tirto.id - Pukul 6 pagi. Jalan R.E Martadinata Bandung masih lengang. Hanya sesekali kendaraan bermotor melintas tiap 5 menit. Beberapa warung makan dan mini market masih tutup. Namun, di luar pagar Kafe Bali, sudah ada puluhan orang bergerombol. Mereka mengenakan kaus senada warna toska yang menampilkan wajah idola di bagian muka dan tulisan di punggung untuk apa mereka berkumpul saat itu: peringatan 22 tahun kematian Nike Ardilla.
Mereka membawa bunga, foto Nike berpigura, hingga spanduk. Ada juga seseorang menenteng gitar akustik. Ketika kord pertama A Minor digenjreng, tanpa dikomando, mereka langsung bernyanyi.
Sebening embun pagi hari
Seindah sinarnya mentari
Kusibak tirai yang menghalang di jalan hidupku
dan kutemui sebuah harapan
Salah satu dari mereka, seorang perempuan berkerudung, menyeka mata yang basah. Ia sesenggukan dan tak kuasa menahan kesedihan. Orang di dekatnya, dengan raut duka yang sama, berusaha menenangkan dengan mengusap pundak kanannya. Tetapi si perempuan terus terisak.
Di pagar rumah yang sekarang menjadi kafe itu, artis Nike Ardilla mengalami tabrakan tunggal. Mobil yang ia setir menabrak beton tempat sampah. Di sana, Nike mengembuskan napas terakhir (walau ada yang bilang Nike meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit). Nike pergi dalam usia yang terlampau muda, 19 tahun. Majalah Asia Week menuliskan obituari berjudul "In Dead She Soared." (Dalam Kematian Dia Bersinar)
Orang yang ditinggalkan bukan hanya keluarga dan sanak kerabat. Melainkan juga karier Nike di masa puncak dan jutaan penggemar yang terkejut dan patah hati.
Saya memandang sehimpun penggemar yang tergabung dalam Nike Ardilla Fans Club itu dengan perasaan kolosal antara takjub dan heran. Takjub melihat betapa militannya penggemar Nike. Hari itu, 19 Maret 2017, ada penggemar yang datang dari Padang, Makassar, Bangka Belitung, Bali, Samarinda, hingga Malaysia. Dan ini terjadi setiap tahun. Tak hanya memperingati hari kematian Nike, tapi juga saat memperingati hari ulang tahunnya.
Rasa heran selang-seling antara obrolan saya dengan para peziarah selama saya mengikuti mereka dari Jakarta: Bagaimana bisa seorang artis Indonesia yang telah meninggal masih diingat dan dirayakan dengan gegap gempita setiap tahun? Mengapa ada seorang artis, dengan rentang karier menyanyi profesionalnya kurang dari satu dekade, bisa dikenang hingga dua kali lipat dari masa kariernya, dan mungkin untuk masa panjang mendatang?
Saya memandang perempuan berkerudung yang masih menangis itu, kali ini diiringi lagu "Bintang Kehidupan". Sesenggukannya semakin kencang.
Suara, Musik, dan Ketulusan
Album pertama yang melejitkan Nike Ardilla adalah Seberkas Sinar (1989). Album ini berisikan lagu sukses seperti "Seberkas Sinar", "Hati Kecil", juga "Cinta Pertama". Nike baru berusia 14 tahun kala itu. Namun di album kedualah, Bintang Kehidupan (1990), yang membuat Nike dikenal di seluruh Indonesia. Album ini berisi lagu terbesar Nike yang diciptakan Deddy Dores, "Bintang Kehidupan". Setelah itu, Nike merilis 8 album lagi. Album terakhirnya adalah Sandiwara Cinta yang direkam pada akhir 1994 dan dirilis pada 1995.
Selain menjadi penyanyi, Nike berakting dalam film dan sinetron serta jadi foto model. Tapi tentu saja, sebagai artis yang memulai karier dari dunia tarik suara, banyak penggemar lebih menganggap serius album musiknya.
Ara, misalkan. Ia belum genap 10 tahun ketika Nike meninggal dunia. Setelah beranjak remaja, Ara mulai menggali ingatan tentang Nike. Dari sana ia jatuh cinta dan mulai berburu album, pernak-pernik, hingga membuat situs untuk Nike Ardilla. Kegilaannya terhadap Nike membawa Ara menjadi salah satu admin di laman Nike Ardilla yang punya jutaan penggemar.
"Menjadi admin di fanpage Nike itu karena memang suka. Sama sekali enggak ada bayaran," kata Ara di dalam bus.
Apa yang membuat Ara menyukai Nike? Baginya, jadi penyanyi adalah kodrat Nike. Sebagai penggemar lagu-lagunya, Ara menyukai suara Nike. Silakan bilang ini klise, tapi alasan Ara memang demikian adanya: Ia menganggap suara Nike berbeda. Suaranya, ujar Ara, bisa menghilangkan aura cengeng dalam lagu paling cengeng sekalipun.
"Liriknya, kan, memang menye-menye. Tapi ketika Nike yang nyanyi, menye-nya hilang," ujarnya.
Kisah yang nyaris sama dituturkan Agus Hermawan. Usianya baru 7 tahun saat Nike meninggal, membuatnya tak begitu menggemari Nike. Namun, saat SMA, Nike kembali hadir melalui pelbagai medium: lagu di radio, video klip dari VCD bajakan, hingga deretan album bajakan. Ia mulai intens mendengarkan Nike, bahkan saat ia telah menjadi bapak. Hari itu, di peringatan kematian pujaannya, Agus mengajak istri dan anak lelakinya yang berusia setahun.
"Tadinya pengin sendirian. Tapi enggak enak, jadi ngajak istri sekalian," katanya tersenyum. Ketika ditanya apakah istrinya adalah fans Nike, si istri hanya menggeleng sembari tersipu. "Itu mah suami saya saja," kata Eka Andini, istri Agus.
"Suka muterin lagu Nike buat anaknya enggak?"
Agus mengangguk mantap sembari menatap anaknya, calon penggemar Nike Ardilla di masa depan.
Sebagai artis, perbincangan tentang Nike tak melulu seputar karya, melainkan sifat dan perilakunya. Sama seperti penggemar yang membincangkan kecenderungan Kurt Cobain yang depresif, atau sifat Axl Rose yang begitu cepat berubah, dan Jim Morrison yang rapuh karena pengaruh tekanan masa kecil. Karena itu pula, banyak orang mengenang Nike karena kebaikan budi dan kedermawanannya. Musisi Melly Goeslaw mengenang Nike sebagai orang yang suka belanja untuk kawan-kawannya. Kenangan itu diunggahnya di akun Instagram Melly, 20 Maret 2017.
"Kalau pergi shopping ke luar negeri, belanjaannya banyak. Bisa 5 koper. Sampai di Indonesia dia panggil semua temannya, disuruh pilih yang ada di koper. Sisanya buat dia. Pernah saya tanya, 'Enggak sayang barang keren dibagi-bagi?' Jawabannya cuek saja, 'Kan engke urang bisa meuli deui' (Kan nanti saya bisa beli lagi)," tulis Melly.
Selain itu, jejak Nike hadir lewat Sekolah Luar Biasa yang didirikannya bersama sang ayah. Menurut catatan Tempo edisi 1992, Nike membangun SLB bernama Wawasan Nusantara di dekat rumahnya, Cipamokolan, Bandung. Nike mengeluarkan dana Rp30 juta untuk membeli tanah seluas 160 meter persegi. Di atas tanah itu, SLB 2 lantai berdiri. Jika merujuk pada kurs rupiah sekarang, dana yang dikeluarkan Nike saat itu setara Rp203 juta. Namun, bukan perkara jumlahnya yang membuat Nike dikenang, melainkan inisiatifnya untuk membangun sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Sayang, setelah Nike meninggal, SLB yang sekarang berganti nama jadi SLB Nike Ardilla ini sempat terbengkalai. Pada 2006, sekolah ini sempat disegel karena pertikaian antara pengurus Yayasan dan kepala sekolah. Penyegelan ini membuat 18 orang guru terkatung-katung, dan 49 siswa tak bisa mengikuti kegiatan belajar. Sekarang SLB ini dikelola oleh Yayasan Nike Ardilla dan Pemerintah Kota Bandung. Meski demikian, ancaman keberlangsungan SLB ini terus membayangi. Mulai dari biaya operasional sampai diskriminasi terhadap murid lulusan SLB.
