tirto.id - Dalam hasil exit poll yang dirilis lembaga-lembaga survei beberapa jam setelah pencoblosan, pasangan Anies-Sandiaga mencatat kemenangan yang signifikan pada kelompok-kelompok masyarakat yang dibagi berdasarkan sejumlah kategori.
Berdasarkan exit poll Indikator Politik Indonesia, 52% pemilih berpenghasilan di bawah Rp2 juta memilih pasangan nomor 3. Pada kelompok pendapatan ini, Ahok-Djarot hanya menyisir 35% suara.
Sementara itu 47% dari populasi berpendapatan Rp2-4 juta memilih Anies-Sandi, dan 38% lainnya memilih Ahok-Djarot. Pasangan nomor 2 menang di kelompok berpenghasilan di atas Rp4juta (46%). Adapun 40% kelompok ini mencoblos Anies-Sandi. Selisihnya hanya 6%.
Menurut rilis dari lembaga yang sama, pasangan Ahok-Djarot keok di seluruh kelompok jenjang pendidikan, kecuali pada kelompok masyarakat berpendidikan universitas—itu pun dengan selisih yang sangat tipis (3%) dari yang memilih Anies-Sandi.
Mayoritas lulusan setingkat SMP (55%) memilih paslon 3 (55%), sementara hanya 32% dari golongan ini yang memilih paslon 2. Selisih dua digit juga tampak dari kelompok berpendidikan setingkat SD atau di bawahnya (47% untuk Ahok-Djarot, 36% untuk Anies-Sandi).
Pada hasil exit poll PolMark Indonesia, yang dipimpin oleh Eep Saefulloh Fatah yang disewa jasanya buat tim sukses Anies-Sandiaga, 57,9% penduduk Jakarta berpendapatan antara Rp1 juta - Rp3 juta memilih paslon 3. Di kalangan berpenghasilan di bawah Rp 1 juta dan antara Rp3 juta - Rp 6 juta bahkan sampai 60% memilih Anies-Sandiaga. Ketiga kategori ini ialah pemilih mayoritas. Mereka adalah kelas menengah ke bawah. Mereka memenangkan paslon 3.
Suara untuk Ahok-Djarot, sebaliknya, di kalangan orang berpendapatan cukup tinggi, antara Rp10 juta - Rp20 juta, yakni 62,5%. Mereka mewakili segelintir pemilih di Jakarta.
Di lembaga survei yang sama, pemilih berdasarkan tingkat pendidikan, dari jenjang sekolah dasar hingga sarjana, disapu oleh Anies-Sandiaga. Suara terbesar pada pendidikan SMA, yakni 61,5 persen, memilih paslon 3.
Dari kategori berdasarkan pendapatan dan pendidikan itu, kita bisa berbicara tentang rincian program dan relasinya dengan kelas sosial serta pendidikan. Ambil contoh program DP 0% kepemilikan rumah yang dinilai kontroversial.
Rumah, menurut rancangan program ini, juga dapat diakses dengan harga minimal Rp350 juta. Dalam pelbagai kesempatan, Anies-Sandiaga terlihat kedodoran menjelaskan feasibility pelaksanaan program DP 0%. Program ini pun belum didukung oleh data-data di lapangan tentang harga tanah di Jakarta.
Namun, ketika sering digoreng sebagai bahan kampanye negatif oleh kelompok masyarakat berpendidikan tinggi yang memilih Ahok, program ini rupanya mampu menangkap kegelisahan warga berpenghasilan rendah dan menengah yang kesulitan mendapatkan akses kepemilikan hunian tetap di Jakarta.
Penggusuran kampung kelihatannya juga turut berperan besar menentukan keterpilihan Anies-Sandiaga. Selain fakta kampanye Anies-Sandiaga mempersulit pasangan Ahok-Djarot masuk ke sejumlah kampung, area-area ini juga diisi oleh warga berpenghasilan bawah atau menengah yang gusar atas kasus-kasus penggusuran yang telah terjadi.
(Baca: Si Raja Gusur yang Tergusur di Pilkada Jakarta)
Masih terkait dengan potret pendapatan dan pendidikan, ada selisih 10 persen antara pemilih perempuan yang mendukung paslon 2 (39%) dan paslon 3 (49%) dari hasil exit poll Indikator Politik Indonesia.
Pada kelompok pemilih laki-laki, selisihnya tidak sebesar ini (Ahok-Djarot 40%; Anies-Sandiaga 45%). Tidak ada data yang lebih spesifik tentang kelompok perempuan berdasarkan pekerjaan, tingkat pendidikan, atau usia dalam rilis Indikator Politik Indonesia.
Seandainya persentase pemilih perempuan tertinggi adalah kalangan ibu dari rumahtangga berpenghasilan rendah, janji KJP Plus, yang memungkinkan orang menarik uang tunai untuk kebutuhan-kebutuhan di luar yang telah dialokasikan oleh KJP yang saat ini berlaku, barangkali menjadi magnet pemilih perempuan. Namun, lagi-lagi, tidak ada data yang lebih spesifik soal ini.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Fahri Salam