tirto.id - Intel rupanya bukan satu-satunya raksasa teknologi yang tengah mengalami masa sulit. Nvidia, perusahaan yang bisa dibilang merupakan "biang kerok" utama di balik kejatuhan Intel, saat ini pun sedang berada dalam situasi yang tidak mengenakkan. Bayangkan saja, pada Selasa (3/9/2024) lalu, Nvidia baru saja kehilangan valuasi perusahaan sampai US$279 miliar!
Hari itu, dilaporkan CNN, merupakan hari terburuk Nvidia sepanjang sejarah di lantai bursa. Nilai sahamnya turun 9,5 persen sehingga menggerus valuasi perusahaan sampai ratusan miliar dolar. Nvidia pun membukukan catatan buruk dari perdagangan bursa pada hari itu, kala ia memecahkan rekor kerugian yang dialami Meta pada 2022 senilai US$240 miliar.
Tentu, US$279 miliar itu bukan angka yang sedikit. Hilangnya valuasi Nvidia itu bahkan lebih besar dari nilai valuasi total perusahaan-perusahaan macam McDonald's, Chevron, dan Pepsi. Sebagai catatan, per 9 September 2024, valuasi Nvidia berada di angka US$2,5 triliun. Itu masih sangat tinggi, tapi terlihat jelas bahwa valuasinya dalam kurun beberapa bulan terakhir terus menurun. Pasalnya, pada Juni silam, nilai perusahaan ini pernah mencapai US$3,3 triliun.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada Nvidia?
Persoalan Hukum dan Sentimen Negatif dari Pemerintah
Penurunan valuasi Nvidia sebenarnya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan sebuah proses yang sudah terjadi selama beberapa bulan. Kita akan sampai pada pembahasan itu nanti. Yang pertama perlu kita soroti adalah alasan di balik anjloknya nilai saham Nvidia secara signifikan, yakni persoalan hukum, khususnya yang terjadi di Amerika Serikat (AS).
Dilaporkan The Guardian, sebelum bursa dibuka pada Selasa (3/9/2024), Departemen Kehakiman AS mengirim surat perintah (subpoena) kepada Nvidia dan sejumlah perusahaan teknologi lain untuk membuka informasi mereka kepada publik. Hal itu dilakukan karena Nvidia ditengarai melakukan upaya untuk mempersulit klien berpindah ke suplier semikonduktor lain.
Bahkan, menurut Departemen Kehakiman AS pula, Nvidia sampai "menghukum" pelanggan yang enggan menggunakan chip bikinan Nvidia secara ekslusif.
Namun, menurut laporan CNN, Nvidia sendiri membantah adanya surat perintah dari Departemen Kehakiman AS tersebut.
Seorang juru bicara perusahaan berkata, "Kami sudah bertanya kepada Departemen Kehakiman AS dan mereka bilang tidak ada surat perintah apa pun. Meski demikian, kami akan selalu menjawab pertanyaan apa pun dari regulator mengenai bisnis kami dengan senang hati."
Terlepas dari dua keterangan yang bertentangan itu, kabar turunnya surat perintah ini semakin mengindikasikan "ketidaksukaan" Pemerintah AS terhadap perusahaan teknologi. Perusahaan seperti Apple pernah menjadi sasaran tembak lantaran dianggap melakukan praktik monopoli. Google dan Amazon pun pernah dituduh melakukan hal serupa. Kini, giliran Nvidia yang merasakan "amarah" dari rezim Biden.
Sikap keras pemerintahan Biden itu membuat banyak pemimpin raksasa teknologi disebut mengalihkan dukungan kepada Donald Trump. Namun, Trump sendiri sebenarnya merasa tidak nyaman dengan kuatnya cengkeraman perusahaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Amerika.
"Aku tidak ingin menyakiti perusahaan-perusahaan itu, tapi aku juga tak ingin mereka menghancurkan generasi muda kita," ujar Trump, dikutip dari Business Insider.
Di sisi lain, Kamala Harris yang akan menjadi rival Trump dalam Pemilihan Presiden AS mendatang, dilaporkan Reuters sudah mendapat dukungan kuat dari para pekerja perusahaan teknologi. Artinya, saat ini, para pemimpin perusahaan teknologi sedang menjadi musuh bersama. Siapa pun presidennya nanti, mereka tetap bakal menghadapi tekanan kuat.
Investor Mulai Kehilangan Kesabaran pada Perkembangan AI?
Sebelum nilai sahamnya anjlok secara signifikan, valuasi Nvidia sebenarnya sudah mengalami penurunan secara perlahan sejak mencapai puncak pada Juni 2024. Penyebab utama di balik penurunan nilai perusahaan ini adalah mulai pudarnya kepercayaan para investor terhadap kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Nvidia merupakan pemimpin pasar dalam urusan manufaktur chip untuk pengembangan AI. Maka pudarnya kepercayaan investor, mau tidak mau, turut memengaruhi pula valuasi perusahaan ini.
Sejak Agustus, miliaran dolar telah raib dari kocek para raksasa teknologi. Sebuah kolom editorial di The Guardian menyebut bahwa investor sejak awal sebenarnya tidak terlalu memahami AI, tapi sudah kadung bersemangat untuk bertaruh pada pengembangannya.
Kemunculan ChatGPT—chatbot AI generatif bikinan OpenAI—membuat AI seketika dipandang sebagai komoditi panas, tak cuma untuk masa kini, tapi juga masa depan. Setelahnya, berbagai perusahaan teknologi pun mengekor. Microsoft meluncurkan Copilot, sementara Google terjun ke palagan yang sama dengan Bard yang kemudian beralih nama menjadi Gemini.
Saking hebohnya para investor, sampai-sampai, menurut laporan Wall Street Journal—yang dilansir ulang oleh The Guardian, CEO OpenAI, Sam Altman, sudah dalam tahap akhir pembicaraan untuk mendapatkan dana sekira US$5- US$7 triliun untuk pengembangan AI. Kesepakatan ini memang akhirnya urung tercapai, tapi ini menunjukkan betapa sembrononya para investor dalam menyikapi perkembangan AI.
Belakangan, para investor itu sadar bahwa banyak perusahaan, misalnya Amazon, yang pengembangan AI-nya tidaklah menguntungkan. Uang yang dihamburkan memang sudah begitu besar, tapi hasil yang didapatkan jauh dari kata sepadan. Inilah yang kemudian membuat harga saham Amazon sempat mengalami penurunan.
Maka sejak Agustus itu pulalah, para investor mengerem habis-habisan investasi mereka dalam pengembangan AI. Mereka tidak lagi pasang ekspektasi berlebihan atau menghamburkan dana berlebihan untuk AI.
Hal itu sebenarnya tidak secara otomatis membuat pengembangan AI menjadi terhenti begitu saja. Banyak yang masih percaya bahwa perkembangan teknologi AI baru saja dimulai dan masa depannya masih panjang. Hanya saja, investor sekarang lebih realistis dan pasar mesti mengatur ulang ekspektasi mereka, khususnya ketika kita bicara soal keuntungan jangka pendek.
Di sini, Nvidia jelas merasakan dampaknya. Ia memang tidak serta-merta langsung hancur seperti Intel, tapi secara gradual, nilai perusahaan terus mengalami penurunan.
Citra Buruk Perusahaan
Satu hal lain yang sedang membuat Nvidia jadi sorotan publik adalah buruknya citra perusahaan berkat laporan mendalam yang diterbitkan oleh Bloomberg. Singkatnya, dengan bekerja di Nvidia, seseorang bisa jadi kaya mendadak. Namun, sebagai imbalannya, mereka mesti tahan berada di perusahaan dengan lingkungan kerja toksik.
Laporan Bloomberg tersebut, yang kemudian diwartakan ulang oleh CNN, menyebutkan bagaimana karyawan bisa bekerja tujuh hari seminggu dan baru bisa pulang selepas tengah malam. Dalam sehari, mereka juga bisa mengikuti lebih dari sepuluh rapat. CEO Nvidia, Jensen Huang, pun percaya bahwa jalan terbaik mengembangkan perusahaan adalah dengan "menyiksa karyawan".
Setiap pekerja Nvidia tidak cuma mendapatkan gaji dan benefit. Mereka juga berhak atas sebagian kepemilikan atas perusahaan. Itulah mengapa, seiring dengan melesatnya Nvidia ke puncak industri teknologi, para pekerja ini pun tetiba jadi tajir melintir. Namun, sekali lagi, harga yang mesti mereka bayar tidaklah murah.
Situasi ini bisa jadi bakal dimanfaatkan oleh para kompetitor yang bisa menjanjikan lingkungan kerja lebih baik. Dari pencapaian selama ini, sudah terbukti bahwa para pekerja Nvidia memang punya kompetensi hebat. Kompensasi atas kerja keras mereka pun luar biasa besar.
Namun, bagaimana jika mereka akhirnya memutuskan bahwa yang lebih berharga adalah rasa bahagia? Di sinilah, para kompetitor bisa menawarkan alternatif bagi para pekerja tersebut.
Sebenarnya, citra buruk perusahaan ini tidak termasuk pada faktor yang membuat valuasi Nvidia merosot. Namun, munculnya laporan Bloomberg itu semakin menegaskan bahwa Nvidia saat ini memang berada dalam masa sulit, meskipun sepintas ia masih tampak perkasa.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi