Menuju konten utama

Menziarahi Bintang Kehidupan Nike Ardilla

Mereka datang dari sejumlah kota. Tiap 19 Maret, mereka berkumpul untuk menapak tilas museum, lokasi kecelakaan, hingga makam sang idola yang meninggal puluhan tahun lalu: artis pop Nike Ardilla.

Menziarahi Bintang Kehidupan Nike Ardilla
Puluhan penggemar Nike Ardilla berziarah ke makam sang idola di Ciamis, Jawa Barat. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - 18 Maret, sekitar pukul 8 pagi, 22 tahun lalu, Nike Ardilla baru saja berangkat menuju tempat syuting sinetron Warisan II di Jalan Atletik, Bogor. Nike tiba pukul 10 pagi dan memulai syuting hingga pukul 19.30. Bersama Sofiatun Wahyuni, sahabat sekaligus manajernya, Nike melanjutkan pergi ke Bandung. Mereka sempat pulang ke rumah keluarga Nike di Perumahan Aria Graha II, Jalan Soekarno-Hatta. Keduanya lantas ke Hotel Jayakarta untuk menemui teman-temannya, dan lanjut ke diskotek Pollo di Jalan Asia Afrika.

Pada 19 Maret 1995, sekitar pukul 5 pagi, Nike meninggalkan Hotel Jayakarta usai mengantarkan beberapa kawan. Sekitar pukul 6 pagi, mobil Honda Civic Genio yang dikendarai Nike oleng dan menghantam tempat sampah yang terbuat dari beton di Jalan Riau (sekarang R.E Martadinata). Nike meninggal di usia 19 tahun, masa ranum seorang selebritas di puncak karier.

Setahun kemudian, para fans Nike—tergabung dalam Nike Ardilla Fans Club—melangsungkan ziarah ke makam artis idolanya di Kecamatan Imbanagara, sekitar 7 kilometer dari pusat kota Ciamis. Sejak saat itu, mereka tak pernah absen menziarahi makam Nike.

Tahun ini menandai 22 tahun Nike Ardilla berpulang. Karena rasa penasaran, saya pun mendaftar acara ziarah ini. Saya ingin menyaksikan militansi penggemar Nike Ardilla. Tahun ini biayanya Rp275 ribu, sudah termasuk sehelai kaus dan konsumsi. Orang yang mengurusi keberangkatan saya adalah Dani Haryono dan Euis Risdiana.

Di garasi bus Cawang, Jakarta Timur, selepas menembus hujan deras dan meneduh dan menunggu, saya memperhatikan orang-orang ini, para penggemar fanatik Nike dari beragam generasi, wara-wiri dan mengobrol ibarat kawan lama tak bersua. Mereka mengenakan kaus warna toska, kaus seragam ziarah kali ini, yang menampilkan sablonan wajah manis Nike di bagian muka dan tulisan "22nd In Memoriam" di bagian belakang.

Ada penggemar yang sudah ikut ziarah belasan kali. Ada beberapa penggemar yang bahkan baru lahir selepas 1995. Mereka terus menua, tetapi Nike, di alam keabadiannya, tetap berusia 19 tahun. Dari pelbagai sudut di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, orang-orang ini sudah menyiapkan dua bus dengan kapasitas 60 dan 50 penumpang. Ada juga beberapa mobil. "Teh Euis", salah satu fans Nike yang saya kontak agar saya bisa ikut serta ziarah kali ini, menurut salah satu dari mereka, akan berangkat dari Tangerang.

"Ada juga bus yang berangkat dari Surabaya," kata Adi Fahman, salah satu admin laman penggemar Nike Ardilla di Facebook (memiliki 3 juta lebih anggota).

Angkutan pertama saya bukan bus, melainkan mobil perkotaan merah marun berkapasitas 7 orang. Orang di belakang setir bernama Jopan, punya gaya rambut belah tengah bak perpaduan paling brilian dari penyanyi dangdut Alam dan Charly Setia Band.

"Suka Charly, ya?" tanya saya.

Ia tertawa. Dan sepanjang jalan, meski kami bakal mengunjungi sebuah makam, pusat duka dan rasa haru, tawa sesekali menemani kami. Jopan, pria asal Palu di Sulawesi Tengah yang tinggal di Tangerang, adalah penggemar berat Nike. Ia mendengar kali pertama suara Nike saat masih SMP. Pembawaannya ceria. Ia kerap mengakhiri kalimatnya dengan tawa meski bikin saya was-was karena, katanya, ia belum tidur seharian.

