Menuju konten utama

Hutan Indonesia Makin Botak

Hutan Indonesia mendapat julukan sebagai paru-paru dunia. Namun, "paru-paru" itu makin rusak karena deforestasi yang terus terjadi.

Hutan Indonesia Makin Botak

tirto.id - Sebuah video wawancara aktor Hollywood Harrison Ford dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan tiga tahun lalu sempat ramai beredar. Suasana percakapan yang begitu emosional saat sang aktor "Indiana Jones" dengan wajah berang membahas Taman Nasional Tesso Nilo di Riau yang rusak parah. Video wawancara yang jadi bagian film dokumenter Years of Living Dangerously itu sempat menampilkan tayangan video deforestasi yang menampilkan gundulnya hutan-hutan di Sumatera akibat perambahan.

Apa yang menjadi keresahan Harrison Ford sangat beralasan. Persoalan alih fungsi hutan menjadi perkebunan, pembalakan liar, kebakaran hutan serta eksploitasi hutan secara tidak lestari untuk pengembangan pemukiman atau industri terus saja berlangsung di Indonesia. Deforestasi sudah dan sedang berlangsung di hutan Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri, seperti dikutip dalam Statistik Kementerian LH&K Tahun 2015 memberi pengertian bahwa deforestasi merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan. Organisasi Pangan Dunia PBB, FAO (Food Association Organization) memberi pengertian bahwa deforestasi sebagai penebangan tutupan hutan dan konvensi lahan secara permanen untuk berbagai manfaat lainnya.

Masalah deforestasi ini menjadi perhatian dunia karena Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis yang besar. Secara global, Indonesia menempati posisi kelima terkait dengan negara-negara dengan kehilangan tutupan pohon terbesar. Sejak 2001 hingga 2014, Global Forest Watch mencatat Indonesia telah kehilangan 18,91 juta Ha hutan. Pada periode yang sama, Rusia, yang menempati posisi teratas, kehilangan 42,13 juta ha hutan, disusul oleh Brasil yang kehilangan 38,77 juta Ha.

Infografik Periksa Data Deforestasi yang Tak Berhenti

Berdasarkan Kementerian LH&K, meskipun periode 2009-2011 hingga 2013-2014, deforestasi di Indonesia memperlihatkan tren yang menurun. Namun, pada 2014-2015, luas lahan deforestasi mencapai 901.300 ha, atau meningkat tiga kali lipat dari periode sebelumnya yang tercatat sebesar 397.400 ha.

Infografik Periksa Data Deforestasi yang Tak Berhenti

Sementara itu, data dari Global Forest Watch menunjukkan kehilangan tutupan pohon di Indonesia terjadi tren yang fluktuatif pada 2001-2015. Kehilangan tutupan pohon (tree cover loss) yang dimaksud adalah hilangnya tutupan pohon di berbagai lanskap, seperti wilayah hutan hujan tropis hingga area perkebunan tanpa menjelaskan penyebabnya. Tahun 2012 tercatat sebagai rekor paling tinggi untuk kehilangan tutupan pohon >30% canopy cover yang mencapai 2,26 juta ha.

Ironisnya, satu tahun sebelumnya, pemerintah Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/2011 tentang penundaan penerbitan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Inpres itu sendiri merupakan kelanjutan dari komitmen dan kerjasama Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia, berdasarkan Surat Pernyataan Kehendak yang ditandatangani oleh kedua pemerintah pada 26 Mei 2010.

Infografik Periksa Data Deforestasi yang Tak Berhenti

Terkait dengan soal dan situasi pada 2012 tersebut, sebuah publikasi di Nature Climate Change pada 2014 memberikan informasi bahwa “hilangnya hutan primer Indonesia, yang mencapai lebih dari 6,02 juta ha dari 2000 sampai 2012 dan meningkat rata-rata sebesar 47.600 ha per tahun”. Pada 2012, kehilangan hutan primer tahunan di Indonesia diperkirakan lebih tinggi daripada di Brasil (0,84 juta ha dan 0,46 juta ha)”.

Meskipun menurun, pada 2015, permasalahan tree cover loss masih cukup tinggi, yaitu sebesar 1,75 juta ha. Berdasarkan data WRI Indonesia, Kalimantan merupakan salah satu wilayah yang penyumbang besar kehilangan hutan nasional. Pada 2015, kehilangan hutan nasional di Kalimantan mencapai 323 ribu ha. Hal ini disebabkan karena perluasan lahan perkebunan kelapa sawit yang sebagian besar dilakukan dengan mengorbankan wilayah hutan dan yang banyak terjadi sejak 2005.

Ancaman atas deforestasi yang tidak dapat berhenti itu bukan saja memerlukan perhatian lebih, tapi juga upaya nyata dan serius agar akurasi atas informasi mengenai hutan dan deforestasi di Indonesia memang akuntabel. Hingga saat ini berbagai data dan informasi soal hutan ataupun deforestasi di Indonesia seringkali harus sumber-sumber berbeda. Kondisi tersebut memang terjadi sebagai bagian dari habit tidak adanya pencatatan yang terpadu mengenai kawasan hutan selama bertahun-tahun, mendorong banyak informasi lahir dari sumber-sumber berbeda.

Bahkan pada periode Orde Baru, akses dan data kehutanan Indonesia sering terhambat karena birokrasi dan kalangan industri terkait data yang rahasia (Keadaan Hutan Indonesia, 2001). Data yang akurat, mutakhir dan up-to-date soal hutan memang tidak pernah semudah dibayangkan.

Pada masa lampau, survei lapangan dan udara berikut dengan fotografi udara adalah satu-satunya alat untuk mendapatkan informasi soal tutupan hutan. Seiring dengan adanya perkembangan metode penginderaan jauh (satelit Landsat Geologi AS), telah mendorong cara pandang baru soal bagaimana kita membaca informasi soal hutan.

Sekalipun, citra satelit itu pun masih memerlukan cek faktual secara langsung dari titik-titik identifikasi di lapangan. Terutama untuk membedakan antara deforestasi secara alamiah dengan yang kasus semacam dari pembalakan liar, kebakaran hutan, industri. Dari itu semua, tantangan adalah selain membutuhkan biaya yang besar, waktu yang lama, serta keseriusan dari pemerintah. Identifikasi itu seakan harus berlomba dengan kecepatan dari proses deforestasi yang sedang berlangsung yang membuat hutan Indonesia makin botak dan menyimpan ancaman di masa kini dan mendatang.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Frendy Kurniawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Frendy Kurniawan
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Suhendra