Menuju konten utama

Akar Rumput "Wong Cilik" yang Tak Terawat Lagi

PDIP dulu terkenal sebagai dengan basis massa yang kuat di akar rumput. Ketika penolakan Ahok terjadi di kawasan-kawasan akar rumput, bagaimana konsolidasi PDIP?

Akar Rumput
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri melambaikan tangan kepada para pendukungnya ketika berkampanye di Gianyar, Bali, Jumat (12/3). REUTERS/Darren Whiteside

tirto.id - Gerakan anti Ahok, menyusul dugaan penistaan agama, semakin menguat. Mereka yang anti Ahok kini makin terang-terangan berani unjuk muka. Penghadangan-penghadangan kampanye mulai masif.

PDIP menghadapi tantangan serius. Kendati dicurigai ada mobilisasi, tetapi penolakan-penolakan terhadap kampanye Ahok-Djarot tak bisa dipandang remeh semata sebagai aksi bayaran. Penolakan di Pondok Kopi (17/11) dan Cipinang (16/11), sejauh penelusuran tirto.id, tak gampang untuk disebut sebagai desain elit politik.

Dua penolakan yang terjadi di Pondok Kopi dan Cipinang Sodong terjadi di wilayah padat, tak jauh dari kantor DPAC PDIP (untuk kasus di Pondok Kopi), yang secara sosiologis -- setidaknya di masa lalu-- menjadi kawasan yang cocok dengan latar konstituen PDIP: wong cilik, masyarakat kelas bawah, yang secara ekonomi banyak yang tidak mapan.

Tidak bisa tidak, PDIP memang (pernah) identik dengan orang-orang kecil, di/menjuluki dirinya sebagai “partai wong cilik”, yang kehadiran posko-poskonya dulu amat mencolok dan nyaris mudah ditemui di berbagai titik. Kini, posko-posko PDI Perjuangan tak lagi terlihat masif seperti dulu.

Dulu, ketika PDI Perjuangan memenangkan Pemilu 1999, hampir disetiap sudut jalan berdiri posko banteng moncong putih. Posko itu seolah memperlihatkan bagaimana PDI di bawah komando Megawati pernah disegani. Simpatisannya juga pernah membuat merah jalanan Jakarta, dengan militansi yang tak diragukan.

Kita sama-sama tahu, pada Pemilu 99, PDI Perjuangan mampu memenangkan pertarungan dalam pemilu secara telak. PDIP mendominasi perolehan suara di 11 provinsi pada 7 Juni 1999. Dalam catatan, pada Pemilu yang disiapkan selama 13 bulan oleh pemerintahan BJ Habibie, partai itu menguasai 33, 7 persen suara nasional. Perolehan suara paling banyak di Pulau Bali, jumlahnya 79 persen. Sementara paling kecil di Provinsi Sulawesi Selatan, 6,6 persen.

Sebagai partai baru, PDI Perjuangan mampu mengalahkan 47 partai lainnya termasuk partai-partai lama. Bahkan di Jakarta, PDI Perjuangan mendominasi kemenangan hampir di seluruh wilayah Jakarta. Total perolehan suara PDI Perjuangan di Jakarta mencapai 39,4 persen. Hanya dua kecamatan di Jakarta yang saat itu tak dikuasai, yaitu Kepulauan Seribu dan Pancoran.

Di bawah Megawati, PDI Perjuangan melejit. Mereka mengungguli partai lama. Kehadiran PDI Perjuangan memang dipandang sebagai pelampiasan dari keberadaan partai-partai lama. Apalagi jargon mereka sebagai partai wong cilik selalu digaungkan. Dukungan pun mengalir deras.

Setelah Orde Baru jatuh, modal historis itu dikelola dengan maksimal untuk memenangkan PDIP. Dalam kampanye pada Pemilu 1999, PDI Perjuangan dalam salah satu kampanye akbar berhasil mengerahkan 1,2 juta orang. Aksi mendukung Megawati itu diwarnai dengan aksi “Cap Jempol Darah”, sesuatu yang juga sudah terjadi sebelumnya pada masa Orde Baru.

Infografik PDIP dan Politik massa

Posko dan Suara Yang Hilang

Posko menjadi basis kekuatan PDI Perjuangan di akar rumput. Posko-posko itu, yang pada masa awal reformasi begitu masif sebarannya, menjadi tengara yang sangat telanjang tentang kehadiran PDIP di mana-mana. Posko-posko itu begitu menyolok, amat jelas, dan membuat PDIP -- secara fisik-- menjadi amat terjangkau oleh siapa pun. Kemenangan telak PDIP pada Pemilu 1999 menegaskan kehadiran PDIP.

Sayangnya, hal itu tidak berlanjut. Pada Pemilu 2004, jumlah suara mereka di Jakarta merosot. PDI Perjuangan hanya mendapatkan 10 kursi. Padahal pada 1999, mereka meraih 31 kursi di DPRD Jakarta. Partai Keadilan “tiba-tiba” memperoleh suara teratas di Jakarta dengan 18 kursi.

Pada 2009, kekalahan kembali harus ditelan oleh PDI Perjuangan. PDI Perjuangan hanya mendapat 11 kursi, meningkat hanya 1 kursi saja. Mereka kembali kalah oleh PKS yang berada di urutan kedua. PKS pada Pemilu 2009 masih mendapatkan 18 kursi. Namun, pemenang di Jakarta berpindah ke Partai Demokrat yang meraih 32 kursi.

Kekecewaan kepada kepemimpinan Megawati yang menjadi presiden antara 2001-2004 tentu menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Penjualan-penjualan aset negara, lepasnya Sipadan-Ligitan, pemotongan berbagai subsidi untuk rakyat yang berdampak pada -- di antaranya-- dua kali harga BBM naik, tentu menjadi faktor yang dicatat oleh konstituen. Akumulasi itu semua berdampak pada perolehan suara PDIP yang menurun.

Di tingkat akar rumput, tergerusnya suara PDIP bisa dilihat dari makin berkurangnya posko-posko PDIP. Posko-posko tidak semasif sebelumnya, dan pelan-pelan makin menyusut di berbagai sudut ibu kota.

PDIP sendiri menampik dugaan bahwa akar rumput di Jakarta tidak dirawat. Terkait posko-posko itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPD PDI Perjuangan DKI Gembong Warsono mengatakan, hilangnya posko-posko partainya bukan karena konstituen berkurang. Alasannya, menurut Gembong, masifnya penertiban bangunan-bangunan liar di Jakarta.

“Sejak ada penertiban jumlahnya sudah tidak seperti dulu,” ujar Gembong kepada Tirto.

Dia mengatakan, strategi untuk memenangkan Pilkada DKI 2017 sudah mulai dibangun pada basis akar rumput. Strategi ini, kata dia, sama seperti yang dilakukan pada Pilkada 2012 dan Pemilu/Pilpres 2014.

“Sejak dari awal kita memang konsentrasi pada mesin partai sampai tingkat RW,” katanya.

Gembong memberikan ilustrasi kemenangan PDIP pada Pemilu 2014 sebagai bukti kinerja mesin partai di Jakarta sudah kembali pulih. Suara PDIP di Jakarta memang meningkat pada Pemilu 2014. Mereka meraih 28 kursi DPRD DKI, mendekati pencapain Pemilu 1999. Mereka kembali menguasai ibukota. Dua tahun sebelumnya, PDIP juga berjaya dengan memenangkan salah satu kadernya, Joko Widodo, sebagai pemenang Pilgub Jakarta 2012.

Gembong menjelaskan, saat ini strategi pemenangan Pilgub 2017 di akar rumput bertumpu pada 2403 orang tim sukses yang fokus di tingkat ranting (kelurahan). Sementara pada tingkat anak ranting (RW), PDI Perjuangan menjalankan mesin partainya dengan menggerakan 3 orang kader di setiap Rukun Warga.

“Kalau untuk jumlah RW di Jakarta mencapai ribuan. Saya ambil contoh di Jakarta Selatan, kita punya 480 anak ranting dari total 578 RW yang ada di Jakarta Selatan,” tutur Gembong.

Dia pun menegaskan jumlah itu memang tak semuanya bisa dikategorikan sebagai basis PDIP di akar rumpu. Sebab, sebanyak 98 RW di Jakarta Selatan itu terletak di perumahan elit, juga di kawasan militer.

“(Kawasan seperti itu) Bukan basisnya PDIP,” katanya.

Gembong menyadari, perumahan elit memang bukan basis massa PDI Perjuangan. Dia pun sadar jika partainya tak menyasar golongan ekonomi ke atas. Sebab, PDI Perjuangan, dilahirkan dengan gaung Partai Wong Cilik.

Cara PDIP Menyikapi Aksi 4 November

Andai konsolidasi kader-kader PDIP di akar rumput masih sekuat dulu, mungkinkah Aksi 4 November tidak akan massif?

Kepada Eva Sundari, anggota DPR dari PDIP, tirto.id sempat bertanya konsolidasi PDIP di akar rumput terkait gelombang penolakan Ahok yang kian masif di Jakarta, termasuk aksi 4 November lalu yang amat menyolok mata.

“Anda tidak bisa membentur-benturkan kalangan nasionalis dan agama seperti,” kata Eva. “Kamu mau PDIP berantem sama FPI? Mau jadi apa bangsa ini?”

Ditanya mengenai para peserta aksi 4 November, Eva juga meragukan bahwa para peserta aksi berasal dari kelompok sosial yang dulu menjadi basis konstituen PDIP. “Siapa bilang mereka orang-orang miskin? Kamu yakin?” Eva balik bertanya.

Eva juga menampik anggapan mengenai hilangnya posko-posko PDIP di Jakarta. Jika Gembong Warsono mengafirmasi menyusutnya jumlah posko-posko PDIP di Jakarta dengan alasan penertiban, Eva tidak merasa ada penyusutan jumlah posko.

“Anda saja yang gak melihat. Coba malam ini Anda ke Jakarta Utara, lihat saja sendiri, di sana sedang konsolidasi,” tegas Eva.

Eva bercerita bahwa PDIP sudah “memanaskan mesin” jauh sebelum menetapkan Ahok-Djarot sebagai kandidat yang diusung dalam Pilgub 2017. “Sejak Februari 2017, berlanjut sampai awal puasa, kami sudah konsolidasi soal pemilihan gubernur ini,” tegas Eva.

Eva menjelaskan bahwa zaman sudah berubah dan PDIP juga mencoba beradaptasi dengan perkembangan. Kini arus dukungan massa tidak lagi dimanifestasikan dengan tindakan-tindakan fisik semacam cap jempol darah seperti dulu.

“Kamu kalau lihat Pilkada (2012) dan Pilpres 2014 kan PDIP bisa menang gak pake jempol darah. Gitu loh ngukurnya. Jangan pakai standar yang kayak dulu,” lanjut politikus kelahiran 8 Oktober 1965 ini.

Baca juga artikel terkait PDIP atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Zen RS