Di bangku sebelah Jopan, duduk Neneng dari Banyumas, Jawa Tengah. Ia dan Jopan sama-sama pengguna aktif Facebook. Saat rehat, entah untuk mengisi bensin maupun menunggu rombongan lain atau makan siang, mereka rutin menyiarkan sesi Facebook Live.

"Karena di FB banyak penggemar Nike juga. Jadi pada ramai," kata Neneng.

"Ini pada nanya: di belakang itu siapa saja?" Neneng menoleh kepada Andrey Gromico, fotografer Tirto, yang hanya mesem-mesem malu.

"Halo, saya Miko," kata Gromico, cengar-cengir sembari melambaikan tangan.

Biasanya tujuan pertama ziarah para penggemar dari Jabodetabek adalah Ciamis. Di sini mereka akan menginap semalam, lanjut subuh hari ke Bandung menuju Jalan R.E Martadinata. Di sana mereka akan menaruh bunga dan berdoa bersama. Perjalanan berikutnya ke Museum Nike Ardilla di kawasan Cipamokolan, Bandung. Namun kali ini tujuan pertama adalah Sumedang, tempat makam Deddy Dores.

Bagi yang belum pernah dengar nama Deddy, sosok ini ialah legenda dalam jagat musik 90-an. Pria kelahiran Surabaya ini pernah main musik rock bersama Rhapsodia, lalu Super Kid bersama Deddy Stanzah dan Jelly Tobing, serta God Bless, baik saat masih bernama Crazy Wheels ataupun saat bergabung sebagai keyboardist dan gitaris pada 1973. Namun kariernya kemudian lebih moncer sebagai pencipta lagu untuk Nike Ardilla.

Sebagian besar lagu hits Nike adalah ciptaan Deddy. Sebut saja "Bintang Kehidupan" yang menjadi lagu terbesar Nike. Juga "Seberkas Sinar", "Cinta Pertama", "Hati Kecil", "Sandiwara Cinta", hingga lagu duet Nike dan Deddy berjudul "Cinta Diantara Kita". Deddy meninggal pada 17 Mei 2016. Ia dimakamkan di Desa Cijeler, Kecamatan Situraja.

Setelah dari Sumedang, saya dan Gromico pindah dari mobil Jopan untuk naik bus. Benar perkiraan saya, suasananya lebih hidup. Sepanjang perjalanan menuju Bandung, lagu-lagu Nike selalu berkumandang. Sering pula diputar video klip Nike. Mulai era "Seberkas Sinar" hingga "Sandiwara Cinta."

Video lagu "Sandiwara Cinta" punya dua versi. Yang pertama, syuting dilakukan di Jakarta, Pantai Anyer, dan Kebun Raya Bogor. Video kedua rencananya akan diambil gambar pada 21 Maret 1995. Tentu rencana itu tak pernah terjadi. Sutradara Rizal Mantovani kemudian mengakalinya dengan memasukkan beberapa cuplikan video Nike yang ditampilkan dalam tumpukan televisi, juga cuplikan video Marilyn Monroe, idola Nike. Bisa jadi karena ini adalah video klip terakhir yang dibuat Nike, versi terakhir lebih populer ketimbang versi pertama.

Di bus, saya bertemu dengan Nicholas Tanuwijaya, bocah berusia 12 tahun, anak Euis Risdiana, yang jadi operator mengganti VCD lagu-lagu Nike. Sejak umur 3 tahun, Nicholas sudah mendengarkan Nike. Saat usia 6 tahun, Nicholas mulai ikut ziarah.

"Aku sekeluarga adalah fans Nike. Kami sering pergi ziarah. Kalau habis lebaran dan mudik ke Kuningan, pulangnya pasti mampir ke makam Nike," kata Euis.

Tujuannya adalah ke Museum Nike Ardilla. Museum ini didirikan oleh ayah Nike, Raden Eddy Kusnadi. Di museum ini ada pelbagai memorabilia Nike di lantai 2. Dari foto-foto besar Marilyn Monroe (Nike sangat mengidolakan Marilyn), foto-foto Nike, koleksi baju, dan aneka plakat penghargaan.

