tirto.id - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Saadi mengatakan rencana program sertifikasi khatib Salat Jumat oleh pemerintah sebaiknya tidak bersifat wajib tetapi sukarela.
"MUI dapat memahami gagasan Menteri Agama tersebut sepanjang program tersebut bersifat voluntary (sukarela) bukan mandatory (keharusan atau kewajiban)," kata Zainut di Jakarta, Senin (6/2/2017), seperti dikutip dari Antara.
Dia mengatakan sifat sukarela harus dikedepankan daripada bersifat kewajiban yang memiliki konsekuensi hukum.
Karena, kata dia, tugas dakwah pada hakikatnya menjadi hak dan kewajiban setiap orang sesuai perintah agama. Jika sertifikasi bersifat mandatory maka akan sangat sulit dilaksanakan dan dikhawatirkan terkesan ada intervensi atau pembatasan oleh pemerintah.
Jika sudah begitu, lanjut dia, program sertifikasi justru akan menjadi kontraproduktif bagi banyak pihak.
Dia mengatakan sertifikasi itu sejatinya memiliki tujuan baik yaitu untuk meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi dai baik dari aspek materi maupun metodologi.
"Disadari atau tidak kondisi masyarakat kita tengah berubah seiring terjadinya perkembangan teknologi dan informasi. Jadi keharusan untuk meningkatkan kemampuan dai mutlak diperlukan agar benar-benar dapat menyampaikan pesan-pesan agama secara baik dan paham kondisi faktual serta kebutuhan masyarakat sesuai zaman," kata dia.
Akan tetapi, kata dia, program tersebut harus dilaksanakan oleh ormas Islam atau masyarakat bukan oleh pemerintah.
Pemerintah, lanjut dia, seharusnya hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga akan mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut bertanggungjawab dalam menyiapkan kader-kader dakwah yang mumpuni baik dari aspek materi maupun metodologi.
Saat ini, pemerintah tengah menggodok wacana sertifikasi khatib atau penceramah salat Jumat. Wacana muncul karena selama ini beberapa masjid menyampaikan khutbah yang justru memicu perpecahan umat Islam dan isi ceramah yang kontradiktif dengan nilai ke-Islaman itu sendiri.
Namun, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membantah bahwa sertifikasi khatib itu berasal dari pemerintah. Menurutnya, ide itu murni berasal dari aspirasi masyarakat.
Menurut Menag, wewenang standardisasi khatib kepada para ulama yang ada di organisasi kemasyarakatan Islam, sedangkan pemerintah hanya akan berfungsi sebagai fasilitator. Untuk menetapkan sertifikasi khatib nanti akan ditentukan oleh ormas Islam.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri