tirto.id - Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyatakan virus Hendra (HeV) berpotensi menjadi pandemi di masa mendatang. Virus ini muncul pada 1990-an dari flying fox atau kelelawar buah Australia yang menjadi pembawa virus tersebut.
“Kita tahu bahwa Henipavirus yang terdiri dari Nipah virus [NiV] maupun Hendra virus adalah dua virus dari hewan yang bisa berpotensi menjadi pandemi. Itu salah satu potensi pandemi ke depan,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Senin (23/5/2022).
Meski begitu, Dicky mengatakan sejauh ini HeV bukan virus yang mudah menular dan kasusnya sangat jarang ditemukan. Salah satu penyebabnya adalah karena angka fatalitas atau kematian yang tinggi.
“Jadi belum sempat menularkan ya, hewannya sudah mati,” ujar dia.
Dicky menuturkan, flying fox merupakan hewan yang memiliki peranan penting dalam ekosistem karena menyebarkan biji-bijian. Namun hal itu tidak menyebabkan penyakit, justru kotorannya yang jatuh ke rumput atau tanaman yang menyebabkan infeksi HeV.
“Kalau dikonsumsi oleh hewan lain seperti kuda, dia terpapar. Ketika dia terpapar, kemudian kontak dengan hewan lain, sesama kuda atau pun misalnya mamalia lain seperti anjing atau manusia, ya itu yang dalam kontak dekat bisa terpapar,” kata dia.
Menurut Dicky, Indonesia mesti mewaspadai adanya virus ini dan apakah fly fox juga akan bermigrasi ke wilayah Indonesia khususnya di daerah timur. “Itu yang menjadi pertanyaan dan saya belum mendapatkan informasi itu,” kata dia.
Dicky juga menganjurkan agar Indonesia harus mulai meningkatan surveilans terkait HeV. Ia beralasan Indonesia bertetangga dengan Australia dan Asia Tenggara yang mempunyai risiko-risiko penyakit seperti itu.
“Meskipun sejauh ini di Indonesia belum pernah atau belum terdeteksi Hendra virus infection [infeksi virus Hendra] di manusia maupun di hewan di Indonesia, tapi kita harus ingat bahwa itu kembali pada kemampuan deteksi surveilans, deteksi dini,” ujar dia.
Berdasarkan studi serologi pada kelalawar yang ada di Indonesia sekitar tahun 2013, terang Dicky, terdapat 20-25 persen di Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi sudah memiliki antibodi terhadap virus Hendra.
“Yang artinya, bisa jadi sudah ada kasusnya tapi tidak terdeteksi ya,” tukas dia.
Virus Hendra Menular ke Kuda dan Manusia
Para peneliti Griffith University menemukan varian baru virus Hendra (HeV-g2) yang dapat menular ke kuda dan manusia. Virus Hendra merupakan patogen yang bersirkulasi secara alami pada kelelawar dari genus Pteropus (flying fox) Australia.
Dilansir dari laman resmi Griffith University, infeksi virus Hendra asli dari kelelawar ke kuda telah terdeteksi 65 kali. Kemudian 4 dari 7 orang yang terinfeksi selanjutnya lewat kuda telah meninggal.
Sementara, varian HeV-g2 terdeteksi dalam urine flying fox berkepala hitam dan abu-abu yang menyebar dari pantai utara-tengah New South Wales (NSW) hingga Queensland tenggara.
“Deteksi varian Hendra baru dalam urin itu penting,” kata Pemimpin Peneliti Centre for Planetary Health and Food Security atau Pusat Kesehatan dan Keamanan Pangan, Alison Peel.
“Studi kami, dengan meneliti spesies kelelawar tertentu, membantu mengidentifikasi bagaimana varian virus ini menular ke kuda dan manusia,” tambah dia.
Peel menerangkan bahwa varian HeV-g2 terdeteksi di semua musim namun dominan pada bulan-bulan yang lebih dingin antara akhir Mei-akhir Agustus, yang konsisten dengan kemunculan varian virus Hendra di wilayah yang sama.
Lanjut dia, varian HeV-g2 terdeteksi dari Brisbane hingga Nambucca Heads di NSW. Hal ini memperluas jangkauan varian baru yang diketahui sebelumnya hanya terdeteksi di Australia Selatan, Victoria, dan Australia Barat.
“Bukti langsung HeV-g2 ditemukan dalam sampel urin yang diambil dari kelelawar: satu dari flying fox berkepala abu-abu betina remaja dan yang lainnya dari flying fox hitam jantan dewasa,” terang Peel.
Perkembangan flying fox berkepala abu-abu meluas ke wilayah NSW, Victoria, dan Australia Selatan biasanya tidak dianggap berisiko tinggi untuk penyebaran virus Hendra.
“Tetapi bukti kami menunjukkan bahwa ada risiko virus Hendra pada kuda dan pemiliknya [manusia],” sambung dia.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Gilang Ramadhan