Menuju konten utama

Moeldoko Soroti Subsidi Beras Petani Terkait Kasus PT IBU

Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menilai bahwa sebaiknya pemerintah tidak melakukan tindakan pidana, tetapi lebih kepada mematenkan sistem subsidi yang dilakukan. Misalnya membuat sistem subsidi setelah panen.

Moeldoko Soroti Subsidi Beras Petani Terkait Kasus PT IBU
Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Adanya tudingan penimbunan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp10 triliun terhadap PT Indo Beras Unggul (PT IBU) selaku produsen beras Maknyuss dan Cap Ayam Jago menjadi ramai. Pada diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Ichsan Firdaus dan Moeldoko menilai bahwa seharusnya PT IBU tidak dikenakan tindak pidana.

Anggota DPR Komisi IV yang membidangi masalah pangan dan pertanian Ichsan Firdaus menilai ketidakmampuan pemerintah dalam mengintervensi pasar menjadi penyebab utama terjadinya penggebrekan dan tudingan pidana terhadap PT IBU.

Firdaus menjelaskan bahwa sejatinya pemerintah bisa melakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga beras eceran yang terlalu tinggi. Namun, tindak dan tudingan pidana tidak seharusnya dilakukan. Harga Eceran Tertinggi (HET) beras sampai saat ini adalah Rp9.500 rupiah. Sedangkan PT IBU sendiri membeli beras dengan harga Rp7000 yang kemudian dipoles menjadi Rp20.400 sebagai beras dengan kualitas premium.

“Sebenarnya pemahaman tentang HET (Harga Eceran Tertinggi) kan itu acuan bagi pemerintah untuk melakukan intervensi pasar. Bukan untuk melakukan tindakan hukum. Kalau misal harga di atas HET maka pemerintah harus melakukan intervensi. Misal HET daging 80 ribu, lalu dijualnya 100 ribu. Apakah lalu pedagang itu ditangkap? Kan tidak. Nah di situlah peran Bulog. Bagaimana caranya agar mekanisme pasar berjalan dan tidak melebihi HET,” kata Firdaus, Sabtu (29/7/2017).

Baca juga:

Firdaus menilai bahwa masalah utamanya adalah karena Bulog tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk melakukan intervensi pasar. Sampai sekarang aturan yang berlaku untuk mengendalikan beras medium ataupun beras berkualitas beras bisa dikendalikan oleh Bulog. Apabila HET beras medium terlalu tinggi, Bulog mempunyai persediaan beras medium. Tapi bagaimana dengan beras premium? Firdaus menilai bahwa pemerintah tidak mempunyai pasokan beras premium.

Kerancuan informasi yang menuding bahwa pelanggaran menjual beras di atas HET, menurut Firdaus, bisa merugikan para petani. HPP (Harga Produksi Pangan) untuk gabah adalah Rp3.700. Sedangkan, banyak produsen beras seperti PT IBU misalnya, yang membeli gabah di atas harga tersebut, sekitar Rp 4.900. Dengan tudingan pidana terhadap PT IBU ini, Firdaus merasa petani malah akan lebih dirugikan.

“Itu yang terjadi karena peristiwa sekarang. Pemerintah harus melakukan sosialisasi. Petani itu tidak boleh ketakutan untuk menjual berasnya. Lah pemerintah itulah kasih tahu ke petani silakan jual beras dengan harga berapa pun asal menguntungkan petani tidak ada masalah hukum. Tapi bila ada harga yang dijual di luar HET atau harga pasar, Bulog lah yang berperan,” terang Firdaus kepada Tirto.

Baca juga:

Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menilai bahwa sebaiknya pemerintah tidak melakukan tindakan pidana, tetapi lebih kepada mematenkan sistem subsidi yang dilakukan. Selama ini, perusahaan produsen beras banyak membeli gabah langsung dari himpunan tani yang memang murah karena subsidi dari pemerintah. Oleh sebab itu ia menyarankan agar pemerintah membuat sistem subsidi setelah panen.

“Kalau memang seperti itu, perlu dipikirkan bahwa subsidi diberikan setelah panen,” katanya.

“Menurut saya, perlu dievaluasi distribusnya. Yang kedua, kalau memang ini tidak bisa diuntungkan besar kepada para petani, mungkin perlu dicek lagi apakah perlu subsidi pupuk diberikan pada saat kapan dan harga yang ditetapkan petani Bulog tidak 3.700 (rupiah) lagi, mungkin bisa 4.500 (rupiah),” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KASUS BERAS OPLOSAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Alexander Haryanto