Berkat Media Sosial dan Regenerasi Penggemar
Meski sudah lama meninggal, Nike masih tetap dikenang. Hari kelahirannya dirayakan, hari meninggalnya ditangisi. Bagaimana ini bisa terjadi? Setidaknya ada dua jawaban yang bisa disodorkan.
Pertama, pengaruh media sosial, yang berperan dalam menyebarkan segala hal tentang Nike. Dikelola oleh fans militan, ada banyak laman penggemar Nike di Facebook. Yang paling besar tentu laman Nike Ardilla. Hingga 26 Maret 2017, ada 3,6 juta akun yang menyukai laman ini.
Sebagai perbandingan, saat itu laman artis Indonesia yang punya paling banyak penggemar adalah Iwan Fals. Per Maret 2017, jumlah akun yang menyumbang jempol di laman Iwan adalah 8,5 juta. Diikuti oleh Slank (7,9 juta), Superman Is Dead (5,7 juta), Noah (4,2 juta), dan Nike Ardilla. Di bawah Nike, ada Raisa (2,9) dan Kotak (1 juta). Dari senarai ini, 6 musisi masih aktif dan 1 sudah lama meninggal. Ia menggambarkan betapa mendalam dan meluas kharisma Nike hingga mengalahkan artis yang naik daun seperti Raisa atau Kotak.
Tidak seperti akun musisi aktif yang rutin menyebar berita terbaru atau foto pentas, laman penggemar Nike dikelola dengan lebih santai. Tak ada jadwal rutin unggah konten. Tak ada jadwal siapa yang jadi admin. Dan tak ada pula ketentuan konten yang akan diunggah.
"Di antara admin cuma ada peraturan seperti konten tak boleh menyinggung SARA, juga tidak boleh menjelekkan artis lain," ujar Adi Fahman, salah satu dari lima admin laman Nike Ardilla.
Cikal bakal laman Nike di Facebook adalah situs Nike Ardilla yang dibuat oleh empat orang penggemar Nike, yakni Indu Kirana, Adi Fahman, Tommy Wiranto, dan Vian Uone. Saat itu ada jatah hosting yang kemudian dipakai untuk membuat situs tentang Nike. Situs yang semula untuk menyalurkan kecintaan kepada Nike berujung lebih serius: tempat bertanya para penggemar Nike.
Saat Facebook mulai populer, barulah Indu dan beberapa kawannya membuat laman Nike pada 2009. Karena pemilik dan admin sibuk bekerja, mereka sepakat mengelola laman penggemar ini secara santai dan, tentu saja, dengan rasa senang. Kontennya diambil dari pelbagai sumber. Dari pindaian majalah lawas, tautan berita baru, hingga cuplikan tayangan dari televisi. Asal ada Nike Ardilla, konten itu bisa dipastikan masuk di laman penggemar.
Popularitas Nike di Facebook juga sebanding popularitasnya di YouTube. Di kanal video ini ada ratusan video Nike Ardilla. Ada yang populer dan ditonton hingga jutaan kali. Misalkan video "Bintang Kehidupan" yang sudah ditonton 32 juta kali. Atau "Ku Tak Akan Bersuara" yang ditonton 27 juta kali sejak pertama diunggah.
Selain pengaruh media sosial, regenerasi penggemar juga merupakan hal vital dalam memastikan jumlah fans tetap terjaga, bahkan membesar.
Ada beberapa penggemar Nike yang masih berusia belasan tahun. Bahkan saat Nike meninggal mereka belum lahir. "Malah bapak-ibuku belum saling kenal," kata salah satu dari mereka sembari tertawa.
Penggemar berusia belasan ini rata-rata mendengar Nike karena pengaruh dari orang yang lebih tua. Entah itu orang tua, atau kakak, atau paman dan bibi. Perkara kuping memang rumit. Karya-karya Nike masih tetap cocok didengarkan anak generasi Milenial.
Dalam ziarah tahun 2017, ada beberapa orang tua yang mengajak anaknya, seperti Agus dan Eka Andini. Ada pula Sofia Ranti Lerian, warga Jakarta Selatan yang membawa putrinya, Jingga Saini Agustina yang berusia 9 tahun. Selain itu, ada Euis Risdiana yang membawa anak lelakinya, Nicholas Tanuwijaya (12 tahun). Euis menurunkan kecintaannya terhadap Nike kepada Nicholas. Saat Niki, panggilan akrab Nicholas, masih berusia 3 tahun, Euis memutarkan lagu-lagu Nike. Si anak langsung suka. Kesukaannya makin menebal saat Niki berumur 6 tahun.
"Dan mulai kelas 1 SD, Niki mulai ikut ziarah," kata Euis.
Sinar yang Menyala dan Misterius
Lantas apa jawaban dari pertanyaan: Kenapa Nike Ardilla masih tetap dirayakan hingga sekarang?
Jawaban klise, tentu, karya yang bagus akan tetap abadi. Jawaban standar lain: suara Nike bagus. Opsi jawaban lain, karena Nike adalah artis yang baik hati dan dermawan. Ada pula jawaban semacam: karena Nike Ardilla cantik.
Tapi apa iya itu semua bisa merangkum kegilaan kolosal yang konstan ini?
Perihal suara, Nike tak sendirian sebagai penyanyi perempuan dengan suara prima. Apalagi Nike berkarier di era 1980 dan 90-an saat Indonesia punya banyak penyanyi perempuan bersuara prima. Dari Anggun C. Sasmi, Nicky Astria, Inka Christie, Mel Shandy, hingga Ita Purnamasari. Soal baik hati dan dermawan, ada banyak artis yang rutin mengadakan acara amal dan bakti sosial. Cantik? Ini tentu hal relatif.
Kesukaan terhadap idola adalah perkara yang wajar. Namun, kesukaan ini bersifat sementara, bisa pula berumur pendek. Kesukaan dan kecintaan bisa berubah seiring idola yang juga berubah. Misalkan, karya idolanya sudah tak sebagus dahulu. Atau, jika menggemari band yang identik dengan perlawanan, penggemar akan mencibir jika idolanya jadi lembek.
Sedangkan Nike? Jumlah fansnya masih stabil, disukai di dunia maya maupun dunia nyata, dan ini yang luar biasa: tanggal kematiannya diperingati dan diziarahi setiap tahun. Tak heran kalau George Quinn, dosen di Australian National University, menyebut Nike sebagai "...pop saint" alias santo dalam dunia populer Indonesia.
Setelah mengikuti ziarah dan menyaksikan bagaimana dinamisnya penggemar Nike, jawaban tambahan yang bisa saya ajukan: karena Nike meninggal di puncak karier.
Saat musisi meninggal di puncak karier, ada kecenderungan ia akan diingat dalam masa yang panjang. Apalagi jika karyanya memang bagus. Sebut saja Jim Morrison, Jimi Hendrix, Janis Joplin, Kurt Cobain, hingga Amy Winehouse. Seseorang yang meninggal di puncak karier berarti tak punya kesempatan untuk menua, jadi menyedihkan, untuk kemudian dilupakan.
Kalau misalkan semua jawaban itu belum cukup memuaskan, kita bisa berpaling pada satu kebajikan: Tak semua hal di dunia membutuhkan jawaban. Ada hal-hal misterius yang tak bisa dijelaskan oleh logika, dan memang sebaiknya terus begitu.
Saat kita mendengarkan salah satu lagu Nike Ardilla berjudul "Seberkas Sinar," misalnya, kita akan berlaku biasa saja. Tetapi, bagi para penggemarnya, orang-orang yang saya ikuti perjalanan ziarahnya, seperti pagi itu di lokasi kecelakaan Nike, mereka bisa seketika terharu.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 27 Maret 2017. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam & Irfan Teguh Pribadi