Malam itu suasana Museum amat ramai. Ada ratusan penggemar Nike yang tumpah. Tiga bus diparkir di depan perumahan. Ada sekitar 9 mobil dan puluhan motor yang turut diparkir. Di bagian bawah museum, belasan orang mengantre untuk berfoto di bawah tulisan dan foto besar Nike Ardilla. Setelah berdoa bersama, mengobrol, dan foto-foto di lantai 2, para penggemar ini berkumpul di aula bawah untuk menyaksikan beberapa penyanyi mendendangkan lagu-lagu Nike. Ada banyak peserta ziarah menginap di lantai 2 museum. Ada pula yang menyewa hotel di sekitar lokasi museum.

Keesokan paginya, rombongan bertolak ke Jalan R.E Martadinata, lokasi Nike tabrakan yang sudah menjadi Kafe Bali.

Perbincangan tentang bagaimana Nike meninggal masih jadi pusat obrolan, seakan-akan mereka baru pertama kali membicarakannya. Banyak penggemar yang menganggap kematian Nike janggal. Beberapa menyodorkan teori konspiratif, sesuatu yang ingin mereka percayai sekaligus menunjukkan betapa dalam rasa kehilangan para penggemar, orang-orang biasa ini, terhadap sang pujaan. Salah satunya, kata mereka, Nike dianggap punya masalah dengan salah satu cucu Soeharto, pembesarnya pembesar Orde Baru.

"Sampai Nike ditodong pistol segala," ujar seorang penggemar yang sungkan disebutkan namanya.

Memang, sebelum pergi dari diskotek Pollo, ban mobil Nike bocor. Ban cadangan yang kemudian dipasang berukuran lebih kecil dari ban lain. Kawan Nike, Denny Mukti, sempat mengingatkan Nike untuk hati-hati di jalan.

"Bisa jadi ban itu yang bikin mobil jadi tidak stabil," lanjut si penggemar.

Tidak hanya menyodorkan gosip, soal jam kematian dan lokasi kematian pun masih simpang siur. Ada yang bilang Nike langsung meninggal di tempat. Ada yang mengatakan Nike meninggal di perjalanan menuju rumah sakit. Begitu pula soal jam kejadian. Ada yang bilang kecelakaan terjadi pukul 5.45 pagi, tetapi ada pula yang berkata pukul 3 pagi, dan ada juga yang bilang kecelakaan terjadi pukul 6 pagi.

Di depan Kafe Bali itu, para penggemar berkumpul dan berdoa bersama. Banyak yang membawa bunga, juga foto berpigura. Seseorang membawa gitar dan menjadi pengiring karaoke massal lagu-lagu Nike. Lagu "Menyibak Tirai Kelabu" dan "Bintang Kehidupan" dimainkan. Beberapa penggemar berwajah sendu, bahkan ada yang menangis sesenggukan.

Dari Bandung, rombongan kemudian bergerak ke Ciamis. Kali ini lebih banyak karena ada bus dari Bandung dan Surabaya, dan beberapa mobil yang menyusul. Dan tentu saja, sepanjang perjalanan menuju Ciamis, lagu-lagu Nike terus diputar.

INFOGRAFIK HL Nike Ardilla Ziarah

Ziarah dan Nostalgia

Makam Nike Ardilla laiknya makam anggota kerajaan. Terletak di lahan yang dikelilingi tembok setinggi 150 sentimeter. Di bagian samping dalam tembok ada pelbagai plakat bertuliskan kata-kata perpisahan, dari penggemar maupun kolega.

Salah satunya dari seseorang bernama Iva Bachdim: "Terima kasih ku untuk mu. Kau lah insfirasiku Teh Nike Ardilla. Love....."

Makam Nike, berwarna hitam, terletak di tengah pendapa yang disangga tiang-tiang bercat putih dan hijau. Di sekeliling makam, para penggemar bersimpuh. Mereka membacakan doa bersama. Ada beberapa penggemar yang berebutan merengkuh nisan dan menciuminya. Ada pula yang mengelus pusara sembari menangis.

Melihat adegan ini, mau tak mau mengingatkan saya pada ziarah makam Wali, atau ziarah ke tokoh-tokoh besar. Tangisan yang sama. Kesenduan yang sama. Kekhusyukan yang sama.

