tirto.id - Penghitungan suara belum rampung ketika Megawati Soekarnoputri bergegas meninggalkan kediamannya, di Jalan Kebagusan Dalam IV, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Di depan rumah, tempat ia menggunakan hak suara, penghitungan sedang dilakukan.
Di papan hasil penghitungan, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat tersalip oleh Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Beberapa jam setelahnya, hasil akhir di TPS 027 menunjukkan jagoan Megawati kalah.
Pasangan Ahok-Djarot hanya memperoleh 252 suara, sementara Anies-Sandi meraup 292 suara. Ini tamparan bagi Megawati di tempat tinggalnya plus di dekat bekas kantor DPP PDI Perjuangan.
Apalagi pada putaran pertama, perolehan suara Ahok-Djarot di TPS tersebut tidaklah signifikan, hanya 254 suara, menang tipis dari Agus Harimurti-Sylviana Murni dan Anies-Sandiaga.
Kekalahan pasangan yang diusung PDI Perjuangan itu meluas di seluruh wilayah Jakarta.
Berdasarkan hasil pemindaian (scan) formulir C1 yang diunggah Komisi Pemilihan Umum, suara bagi Ahok-Djarot tergerus total oleh Anies-Sandi.
Di Jakarta Barat, jika pada putaran pertama Ahok-Djarot unggul 48,6 persen, pada putaran kedua mereka memperoleh 47 persen. Begitu pula di Jakarta Utara, dari 48,4 persen turun 47 persen. Di tiga wilayah Jakarta lain pun senada.
Hasil hitung cepat dari tiga lembaga survei yang bekerjasama dengan Tirto menunjukkan selisih tajam antara Anies-Sandiaga dan Ahok-Djarot, sebesar 15 persen. Semuanya di luar perhitungan lembaga-lembaga survei yang merilis hasil polling mereka menjelang pencoblosan, yang memberi selisih ketat tak lebih dari 4 persen. Semuanya terbalik. Hasil hitung TPS oleh KPU pun menunjukkan angka yang sama: selisihnya sekitar 15 persen.
Hasil putaran kedua itu pun menggambarkan potret yang jelas: suara Ahok-Djarot ajek, suara buat Anies-Sandiaga melonjak dari limpahan suara Agus-Sylviana.
Melihat hasil itu, Gembong Warsono, Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPD PDI Perjuangan, cuma berkata singkat, Kamis kemarin: “Kita hormati pilihan warga Jakarta."
Diterpa Sentimen Anti-Islam
Kekalahan Ahok-Djarot di luar perkiraan koalisi partai. Sehari sebelum pencoblosan, para politikus teras PDI Perjuangan percaya diri menargetkan suara buat paslon 2 sebesar 52,4 persen. Mereka bahkan mengklaim bahwa isu agama yang menerpa Ahok lewat 'Al-Maidah' tidak berpengaruh pada hasil perolehan suara nanti. (Baca: Buzzer Ahok Kewalahan Hadapi Isu 'Al-Maidah')
Namun, optimisme itu harus mereka telan dengan pahit.
Buat menguji optimisme yang kelewat bikin gelap mata, saya mendatangi TPS 02. TPS ini dekat dari lokasi pengusiran Djarot saat ia salat Jumat di Masjid Jami Al-Atiq, Tebet, Jakarta Selatan. Di TPS ini, Ahok-Djarot hanya memperoleh 43 suara, kalah telak dibanding Anies-Sandiaga dengan 245 suara. (Baca: Ahok-Djarot Menjaring Pemilih Muslim di Putaran Kedua)
Herwin Suryadi, kader Pengurus Anak Ranting PDI Perjuangan Kecamatan Tebet, yang bertugas memantau TPS 02, mengatakan pada putaran pertama Ahok-Djarot juga mengalami kekalahan. Salah satu tetapi yang utama jadi penyebabnya adalah faktor isu penistaan agama yang menjegal Ahok.
“Di sini memang agak sulit,” kata Herwin kepada saya di hari pencoblosan, 19 April lalu.
