Menuju konten utama

Menyelamatkan Leuser, 'Harta Karun' Sumatera

Ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran penting dalam pengaturan iklim global dengan cadangan karbon yang sangat besar di lahan gambut dan hutan dataran rendah yang masih ada.

Menyelamatkan Leuser, 'Harta Karun' Sumatera
Pemandanga sisa pembakaran hutan untuk pembukaan lahan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Kabupaten Nagan Raya, Aceh, Minggu (2/7). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

tirto.id - Setahun lalu, tiga aktor Hollywood berkunjung ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) atau Leuser, Aceh. Mereka adalah Leonardo DiCaprio, Adrien Brody, dan Fisher Stevens. Setelah kunjungan itu, Brody yang merupakan aktor film The Pianist sempat mengunggah sebuah foto dan video. Ia memberi tagar "CutConflictPalmOil" dan "SaveLeuserEcosystem". Tiga aktor Hollywood itu sedang memberi pesan ada persoalan serius di Leuser.

Belum lama ini Sidang Komite Warisan Dunia ke-41 yang dilaksanakan pada Sabtu (8/7) kemarin, mengeluarkan suara bulat untuk mempertahankan Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera (TRHS) ke dalam Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya lantaran masih menghadapi berbagai ancaman. Di antara hamparan area Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera, secara khusus Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di empat Kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan dua Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang menjadi kawasan yang unik.

Baca Juga: Aktivitas Ilegal Hancurkan Hutan Sumatera

Mengapa Leuser begitu spesial? Di hutan hujan dataran rendah dan lahan gambut di sekitar Ekosistem Leuser adalah satu-satunya tempat di Bumi dimana Orangutan, Badak, Harimau, dan Gajah Sumatera hidup bersama di alam liar. Sekaligus merupakan sumber air dan mata pencaharian penting bagi jutaan orang.

Tropical Forest Conservation Action Sumatera menyebut bahwa ekosistem Leuser mampu menyediakan fungsi kehidupan penduduk hingga sekitar empat juta orang yang hidup di sekitar area Leuser. Ketersediaan air bersih rutin misalnya, sebagai pengendali banjir dan erosi, perlindungan plasma nutfah, pengaturan iklim lokal, perikanan air tawar dan tentunya sektor pariwisata di Leuser.

Baca Juga: Danau Toba dari Legenda ke Destinasi Pariwisata

Sementara itu, Rainforest Action Network (RAN) menyebut, ekosistem Leuser memiliki peran penting dalam pengaturan iklim global dengan cadangan karbon yang sangat besar di lahan gambut dan hutan dataran rendah yang masih ada.

Leuser dan kawasan sekitarnya yang disebut sebagai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan rumah dari berbagai jenis mamalia, burung, reptil amphibi, ikan dan invertebrata. Ada 130 jenis mamalia dan primata atau sepertiga puluh dua dari keseluruhan jenis mamalia yang ada di dunia atau juga seperempat dari seluruh jumlah jenis mamalia di Indonesia ada di kawasan ini.

infografik kekayaan taman nasional leuser

Satwa burung, diperkirakan ada sekitar 325 jenis burung atau sepertiga puluh dari jumlah jenis burung yang ada di dunia. Yang paling menonjol di antaranya adalah Rangkong Badak (Buceros rhinoceros). Jenis flora, diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis termasuk tumbuhan langka dan khas yaitu daun payung raksasa (Johannesteijsmannia altifrons), Bunga Raflesia (Rafflesia atjehensis dan R. micropylora) serta Rhizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter. Termasuk terdapat tumbuhan ara atau tumbuhan pencekik. Ragam jenis flora di Leuser memang sangat bergantung pada letak geografis terutamanya ketinggian tanah.

Di zona Sub-Alphine yang berada di ketinggian 2.900 mdpl ke atas misalnya, merupakan zona hutan ercacoid dan tidak berpohon lagi. Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak dengan beberapa pohon berbentuk payung (family Ericaceae) yang menjulang tersendiri serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut. Namun seperti suara yang sudah dihasilkan dalam Sidang Komite Warisan Dunia ke-41, Leuser masih belum memenuhi syarat untuk lepas dari daftar Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya.

Tepatnya sejak 2011 lalu, kawasan tersebut sudah masuk dalam daftar Warisan Dunia dalam Bahaya. Tidak lain karena tidak berkurang atau makin meningkatnya aktivitas penebangan pohon liar, perburuan, perluasan kelapa sawit dan fragmentasi hutan hujan utuh untuk jalan baru. Kondisi ini diperparah lantaran rencana tata ruang Aceh yang menjadi kontroversi, serta rencana pembangunan tiga bendungan pembangkit listrik tenaga air dan Proyek Panas Bumi di Kappi yang berpotensi menghancurkan jantung Hutan Tropis Situs Warisan Dunia ini.

Laporan Michael Bachelard untuk Sydney Morning Herald pada 2014 lalu turut menjelaskan bahwa sejak perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan kelompok bersenjata GAM pada 2005, sentimen separatis telah berbalik melawan para pepohonan di hutan hujan tropis Leuser. Kawasan Leuser mendapat tekanan serius dari para pengusaha kelapa sawit, pembalak liar dan perusahaan pertambangan. Regulasi atau qanun yang ada pun dianggap mengancam kawasan ini.Tentu ini akan berisiko bagi kelangsungan flora dan fauna di Leuser khusunya Harimau Sumatera.

Pada Mei 2016 lalu, Balai Besar TNGL mengungkapkan hasil sementara pendataan di lapangan memperkirakan jumlah Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di area tersebut tersisa tinggal 100 harimau saja yang hidup berkeliaran. Sedangkan jumlah Harimau Sumatera di seluruh Pulau Sumatera di kisaran 400 sampai 500 ekor. Harimau Sumatera hanya contoh bagian kecil dari 'harta karun' kawasan ini. Menyelamatkan Leuser bukan sebuah pilihan tapi sebuah keharusan.

Baca juga artikel terkait HUTAN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Suhendra