Menuju konten utama

Di Balik Robohnya Bisnis Intel: Gagal Baca Tren & Hilang Fokus

Kesalahan yang menumpuk sejak 2007 bikin bisnis Intel merosot tajam. Masih ada kesempatan bangkit.

Di Balik Robohnya Bisnis Intel: Gagal Baca Tren & Hilang Fokus
Ilustrasi. Tampak seseorang mengamati komponen prosesor. Foto/Getty Images/Dimas Ardian

tirto.id - Awal Agustus 2024 lalu, sebuah perusahaan raksasa teknologi dengan jumlah karyawan lebih dari 125 ribu orang mengumumkan bahwa mereka bakal memberhentikan lebih dari 15.000 pekerjanya. Seturut pemberitaan Nikkei Asia, langkah dramatis itu diambil setelah perusahaan tersebut mengalami penurunan profit sebesar 85 persen secara year-on-year. Perusahaan tersebut adalah Intel.

Saat ini, komputer personal (PC) atau laptop Anda mungkin masih dipersenjatai dengan prosesor bikinan Intel. Namun, itu tak bisa menolong perusahaan asal Santa Clara, California, Amerika Serikat, tersebut untuk berkompetisi dengan berbagai rivalnya. Sebab, menurut laporan CNBC, market cap Intel saat ini hanya seperenambelas dari market cap Nvidia.

Bahkan, market cap Intel pun lebih kecil dibandingkan Qualcomm, Broadcom, Texas Instruments, dan AMD.

Sepanjang 2024, Intel selalu mengalami kerugian. Pada kuartal pertama (Q1) 2024, menurut catatan The Verge, Intel mencatatkan kerugian sebesar US$437 juta. Lalu, pada Q2 2024, nilai kerugian tersebut melonjak drastis, nyaris empat kali lipat, menjadi US$1,6 miliar.

“Pendapatan kami belum tumbuh sesuai harapan dan kami belum betul-betul merasakan manfaat dari tren paling besar saat ini, termasuk kecerdasan buatan,” tulis CEO Intel, Pat Gelsinger, dalam memo kepada para stafnya, dikutip juga dari The Verge.

Sudah Salah sejak 2007

Seperti halnya Roma tidak dibangun dalam satu hari, kejatuhan Intel pun tidak terjadi dalam kurun waktu singkat. CNBC mencatat bahwa Intel sesungguhnya sudah mulai melakukan kesalahan sejak 2007, tepatnya saat Apple pertama kali merilis iPhone.

Ketika itu, Apple dan Intel masih terikat sebuah kerja sama yang menguntungkan. Intel sebagai pemimpin industri chip mikro menjadi pemasok prosesor utama bagi produk komputer (iMac) dan laptop (MacBook) milik Apple.

Saat itu, kecepatan prosesor Intel memang tidak tertandingi. Secara konsisten, Intel mampu mengamalkan dengan baik ajaran pendiri mereka, Gordon Moore, yang disebut sebagai “Hukum Moore”. Bunyinya kurang lebih, “Semakin lama, ukuran semikonduktor akan semakin kecil, semakin kuat, dan semakin murah secara eksponensial.”

Maka tak mengherankan Apple memilih Intel sebagai pemasok prosesor bagi produk komputer dan laptop mereka. Lalu, ketika iPhone hendak diproduksi, Apple yang kala itu masih dipimpin Steve Jobs pun kembali memilih Intel sebagai pemasok. Namun, kesepakatan urung tercapai karena kedua belah pihak bersikukuh soal siapa yang nantinya akan memegang hak properti intelektual.

Apple pun memilih jalur lain. Setelah menggunakan chip bikinan Samsung pada iPhone edisi perdana, ia kemudian mengembangkan chip sendiri yang masih digunakan sampai sekarang. Chip buatan Apple ini dibuat dengan basis Advanced RISC Machines (ARM) seperti halnya chip Qualcomm yang digunakan oleh Samsung.

Sebenarnya, Apple masih bertahan cukup lama dengan chip bikinan Intel. Namun, pada 2020, ia secara resmi menghentikan kerja sama dengan Intel dan menggunakan chip berbasis ARM pula. Tren serupa kemudian diikuti oleh produsen komputer Windows, bahkan ChromeBook.

Intel sebetulnya sudah pernah berusaha masuk ke dunia ponsel pintar ketika mereka bekerja sama dengan Asus. Mereka merilis chip bernama Atom yang digunakan di ponsel pintar Asus Zenphone. Namun, kerja sama ini tak bertahan lama karena Asus Zenphone tidak terlalu laris di pasaran dan sudah dihentikan produksinya sejak 2015.

Kegagalan masuk ke dunia ponsel pintar itu awalnya mungkin tidak terlalu dirasakan oleh Intel karena mereka masih memimpin di dunia komputer. Akan tetapi, di 2015 pula, Intel mulai menemui masalah dalam pengembangan chip komputer.

Setiap dua tahun, Intel selalu bisa menciptakan chip baru yang lebih cepat melalui strategi yang disebut “tick-tock development”. Artinya, setiap dua tahun, Intel selalu bisa merilis chip dengan kemampuan memproses yang baru (tick), lalu menyempurnakan desain dan teknologinya (tock)pada tahun berikutnya.

Pada 2015, Intel untuk pertama kalinya gagal melakukan strategi tick-tock development. Ketika itu, ia hendak merilis chip 10nm sebagai penerus chip 14nm. Namun, minimnya investasi di bidang riset dan pengembangan membuat peluncuran ini terlambat dilakukan.