George Quinn, dosen Australian National University, dalam artikel berjudul "Nike Ardilla: Instant Pop Saint," menyebut bahwa pemujaan terhadap Nike nyaris serupa dengan apa yang dilakukan oleh umat muslim di Indonesia yang menziarahi makam Wali Songo. Sama seperti makam para Wali yang memberikan rezeki bagi pedagang lokal, begitu pula yang terjadi di sekitar makam Nike. Para pedagang menjual teh botol, susu kemasan, kupat tahu, es doger, cilok, hingga bakso. Semuanya laris manis. Ziarah, ujar George, adalah upaya mendekatkan diri kepada tuhan, atau mengaitkan kembali diri kepada para Wali atau orang suci yang sudah meninggal.

Kultur perayaan sosok di Indonesia lewat ziarah ini sudah lahir sejak ratusan tahun lalu. Berbeda dengan dunia Barat yang pemujaannya banyak ditujukan kepada idola dunia pop, di Indonesia, kultur seperti ini lebih dekat dengan sesuatu yang berkaitan dengan praktik agama dan religiositas. Karenanya kita tak perlu heran bila setiap tahun ada ratusan ribu orang melakukan ziarah Wali, meski Wali Songo sudah meninggal ratusan tahun lalu. Juga ribuan orang masih berziarah ke makam Sukarno di Blitar, Jawa Timur.

Para peziarah ini, selain orang biasa, adalah orang yang dianggap tokoh, baik dalam bidang agama, politik, ataupun ekonomi. Salah satunya Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur. Dalam satu artikel pendek di situs resmi Nadhlatul Ulama, Gus Dur pernah ditanya kenapa ia sering berziarah ke makam-makam.

"Karena orang mati tidak memiliki kepentingan," ujarnya.

Walau bersayap, tapi jawaban Gus Dur ini menarik. Menurutnya, menziarahi makam adalah suatu bentuk penghargaan terhadap mereka yang sudah wafat. Jenazah tentu sudah tak lagi diikat urusan duniawi. Tak memiliki kepentingan, tak ada kepentingan ekonomi, apalagi politik yang remeh-temeh. Menziarahi makam, baik itu makam Wali, tokoh agama, atau leluhur, adalah sikap menghormati yang hidup kepada yang sudah tiada, dengan cara mengirim doa. Momen-momen seperti itu juga menjadi momen nostalgia sekaligus bisa menjadi pengingat bahwa hidup memang sekadar menumpang minum dan menanti mati. (Makam Gus Dur di Jombang, Jawa Timur, juga rutin diziarahi saban hari)

Meski demikian, sangat sedikit, untuk tak menyebut nihil, artis Indonesia yang diziarahi, dikenang, dirayakan, dan tetap dipuja, meski sudah puluhan tahun meninggal dunia. Jika harus menyebut satu nama yang langka, ia adalah Nike Ardilla.

"Banyak ziarah ke situs keramat untuk mencari masalah hidup, juga berharap bisa mendapat kekuatan supernatural untuk kepentingan pribadi. Bagi peziarah lain, situs keramat adalah tempat di mana mereka bisa mencari pencerahan, atau setidaknya bisa melarikan diri dari tekanan hidup modern," tulis Quinn.

Makam Nike, sebagaimana makam yang bersemayam sosok keramat, diselingi pula kisah dan gosip mistis. Mulai dari kisah peziarah yang menyaksikan arwah Nike hingga ada orang-orang yang datang mencari peruntungan untuk judi. Namun, sama seperti yang ditulis Quinn, lebih banyak yang datang untuk kabur sejenak dari tekanan hidup urban. Menziarahi makam Nike adalah sebuah upaya untuk mengaitkan segala kenangan tentang Nike dan kehidupan masa sekarang.

Menyaksikan bagaimana penggemar Nike begitu takzim membaca doa di depan pusara setelah menempuh perjalanan ratusan kilometer, membuat saya sadar ada kecintaan yang bisa menjelma jadi keimanan. Agama seperti itu. Musik juga bisa seperti itu. Musik yang hebat bisa melahirkan para penggemar yang mencintaimu dengan keras kepala, tanpa lelah. Dan pada diri penggemar Nike, saya menemui kebenarannya.

Baca juga artikel terkait NIKE ARDILLA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam