tirto.id - “Kenapa proyek terus yang dipikirin, bukan warganya yang dipikir. Kita sudah di pinggir tapi tetap diuber pembangunan dan proyek pemerintah. Kami orang kecil selalu diusik, selalu digusur,” kata Rohmat, 40 tahun, warga Cipinang Melayu, Jakarta Timur.
Rohmat ialah pengurus rukun tetangga 7 dan rukun warga 4 seksi pembangunan di Kampung Bayur. Di RW itu ada 48 hunian yang terancam digusur dalam waktu dekat karena proyek Jalan Tol Bekasi, Cawang, dan Kampung Melayu—disebut “Becak Kayu”.
Tak hanya RW 4, imbasnya RW 1, RW 2, RW 3, RW 11, dan RW 13 akan terdampak gusuran pula. Diperkirakan ada sekitar 376 hunian yang berada dalam posisi rentan. Proyek yang dimulai sejak 1996 ini akan menghubungkan Bekasi dan Jakarta sepanjang 21 kilometer. Kawasan ini akan dibelah proyek lain, yakni Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) jurusan Jakarta-Bandung.
Rohmat yang sudah 25 tahun memiliki KTP dan KK DKI Jakarta menuturkan pihak pelaksana pembangunan proyek sudah dua kali mondar-mandir di daerahnya. Pertama berkeliling sembari memberi tanda dengan cat semprot di beberapa area. Kedatangan kedua mereka guna menggambar peta perencanaan pembangunan.
Pada 28 April nanti, akan ada pertemuan di Kantor Kelurahan Cipinang Melayu. Rencananya membahas ganti rugi penggusuran. Hingga saat ini, Rohmat mengaku belum ada kepastian kapan penggusuran dilaksanakan.
“Surat resmi kapan penggusuran, warga belum dapat. Kalau sudah dapat surat resmi, kita bisa siap-siap. Lha kalau tidak? Kita cuma dapat keresahan,” katanya kepada Tirto, Kamis kemarin (20/4).
Warga di RW yang sama, Darsa, 45 tahun, mengisahkan tentang banjir yang menghantam permukiman di Cipinang Melayu selama dua hari sejak Selasa dan Rabu, pekan lalu. Kedalaman mencapai sekitar 1 meter. Sumber banjir dari Kali Sunter. Rumah Darsa di RT 7 hanya berjarak sekitar 5 meter dari Kali Sunter. Bahkan banjir merendam Masjid Nurul Iman yang berjarak 240 meter dari rumahnya.
“Waktu banjir kemarin lumpur 5 sampai 10 sentimeter di rumah dan jalan,” ujarnya.
Aktivitas keseharian warga lumpuh. Anak-anak dan ibu-ibu diungsikan ke Universitas Borobudur dan kantor kelurahan. Ada belasan perahu. Belasan tali tambang menjuntai dari satu rumah ke rumah lain. Darsa sudah jauh hari membuat loteng sederhana dari kayu; di situlah barang-barang berharga disimpan ketika banjir.
“Keluarga saya tidak pernah ngungsi. Saya belanja, renang lawan arus. Pakai rompi pelampung. Belanjanya di toko kelontong sekitar setengah kilometer dari rumah,” tuturnya.
Darsa, yang sudah 20 tahun tinggal di Jakarta, mengatakan siapa pun yang jadi gubernur Jakarta harus memerhatikan rakyat kecil seperti dirinya. Ia juga mengharapkan Kali Sunter secara rutin dikeruk.
Pada 19 April kemarin, di hari pencoblosan, Darsa dan Rohmat memakai hak pilihnya di TPS 21. Di TPS ini pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menang. Tirto berbicara dengan warga dan semuanya mencemaskan nasib mereka yang rentan digusur jika Ahok terpilih kembali. Sehingga isu "duniawi" inilah, dan bukan agama, yang cukup sering diutarakan.
“Pak Anies jangan obral janji saja. Harapan saya, tolong perhatikan rakyat kecil,” tegasnya.
Kalau pun penggusuran tak bisa dihindari, Darsa tak ingin nasibnya sama dengan warga gusuran lain di masa pemerintahan Ahok. Misalnya, ia ingin dipindahkan di dekat kediamannya sekarang. Dan ada uang ganti yang harus sesuai luas tanah yang digusur.
"Kami masih berat ninggalin Kampung Bayur. Warga inginnya rumah diganti rumah, bukan rusun,” ujar Darsa, mengungkapkan kekhawatiran.
Korban Gusuran Menggusur Ahok
Sepanjang 2016, berdasarkan data LBH Jakarta, Ahok melakukan 193 kali penggusuran. Sebanyak 5.726 keluarga dan 5.379 unit usaha dia singkirkan. Dampaknya, saat pemungutan suara di rumah susun sederhana sewa (rusunawa) warga korban gusuran, Ahok jatuh.
Misalnya di Rusunawa Rawa Bebek. Rusun ini menampung 1.458 warga gusuran dari Bukit Duri yang menempati 377 unit, 98 warga Krukut yang menempati 23 unit, dan 652 jiwa warga Pasar Ikan yang menempati 164 unit.
Pada putaran I Pilkada DKI Jakarta, 15 Februari lalu, pasangan Anies-Sandiaga unggul di TPS 140 dan TPS 141, mengantongi 148 suara dan 171 suara. Sedangkan Ahok-Djarot hanya mendapat masing 80 suara dan 48 suara. Pada putaran II, Anies-Sandiaga tetap menang: 444 suara di TPS 140 dan 270 suara di TPS 141. Sebaliknya, Ahok-Djarot mendapat 108 suara di TPS 140 daan 46 suara di TPS 141.
“Warga saya pada karaokean, pada bahagia, alhamdulillah. Jagoan warga saya menang. Pada dasarnya warga saya tidak suka sama Pak Gubernur Ahok. Pada dasarnya warga saya sakit hati,” kata Muhamad Rais pada hari pencoblosan, 19 April kemarin.
Rais ialah ketua RW 17 yang mengurus seluruh warga di Rusunawa Rawa Bebek. Ia mengatakan beberapa alasan Ahok kalah dari tempatnya. “Gara-gara tekanan pada saat digusur, tidak ada pembayaran ganti rugi sama sekali. Ngomongnya di debat Pilgub, air per kubik Rp1.050, faktanya warga bayar Rp5.500 per kubik. Itu kelemahan Pak Gubernur."
Menurut Rais, sampai saat ini tak ada sekalipun keluhan warganya yang didengar Ahok. Ia berharap Ahok datang sendiri ke Rusunawa Rawa Bebek. Rais beranggapan, selama ini Ahok lebih percaya kepada pegawainya ketimbang menengok kenyataan di lapangan dan warga korban gusuran.
“Jangan mau dibohongi orang-orangnya atau pegawainya sendiri. Mereka bilang warga kami bahagia, bahagia apanya?”
Rais dipindah paksa ke rusunawa dari kampung di Pasar Ikan. Ia bersama warga ditempatkan di blok rusunawa untuk masyarakat umum, bukan khusus korban penggusuran. Karena itu warga Pasar Ikan harus membayar uang sewa Rp300 ribu per bulan. Sedangkan warga gusuran lain hanya membayar Rp200 ribu.
Meski sejak Februari 2017, blok untuk warga Pasar Ikan sudah terbangun, tetapi mereka belum bisa menempatinya.
"Mandat dari Pak Gubernur belum boleh. Kita masih di sini-sini saja, ya namanya kita orang titipan. Kita debat sama pengelola juga percuma, malah ujung-ujungnya kita yang dimusuhi,” keluhnya.
“Yang penting Pak Anies harus amanah. Cukuplah kami saja yang tergusur. Untuk selanjutnya, jangan ada lagi. Cukup kami saja yang merasakan kalau hidup di rusun itu sebenarnya pahit,” harapnya.
Tak hanya di Rusunawa Rawa Bebek, Ahok-Djarot kalah di Rusunawa Jatinegara Barat. Di sini ada 2.184 jiwa warga gusuran dari Kampung Pulo, terdiri 620 KK yang menempati 518 unit.
Di TPS 33 dan TPS 34, Anies-Sandiaga menang dengan perolehan 323 dan 348 suara. Sedangkan Ahok-Djarot mengantongi 50 dan 46 suara. Pada putaran II, Anies-Sandiaga kembali menang, 541 dan 553 suara melawan hanya 53 dan 44 suara buat Ahok-Djarot.
Berbeda dari dua rusunawa di atas. Di Rusunawa Marunda, pada putaran I, Ahok-Djarot menang di TPS 28, TPS 32, 33, 34, 35, 36, dan 37. Sebaliknya Anies-Sandiaga hanya menang di TPS 30. Namun, pada putaran II, perolehan suara itu berbalik. Anies-Sandiaga berkuasa di TPS 28, 30, 32, 33, dan 37. Sedangkan Ahok-Djarot dominan di TPS 34, 35, dan 36. Rusunawa Marunda menampung warga gusuran Rawajati yang menempati 16 unit, warga Kalijodo 152 unit, dan Pasar Ikan 102 unit.
Di Pasar Ikan pun, ada segelintir warga yang ngotot tinggal di puing-puing rumahnya dan mencoblos buat kemenangan Anies-Sandiaga. Ada dua TPS di sini. Pada putaran I, di TPS 16, Anies-Sandiaga meraih 271 suara sementara Ahok-Djarot 114 suara. Di TPS 17, Anies-Sandiaga mengantongi 249 suara dan Ahok-Djarot 54 suara. Pada putaran II, cuma 57 suara untuk Ahok-Djarot di TPS 16 dan 131 suara di TPS 17. Sebaliknya, Anies-Sandiaga meraup 297 suara di TPS 16 dan 333 suara di TPS 17.
Berdasarkan laporan LBH Jakarta bertajuk "Seperti Puing: Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta Tahun 2016", dalam eksekusi penggusuran, Ahok melibatkan aparat dari Polri dan TNI. Ada 59 persen kasus penggusuran di Jakarta melibatkan aparat Polri. Kemudian 57 persen kasus penggusuran yang melibatkan aparat TNI. Bagi LBH Jakarta, pelibatan aparat yang dibayar negara untuk menggusur memicu terjadinya intimidasi dan kekerasan pada korban penggusuran.
Faktor lain yang membuat Ahok kalah adalah tingkatan pemilih kelas menengah ke bawah yang cenderung memilih Anies, seperti warga penggusuran. Data exit poll Indikator menunjukkan, sebesar 52 persen warga berpendapatan di bawah Rp2 juta memilih Anies. Sementara yang memilih Ahok cuma 35 persen. Sedangkan data exit poll Pollmark memberikan gambaran yang sama. Di segmen pemilih dengan pendapatan kurang dari 1 juta, Ahok hanya didukung 26,4%; pada segmen pendapatan 1-3 juta Ahok hanya dipilih oleh 35%. Pendeknya: Ahok-Djarot kalah di kalangan pemilih dengan pendapatan paling rendah (baca: Ahok Tergusur di Rusun Jatinegara Barat dan Rawa Bebek).
Keberpihakan warga rusunawa kepada Anies dilandasi tindakan Ahok yang tidak manusiawi kepada warga gusuran sehingga senjata untuk melawan, salah satunya, lewat peluang pesta demokrasi lima tahun sekali. Dalam penelusuran Tirto pasca pencoblosan, sangat sedikit warga yang bicara soal agama. Mereka mengeluhkan problem duniawi: perlakuan buruk Ahok dalam hal penggusuran.
Yusron Hariyanto, penghuni Rusunawa Jatinegara Barat, mengatakan saat digusur pemerintahan Ahok, "sumber kehidupan kami dihancurkan begitu saja tanpa ada kompensasi sedikit pun." (Baca: Di Rumah Susun, Kondisi Ekonomi Korban Gusuran Kian Sulit)
Padahal untuk membangun rumahnya, lanjut Yusron, ia menabung pelan-pelan dari gaji yang dulu ia dapatkan Rp8.500. Sejak pindah ke rusunawa, ujarnya, ia harus memikirkan biaya sewa unit, listrik, dan air setiap bulan, yang bisa mencapai Rp600 ribu atau lebih.
“Kami tidak sanggup melawan pemerintah, mereka ada Polisi, TNI dan, Satpol PP dalam penggusuran. Kita hanya bisa melawan melalui Pilkada ini,” kata Yusron. “Banyak yang sakit hati karena tidak ada ganti rugi. Sebelum Ahok jadi gubernur kok bisa ada ganti rugi, kenapa sekarang enggak bisa? Indonesia ini belum ada keadilan.”
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam