Menuju konten utama

Muncul Penyakit Baru Usai COVID: Efek Pandemi atau Krisis Iklim?

Penyakit hepatitis akut, cacar monyet, dan virus Hendra muncul karena kewaspadaan negara-negara di dunia saat ini lebih meningkat atau awas.

Muncul Penyakit Baru Usai COVID: Efek Pandemi atau Krisis Iklim?
Ilustrasi Hepatitis. foto/Istockphoto

tirto.id - Kasus COVID-19 secara global dan jumlah pasien yang meninggal akibat virus Corona belakangan melandai. World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan per 23 Mei 2022, ada 193.525 kasus di dunia dengan total kasus COVID-19 sebanyak 522.783.196 sejak pandemi. Sedangkan kasus kematian akibat virus menular tersebut per 23 Mei 2022 ada 399 pasien dengan total kasus kematian berjumlah 6.276,210.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Penambahan kasus COVID-19 dan angka kematian melandai. Data per 24 Mei 2022, Satgas Penanganan COVID-19 mengumumkan penambahan kasus sebanyak 345. Adapun total kasus COVID-19 sejak 2 Maret 2020 hingga saat ini secara kumulatif sebanyak 6.053.109.

Secara kumulatif kasus aktif COVID-19 di Indonesia per 24 Mei 2022 tersisa sebanyak 2.933. Untuk kasus kematian, ada sebanyak 14 per 24 Mei 2022. Sementara total kumulatif kasus kematian sejak Maret 2020 sebanyak 156.548 pasien.

Namun demikian, baru-baru ini muncul penyakit-penyakit menular lain di dunia ketika status pandemi COVID-19 belum dicabut oleh WHO. Contohnya hepatitis akut berat yang belum diketahui penyebabnya (misterius), cacar monyet (monkeypox) hingga virus Hendra (HeV).

WHO pertama kali menerima laporan pada 5 April 2022 dari Inggris Raya terkait 10 kasus hepatitis akut berat yang tidak diketahui etiologinya pada anak-anak usia 11 bulan-5 tahun, periode Januari-Maret 2022 di Skotlandia Tengah. Jumlah laporan hepatitis akut berat misterius di dunia terus bertambah sejak secara resmi dipublikasikan sebagai kejadian luar biasa (KLB) oleh WHO sejak 15 April 2022.

Kementerian Kesehatan RI melaporkan per 21 Mei 2022, terdapat 614 kasus hepatitis akut berat misterius di dunia. Total kasus ini didapatkan dari 31 negara yang dilaporkan, dengan ada 14 kematian akibat hepatitis akut misterius.

Untuk data kasus di Indonesia, Kemenkes melaporkan sampai 23 Mei 2022, pukul 16.00 WIB, terdapat 16 kasus suspek (dugaan) hepatitis akut berat misterius terhadap anak Indonesia. Dari 16 kasus tersebut, terdapat 1 probable dan 15 pending classification.

Kemenkes juga melaporkan adanya 4 anak yang meninggal dengan 1 probable dan 3 pending classification. Selain itu, pasien yang masih dirawat ada 12. Data ini didapatkan Tirto dari Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, Senin sore (23/5/2022). Dari data tersebut, Kemenkes mencatat terdapat 11 anak laki-laki dan 5 anak perempuan. Dengan kelompok usia 0-5 tahun 11 anak, 6-10 tahun 3 anak, dan 11-16 tahun 2 anak.

Selain hepatitis akut, seseorang di Inggris telah didiagnosis dengan infeksi virus langka yang disebut dengan cacar monyet. Otoritas kesehatan setempat mengatakan pada 7 Mei 2022 bahwa infeksi ini diduga terkait dengan perjalanan ke Afrika Barat.

Melansir dari kantor berita Reuters pada Sabtu (7/5/2022) The UK Health Security Agency (UKHSA) atau Badan Keamanan Kesehatan Inggris menuturkan dalam sebuah pernyataannya mengenai kasus tersebut, bahwa kasus cacar monyet ditemukan pada seseorang yang baru-baru ini bepergian ke Nigeria. Cacar monyet merupakan infeksi virus langka mirip dengan cacar manusia, yang telah diberantas pada 1980. Meskipun infeksi ini jauh lebih ringan daripada cacar dengan sebagian besar orang terinfeksi pulih dalam beberapa pekan dan kasusnya jarang terjadi, akan tetapi bisa berakibat fatal.

Terkait cacar monyet, beberapa kasus saat ini telah menyebar di Eropa dan Amerika Serikat. Di Eropa ada kasus suspek cacar monyet yang dilaporkan di Inggris, Portugal, dan Spanyol. Wabah ini menyebar lewat kontak dekat dan pertama kali ditemukan pada monyet, dengan sebagian besar terjadi di Afrika Barat dan Afrika Tengah, serta hanya sesekali menyebar di tempat lain.

Sementara itu, para peneliti dari Griffith University menemukan varian baru virus Hendra (HeV-g2) yang dapat menular ke kuda dan manusia. Virus Hendra merupakan patogen yang bersirkulasi secara alami pada kelelawar dari genus Pteropus (flying fox) Australia.

Dilansir dari laman resmi Griffith University, infeksi virus Hendra asli dari kelelawar ke kuda telah terdeteksi 65 kali. Kemudian 4 dari 7 orang yang terinfeksi selanjutnya lewat kuda telah meninggal. Sementara, varian HeV-g2 terdeteksi dalam urine flying fox berkepala hitam dan abu-abu yang menyebar dari pantai utara-tengah New South Wales (NSW) hingga Queensland tenggara. Sama seperti cacar monyet, di Indonesia sejauh ini belum ditemukan kasus virus Hendra.

Munculnya Penyakit-Penyakit Menular Baru

Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman mengatakan, banyaknya penyakit-penyakit yang bermunculan saat masih pandemi ini bukan karena long COVID-19 atau gejala sakit berkepanjangan seusai dinyatakan sembuh dari virus menular itu. Namun, munculnya sejumlah penyakit itu karena dampak pandemi COVID-19. Perubahan iklim juga sangat berpengaruh terhadap munculnya penyakit dan salah satu perubahan iklim ini terjadi adalah karena tingkah laku manusia yang makin merusak ekosistem.

“Jadi penyakit-penyakit ini enggak ada kaitan dengan long COVID-19. Tapi, kaitannya dengan dampak pandemi itu. Jadi karena orang fokus pada COVID-19, aspek pelayanan kesehatan atau pencegahan yang lain tidak terjadi, itu dampaknya,” tutur Dicky ketika dihubungi reporter Tirto pada Selasa (24/5/2022).

Peneliti Health Global Security atau Ketahanan Kesehatan Global tersebut menuturkan bahwa penyakit-penyakit menular ini muncul karena makin mengglobalnya kehidupan manusia. Dia juga memandang faktor iklim dan kerusakan ekosistem makin membuat dunia tambah terancam oleh penyakit-penyakit mewabah.

“Ini semua berkontribusi pada ancaman atau semakin rawannya dunia,” jelas Dicky.

Menurut dia, penyakit hepatitis akut misterius, cacar monyet, dan virus Hendra muncul karena kewaspadaan negara-negara di dunia sekarang lebih meningkat atau awas. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah kemampuan deteksi dini terhadap penyakit itu belum merata karena keterbatasan kemampuan deteksi.

Di sisi lain, kata Dicky, negara maju makin membuka telinga dan matanya untuk memantau penyakit-penyakit yang berpotensi mewabah, tetapi di negara berkembang ataupun negara miskin seperti Afrika, kemampuan mereka belum memadai.

Dia menerangkan, bahwa potensi lahirnya penyakit baru dan bisa berpotensi mewabah itu umumnya lahir dari negara dan wilayah yang sangat dekat hubungannya atau kontak antara manusia, hewan, dan lingkungan. Misalnya di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan sebagian wilayah Eropa.