Sekali terlambat, Intel kemudian terus tertinggal karena masih terjebak di chip 7nm—bahkan hingga kini. Sementara itu, produsen lain, seperti AMD yang proses manufakturnya dilakukan di TSMC (Taiwan Semiconductor), sudah bisa membuat chip 3nm yang jauh lebih cepat.

Sejak itu pulalah Intel tertinggal dari AMD sebagai pemasok prosesor laptop dan komputer. Pada 2022, AMD akhirnya sukses melangkahi market cap Intel.

Diperparah Perkembangan AI

Kemerosotan bisnis Intel semakin parah gara-gara masifnya perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Bisa dikatakan, ini adalah penyebab utama di balik hancurnya Intel dalam beberapa tahun terakhir. Di bidang ini, Intel kalah telak dari Nvidia.

Ketika pertama kali didapuk sebagai CEO Intel pada 2021, Gelsinger sudah mewanti-wanti bahwa “musuh terbesar” perusahaan ini bukanlah Arm, melainkan Nvidia. Prediksi Gelsinger itu terbukti tepat karena Nvidia sampai saat ini belum terkejar sebagai pemasok chip bagi perusahaan-perusahaan pengembang AI, mulai dari OpenAI sampai Google.

Apa yang dialami Nvidia ini menarik karena, dulunya, mereka lebih dikenal sebagai produsen kartu grafis dengan graphics processing unit (GPU) sebagai andalannya. Rupanya, seiring dengan mulai dikembangkannya AI generatif, para engineer sadar bahwa GPU ternyata lebih cocok digunakan untuk kalkulasi paralel dalam algoritma AI.

Nvidia dengan cepat menangkap potensi itu dan mengalihkan fokus (nyaris) sepenuhnya ke sana.

Dalam sebuah server berbasis GPU berorientasi AI, biasanya terdapat delapan GPU Nvidia dan satu CPU Intel. Dalam server-server tua, yang lebih penting adalah CPU milik Intel. Namun, dalam server AI, yang terjadi justru sebaliknya.

Bahkan, CPU Intel bisa disingkirkan sepenuhnya ketika server itu menggunakan GPU Nvidia yang lebih kuat dengan dipasangkan bersama satu prosesor berbasis ARM.

Hasilnya, ketika ChatGPT pertama kali diluncurkan pada 2022, nama Nvidia ikut terangkat. Penjualan mereka naik tiga kali lipat dan setelah itu ia seakan tak terhentikan.

Intel sebetulnya juga sudah tahu potensi itu dan telah berupaya mengembangkan sebuah chip AI bernama Gaudi 3. Namun, Gaudi 3 belum bisa menyaingi chip AI buatan Nvidia, B100.

Penjualan kedua chip itu pun bak bumi dan langit. Pada tahun ini, penjualan chip Nvidia diperkirakan bisa mendatangkan uang sebesar US$3,5 miliar dolar. Sementara itu, Intel Gaudi 3 diprediksi hanya mampu menghasilkan US$500 juta.

Proses manufaktur chip Gaudi 3 juga menimbulkan masalah tersendiri bagi Intel. Di kala perusahaan pengembang lain memasrahkan proses produksi pada perusahaan manufaktur seperti TSMC, Intel memilih memproduksi chipnya sendiri melalui Intel Foundry. Namun, Intel Foundry ternyata justru mendatangkan banyak kerugian bagi induknya.

Bahkan, Intel Foundry bisa dikatakan merupakan sumber terbesar dari segala petaka finansial yang dialami Intel. Itu amat kentara lantaran performa lini bisnis Intel yang lain malah baik-baik saja. Bisnis PC dan server Intel, misalnya relatif stabil. Intel pun dikabarkan akan menerima bantuan senilai US$8,5 miliar dari pemerintah Amerika Serikat.

Dalam keadaan seperti itu, tentu akan mudah menemukan lini mana yang keropos dan bikin masalah.

Maka bisa disimpulkan bahwa kerugian yang dialami Intel bersumber pada dua hal. Pertama, ia gagal menangkap tren, baik tren ponsel pintar maupun AI. Kedua, Intel kehilangan fokus—apakah ingin tetap menjadi pengembang atau beralih ke manufaktur.

Intel terbukti kesulitan bersaing dalam pengembangan teknologi, tapi pabrik chip mereka juga justru jadi penyebab kerugian dalam jumlah besar.

Sisi positif bagi Intel, perlombaan di sektor AI ini baru saja dimulai. Masih sangat sulit memprediksi bagaimana sentimen pasar di masa depan. Sebagai catatan, belum lama ini, saham perusahaan pengembang AI sempat mengalami kejatuhan karena ada semacam keraguan tentang bagaimana AI bisa diaplikasikan secara penuh.

Namun, di sisi lain, optimisme tetap terjaga. Meski sempat mengalami penurunan, bukan berarti pengembangan AI bakal berhenti begitu saja, terlebih masih banyak ruang eksplorasi di ranah ini. Artinya, Intel masih punya kesempatan untuk bersaing di masa depan.

Apalagi, PHK besar-besaran tadi disebut bakal membuat Intel bisa menyelamatkan dana hingga US$10 miliar.

Dana sebesar itu bisa digunakan Intel untuk berbenah. Yang pertama, ia perlu merebut kembali pasar chip komputer dan laptop mereka dari AMD karena bisnis ini sesungguhnya jauh lebih sustainable baginya. Setelah itu berhasil dilakukan, barulah kemudian Intel perlu mengevaluasi ulang prioritasnya di pasar server AI. Pasalnya, apa yang terjadi pada Nvidia ini adalah sebuah boom yang bisa berakhir kapan saja.

Dengan kata lain, Intel masih punya kesempatan untuk bangkit. Syaratnya, tentu saja, adalah dengan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan dulu.

Baca juga artikel terkait INTEL atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Reporter: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi