blok barat. Saat ini kawasan Ekosistem Batang Toru merupakan habitat terakhir bagi orangutan Tapanuli dengan jumlah individu terpadat.
“Terdapat tekanan antropogenik yang kuat terhadap keberadaan populasi orangutan tapanuli karena konversi hutan dan perkembangan lainnya,” kata Puji Rianti seperti dilansir siaran pers Kemkominfo.
Menurut dia, kini perlu ada tindakan mendesak untuk meninjau ulang usulan-usulan pengembangan daerah di wilayah ini sehingga ekosistem alami tetap terjaga demi keberlangsungan hidup Orangutan Tapanuli di masa depan.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom