Menuju konten utama
Balada Korban Gusuran Era Ahok

Di Rumah Susun, Kondisi Ekonomi Korban Gusuran Kian Sulit

Banyak warga korban gusuran yang harus menata ulang asap dapurnya. Pekerjaan lama terputus, niat merintis usaha terbentur banyak kendala.

Di Rumah Susun, Kondisi Ekonomi Korban Gusuran Kian Sulit
Warga penghuni rusun Marunda, Jakarta Utara. TIRTOAndrey Gromico

tirto.id - Karjono (37), pria kelahiran Purworejo, terpaksa banting setir pekerjaan. Mulanya ia bekerja sebagai pekerja buruh lepas dengan spesialisasi memasang marmer. Kini ia menjadi petugas keamanan di Rusun Marunda.

Kehidupan Karjono berubah drastis saat rumahnya digusur pada 29 Februari 2016. Pemerintah Daerah DKI Jakarta memutuskan memindahkan warga Kalijodo ke Rusun Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.

Bersama istri, tiga anak dan bapak mertuanya, Karjono kini menempati Blok A11 lantai 2 No 206 Rusun Marunda. Ia menempati unit tipe 36 dengan dua kamar tidur, kamar mandi, dan ruang tamu yang menyatu dengan ruang tivi dan dapur serta balkon untuk menjemur.

Tinggal di rusun membuat Karjono harus berhadapan dengan rentetan persoalan baru. Dimulai dari kondisi rumah berbentuk vertikal yang pasti lebih sempit jika dibandingkan rumah lamanya yang terdiri dua lantai dan empat kamar. Akibatnya, sebagian barang harus dititipkan di rumah kakak kandungnya di Cengkareng.

Pekerjaan sebagai kuli marmer di pelbagai pusat perbelanjaan dan rumah elit pun harus dia tinggalkan. Padahal, pekerjaan yang tak mengikat waktu itu dapat dilakukan bersamaan pekerjaan sampingan sebagai pengantar pengunjung di Kalijodo dengan sepeda motor.

"Dulu jadi kuli marmer hanya 6 jam bekerja, sedangkan sekarang jadi satpam harus 12 jam bekerja dalam sehari," kata Karjono.

Pekerjaan sebagai satpam lumayan membantu, namun jauh dari cukup. Tapi tidak ada pilihan lain.

"Terbantu, sih, tapi lebih mendingan kerja di sana (buruh lepas pasang marmer dan jasa ojek)," kata Karjono kepada Tirto.id, Kamis (22/12/2016).

Dulu ia tak perlu pusing memikirkan biaya kontrakan, uang jajan anak dan mertuanya. Sebab, kebutuhan rumah tangga tidak hanya dipenuhi dari pekerjaan sebagai kuli marmer maupun ngojek, melainkan juga dari penghasilan istri yang membuka warung sembako. Kini, usaha warung yang digeluti istrinya selama 12 tahun pun raib.

Erni Kurniasih, istri Karjono, sempat berdagang selama dua bulan di lantai dasar Blok A11. Tapi, barang dagangannya tak bertahan lama karena daya beli warga sangat rendah. "Sehari enggak sampai Rp100 ribu. Beda di tempat tinggal dulu. Kalau dulu bisa dapat Rp700 ribu per hari," ungkap Erni

Selama 10 bulan hidup di rusun, ibu tiga anak ini hanya mengandalkan upah suami sebagai satpam, yakni Rp3,1 juta/ bulan. Penghasilan itu tak cukup. Dalam sebulan, Erni harus mengeluarkan biaya sekitar Rp3,5 juta, terdiri dari sewa rusun sebanyak Rp150 ribu, biaya listrik Rp150 ribu, air Rp100 ribu. Sisanya, biaya untuk uang sekolah dan uang jajan anak serta kebutuhan orang tua (Ayah Erni) dan belanja sehari-hari.

Pengeluaran lebih besar dibandingkan pendapatan membuat Erni terlilit utang. Saat ini utang Erni mencapai Rp200 ribu per bulan. Saat masih tinggal di Kalijodo, kebiasaan utang ini nyaris tak pernah dilakukannya. Di Kalijodo, Erni dan Karjono bisa mendapatkan penghasilan Rp 5-6 juta/ bulan. Sementara pengeluaran hanya sebesar Rp4 Juta/ bulan.

Selain Erni, ada pula Karsih (53), korban gusuran Kampung Pulo yang kini menghuni Rusun Jatinegara Barat. Dia berkata, dagangannya laris manis ketika masih berjualan di Kampung Pulo. Kini, pendapatan hasil dagangannya di rusun sangat rendah.

"Kalau di sini cuma 200-300 ribu per hari (penghasilan kotor). Kalau di sana bisa lebih. Di sana bisa dapat 1-1,5 juta," kata Karsih.

Erni dan Karsih bukan orang pertama yang merasakan sulitnya berdagang di rusun. Karyati (48), perempuan yang menempati lantai lima Rusun Marunda, juga mengalami hal serupa. Di Kalijodo ia berjualan nasi warteg, sedangkan suaminya berjualan soto keliling ke pabrik-pabrik. Hasilnya cukup menggembirakan.

"Kalau di sana bisalah dapat 3 juta per bulan, kan berdua kerja," ungkapnya.

Perempuan yang sudah menempati Kalijodo sejak 1961 ini sebenarnya sudah berusaha kembali berdagang soto di Rusun Marunda, akan tetapi hanya bertahan setengah bulan. Pada akhirnya, Karyati banting setir menjual gorengan keliling gedung.

"Sebulan nyari 200 ribu saja susah," keluhnya.

Beragam usaha untuk bertahan hidup sudah dilakukan para warga gusuran. Mereka mengaku sudah berusaha keras agar bisa bertahan hidup di rusun. Namun, para pengelola rusun menilainya berbeda. Kepala Sarana dan Prasarana dari pengurus Rusun Jatinegara Barat, Duma Marhisar‎, mengungkapkan bahwa warga rusun memang senang bekerja tetapi tidak tahan cobaan. Misalnya, saat berdagang mi ayam, kalau hari itu tidak laku maka besoknya tidak berjualan lagi.

"Gampang putus asa," klaim Duma.

INFOGRAFIK HL Rusun biaya sewa

Pernyataan pengelola rusun Jatinegera Barat dibantah oleh Warji (49), Ketua RT 2 Rusun Jatinegara Barat. Dia mengungkapkan, saat awal relokasi, banyak instansi pemerintah yang datang ke rusun untuk menanyakan kebutuhan warga dalam merintis usaha. Tapi tindak lanjutnya tidak ada sampai sekarang.

Kalau instansi pemerintah serius, kata Warji, maka warga sebaiknya dibimbing, seperti diberi pelatihan, mendapatkan akses pada modal dan tenda untuk berdagang. Faktanya, tenda yang ditempati para pedagang saja dari pemberian pihak swasta, bukan pengelola ataupun instansi pemerintah lain.

"Kalau serius, kita juga enggak bakal becek-becekan kalau hujan," kata Warji. "Jangan menyalahkan warga yang ada di sini dibilang gampang putus asa."

Pengelola rusun membantah tidak membantu. Pengelola Rusun Jatinegara mengklaim telah memberikan gerobak untuk berjualan di pelbagai rusun, baik di Jatinegara Barat, Rawa Bebek, dan Marunda. Duma mengklaim, Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, Menengah memberikan 40 gerobak bagi warga gusuran yang tinggal di Rusun Jatinegara Barat.

Namun, penelusuran Tirto.id hanya menemukan tidak lebih dari 20 gerobak di Rusun Jatinegara Barat. Itu pun tidak semua gerobak aktif digunakan berjualan karena sepi pembeli. Pembeli dari luar rusun terkendala akses, sehingga mau tidak mau mengandalkan daya beli warga rusun. Masalahnya, warga rusun pun daya belinya rendah karena sama-sama terputus dari penghidupan yang lama.

Tak hanya itu, beban transportasi meningkat. Contohnya, Nando. Ibu tiga anak ini harus menambah biaya transportasi anaknya bersekolah dari Rp15 ribu menjadi Rp35 ribu. Biaya Rp15 ribu untuk menempuh jarak dari Pasar Ikan ke sekolah anaknya di Jakarta Barat. Setelah pindah, anaknya harus naik transportasi publik dari Rawa Bebek ke Jakarta Barat.

Tak hanya anaknya. Pembengkakan biaya transportasi juga dialami suaminya yang bekerja sebagai karyawan kontrak PLN di Jakarta Utara. Awalnya, sang suami tak perlu biaya transportasi karena kantor dekat dengan rumah. Sejak pindah ke Rusun Rawa Bebek, suami harus mengisi bensin Rp20 ribu untuk pulang-pergi ke kantor.

Memang, pengelola Rusun Rawa Bebek memiliki empat bus sekolah setiap pagi, tetapi tidak efektif bagi siswa yang jarak sekolahnya jauh dari lokasi rusun. Nando menjelaskan bahwa anaknya, yang duduk di bangku SMA, sudah jalan pukul 4 pagi menuju Stasiun Cakung. Anaknya sekolah di Jakarta Utara, sementara rusunnya di Jakarta Timur.

"Di sini mau ke mana-mana susah. Mau ke arah Kota bisa dua-tiga jam dari sini naik busway. Kalau naik ojek ke ke Stasiun Cakung sudah Rp15 ribu," ujar Nando.

Baca juga artikel terkait RUSUN atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam