tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mendesak Majelis Ulama Indonesia (MUI), membuat fatwa terkait perkawinan anak.
"Pemerintah tidak bisa memecahkan masalah nasional ini sendiri, perkawinan anak perlu fatwa dari Majelis Ulama Indonesia sebagai perkawinan yang tidak sesuai dengan syariat nikah, setiap pernikahan hendaknya membawa kemaslahatan bagi laki-laki dan perempuan yang menikah, maupun bagi kedua keluarganya," kata Muhadjir dalam Seminar Nasional dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaaan Usia Perkawinan Anak Untuk Peningkatan Kualitas SDM Indonesia, yang diselenggarakan oleh MUI dan Kementerian PPPA secara virtual, Kamis (18/3/2021).
Menko Muhadjir menjelaskan, tujuan pernikahan adalah menciptakan keluarga sakinah dan memperoleh keturunan yang baik serta sehat. Kondisi tersebut, menurutnya, bisa tercapai pada usia calon mempelai telah sempurna akal pikiran dan mental, serta siap melakukan proses reproduksi.
"Pernikahan anak akan berpotensi menghasilkan bayi yang kurang sehat karena anak perempuan di bawah usia 18 tahun fisiknya belum siap untuk melahirkan," ujarnya.
Perkawinan anak masih marak terjadi di Indonesia. Apalagi pada masa pandemi COVID-19, perkawinan anak justru semakin meningkat. Berdasarkan data dari Ditjen Badan Peradilan Agama Mahkaman Agung, dispensasi nikah anak pada tahun 2020 yang dikabulkan melonjak 300 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2019 tercatat hanya 23.126 dispensasi. Selanjutnya di tahun 2020 tercatat sebanyak 64.211 dispensasi.
Berdasarkan studi yang dilakukan Koalisi 18+ tentang dispensasi perkawinan mengungkapkan, sebanyak 98 persen orangtua menikahkan anaknya karena anak dianggap sudah berpacaran atau bertunangan. Sementara itu 89 persen hakim mengatakan bahwa pengabulan permohonan dispensasi dilakukan untuk menanggapi kekhawatiran orang tua.
Pemerintah sebetulnya telah memiliki landasan hukum terkait perkawinan anak. UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 telah menaikkan usia minimal untuk menikah bagi perempuan dan laki-laki, yaitu 19 tahun. Namun, hal itu tidak serta-merta menjamin perkawinan anak dapat dicegah.
Selain itu, Muhadjir meminta agar para orangtua berperan untuk mencegah perkawinan anak. Menurutnya, orangtua harus bijaksana dan memikirkan dampak panjang yang akan terjadi bila menikahkan anak.
"Keputusan untuk menikahkan anak inilah yang mestinya dipertimbangkan secara bijaksana oleh orangtua. Pemangku kepentingan terkait perlu memberi edukasi kepada orangtua mengenai sosialisasi pencegahan perkawinan usia dini, bahaya seks bebas dan perkawinan yang tidak tercatat, demi terwujudnya generasi bangsa yang lebih unggul," ujarnya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dieqy Hasbi Widhana