Dicky juga memprediksi ke depannya akan ada wabah yang bertubi-tubi. Seperti pandemi tidak hanya pada satu penyakit, melainkan dua atau lebih. Dia menyebut secara global, WHO bertanggung jawab akan penyakit-penyakit baru, dengan didukung oleh aktor-aktor global lain yaitu Bank Dunia United Nations Development Programme (UNDP) atau Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

“Tapi, tanpa dukungan negara-negara, itu sama dengan bohong. Karena yang punya wilayah, punya otorisasi, itu negara-negara,” kata dia.

Dicky menyebut penyakit-penyakit baru ini akan cenderung bermunculan dan setiap tahun akan ada. WHO juga bertugas mendeteksi penyakit baru. Dicky menyebut 75 persen virus berasal dari hewan atau disebut dengan zoonosis dan data terakhir menunjukkan kurang lebih 10 ribu virus telah berpotensi menularkan ke manusia.

“Nah artinya, kita benar-benar semakin rawan dan enggak bisa itu menghindari lahirnya penyakit baru itu. Kita enggak bisa berdiri sendiri, dunia ini harus bersatu,” ujar dia.

Sebaliknya, Jubir Kemenkes Syahrial menegaskan munculnya penyakit-penyakit menular lain saat pandemi COVID-19 bukan karena dampak pandemi dan krisis iklim. Namun karena penyakit itu sendiri.

“Tidak [bukan efek pandemi dan perubahan iklim], jadi karena penyakit itu sendiri,” kata Syahril ketika dihubungi reporter Tirto pada Selasa malam (24/5/2022).

Dia mengatakan mungkin penyakit tersebut bermutasi, atau karena perubahan cuaca, dan atau kesehatan lingkungan yang kurang baik, serta daya tahan tubuh orang yang lemah. “Selama manusia hidup ini akan bisa saja muncul penyakit-penyakit baru yang memang belum pernah ada sebelumnya. Nanti kita ke depan mungkin ada lagi dan itulah makanya ilmu-ilmu pengetahuan itu berkembang,” ucap Syahril.

Pria yang juga Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso itu mengklaim saat ini Indonesia memiliki sistem pengendalian penyakit infeksi, yaitu berada di Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes. Terkait bagaimana pencegahan penyakit baru, dia mengatakan harus ada pengawasan dengan penyakit baru seperti di pintu masuk bandara maupun pelabuhan karena kedua tempat itu merupakan pintu masuk dari mobilitas masyarakat.

Selain itu, Syahril mengatakan ada sistem kewaspadaan dini. Sistem ini selalu mencatat dan mengevaluasi apabila muncul tanda-tanda yang kemungkinan meningkatnya lagi kasus yang sudah lama atau munculnya penyakit baru. Petugas kesehatan serta masyarakat Indonesia pun harus melakukan sistem kewaspadaan dini.

Sementara itu, Jubir Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito menilai, banyaknya penyakit menular lain yang muncul saat masih pandemi COVID-19 karena adanya ketidakseimbangan ekosistem dan bukan karena dampak pandemi COVID-19 serta krisis iklim.

“Jadi, enggak bisa sebutkan seperti itu juga. Adanya pandemi COVID-19 atau mungkin sebelum terjadinya pandemi COVID-19, ini kan pasti ada ketidakseimbangan ekosistem atau alam, sehingga timbullah masalah kesehatan meskipun enggak langsung,” kata Wiku saat dihubungi Tirto.

Menurut dia, penyakit-penyakit baru ini tentu harus diteliti satu per satu dan tidak bisa menyimpulkan bahwa penyakit ini berhubungan penyakit lain hingga ada buktinya. Dia juga tidak menganggap penyakit baru ini muncul karena krisis iklim.

“Kita belum bisa menyimpulkan seperti itu [penyakit baru muncul karena krisis iklim]” ujar Wiku.

Wiku menyebut masyarakat perlu memahami cara penularannya dan menyesuaikan diri agar tidak tertular. Karena masing-masing mempunyai cara penularannya sendiri, tetapi cara penularannya juga harus diteliti dahulu sampai terbukti.

“Tapi prinsipnya supaya tidak tertular, adalah perilaku hidup bersih dan sehat,” kata Wiku.

Baca juga artikel terkait PENYAKIT MENULAR atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Abdul Aziz