Ia berkata dengan nada pelan bahwa lokasi pengusiran Djarot pada Jumat pekan lalu adalah basis pemilih Anies-Sandiaga. Meski demikian, katanya, tak pernah ada gesekan antar relawan yang berujung perkelahian.
Tetapi poin isu penistaan agama terlalu sulit buat diredam, ujar Herwin. Apalagi, katanya, lokasi di sekitar TPS 02 adalah wilayah kuat sentimen agama.
Di Kelurahan Kebon Baru, tempat TPS itu berada, pada putaran pertama pasangan Ahok-Djarot cuma dapat 6.461 suara (27,28%). Sebaliknya Anies-Sandi unggul dengan 13.743 suara (58,02%).
Menyadari selisih suara yang nyaris separuh itu, PDI Perjuangan mengerahkan sekitar 50 kader buat memantau 53 TPS di kelurahan tersebut. Hasilnya tak banyak berubah.
Meski ada suara dari basis yang bilang isu agama jadi faktor determinan menggerus suara Ahok, seperti disampaikan Herwin, Gembong Warsono mengatakan kepada saya bahwa isu penistaan agama bukanlah faktor kekalahan pasangan Ahok-Djarot. “Saya rasa pemilih Jakarta sudah semakin dewasa,” katanya.
Kader PDIP tidak (lagi) Militan
Gembong berkata, PDI Perjuangan telah mengerahkan para kader di tingkat struktural hingga ranting. Namun hasilnya berkata lain. “Kader bekerja sudah maksimal," katanya.
Klaim "kader sudah bekerja maksimal" tidak tergambar dari aksi-aksi aksi-aksi penolakan dan pengusiran yang dihadapi Djarot selama masa kampanye di putaran pertama dan terutama pada putaran kedua.
Selain ke Masjid Jami Al-Atiq di hari pencoblosan, saya juga mendatangi Masjid Raya Al-Ittihad tempat kampanye apa yang disebut "Tamasya Al-Maidah" digelar, taktik pamungkas pengusung isu agama dalam Pilkada Jakarta. Di sini juga diadakan deklarasi dukungan buat Anies-Sandiaga. (Baca: Ruang Politis Masjid dalam Gerakan 'Tamasya Al-Maidah')
Saya juga mendatangi TPS 05 tempat mencoblos mantan Presiden B.J. Habibie. Di TPS ini ada kabar soal "kericuhan dan pengusiran" terhadap sekelompok orang oleh polisi. Namun, sekelompok orang yang diusir adalah relawan Roemah Djoeang.
Pengusiran itu lantaran polisi menduga mereka bakal melakukan intimidasi. Dari wawancara dengan para relawan itu, mereka datang ke sana bukan untuk mengintimidasi melainkan bertugas memantau TPS atas instruksi Pius Lustrilanang, panglima Roemah Djoeang plus koordinator relawan Anies-Sandiaga.
Dari tiga TPS di Jakarta Selatan ini, kawasan yang jadi basis kuat sentimen agama, tak terlihat klaim pejabat teras PDIP bahwa para kadernya telah bekerja maksimal. Justru yang terlihat ialah relawan Anies-Sandiaga yang bekerja militan.
Seharusnya ada 10 relawan buat menjaga satu TPS—tetapi ini tidak dilakukan. Dari contoh tiga TPS itu, hanya satu TPS yang dijaga kader PDIP. Sebaliknya, relawan Anies-Sandiaga menjaga ketiga TPS tersebut.
Partai berlambang banteng moncong putih ini dulu dikenal lewat posko-posko yang menjamur hampir di tiap kampung. Keadaan sekarang? Posko-posko ini tertelan dan diganti oleh semaraknya bendera-bendera bercorak Islam serta bendera Partai Keadilan Sejahtera yang mengusung Anies-Sandiaga. (Baca: Akar Rumput "Wong Cilik" yang Tak Terawat Lagi)
Meski PDIP unggul di Jakarta dan memenangi Pilpres 2014, tetapi pengaruh mereka terkikis tiga tahun kemudian. Kekalahan di Jakarta ini pun menambah daftar panjang tersungkurnya si Banteng termasuk di Provinsi Banten dalam Pilkada serentak 2017.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam