Menuju konten utama

Menimbang Pentingnya Sidang Isbat

Sidang isbat sudah menjadi ritual tahunan untuk menentukan awal puasa dan lebaran. Sayangnya, hasil sidang isbat ini tidak selalu menjadi pedoman ormas keagamaan dalam menentukan awal puasa.

Menimbang Pentingnya Sidang Isbat
Petugas dari Kementerian Agama Kabupaten Jombang mengamati posisi hilal (bulan) saat "rukyatul hilal" untuk menentukan idul fitri 1 syawal 1437 hijriyah di satradar 222 ploso di kabuh, jombang, jawa timur, senin (4/7). Antara Foto/Syaiful Arif.

tirto.id - Kementerian Agama (Kemenag) menggelar sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan, pada Jumat (26/5/2017). Dalam sidang ini, pemerintah melibatkan sejumlah ormas Islam untuk menentukan awal puasa tahun ini.

Sidang isbat sejatinya sudah menjadi ritual tahunan untuk menentukan awal puasa dan lebaran. Sayangnya, hasil sidang isbat ini tidak selalu menjadi pedoman ormas keagamaan dalam menentukan awal puasa.

Pada Ramadan tahun ini, misalnya,Tarekat Naqsabandiyah Sumatera Barat telah melaksanakan puasa mulai hari ini, sedangkan Muhammadiyah telah menetapkan awal puasa pada Sabtu (27/5/2017). Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan awal puasa Ramadan 1438 Hijriah/2017 Masehi jatuh pada 27 Mei merujuk hasil perhitungan astronomi ahli falak salah satu organisasi Islam terbesar Indonesia itu.

Karena itu, muncul wacana agar sidang isbat dihapus. Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang membidangi agama, Sodik Mudjahid mewacanakan penghapusan sidang isbat dan mengganti tim ilmuwan khusus untuk menangani masalah penetapan awal Ramadan ini.

Bagaimana tanggap ormas Islam?

Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini berpendapat, sidang isbat tetap lah penting untuk digelar. Menurut Helmy, permasalahan perlu-tidaknya sidang isbat dalam rangka menyeragamkan waktu di bulan Ramadan.

“Bukan berarti keputusan sama kemudian makna isbat itu tidak diperlukan. Bukan soal itu. Masalahnya bukan sama tidak sama. Ini masalah metodologi," tutur Helmy saat dihubungi Tirto, Jumat (26/5/2017).

Helmy mengatakan, NU menggunakan pendekatan rukyatul hilal (melihat bulan), yakni melihat lokasi bulan. Mereka melihat langsung di sejumlah titik seperti Jakarta, Situbondo, dan Gresik. Nantinya, hasil pemantauan dilaporkan kepada pemerintah sebagai pertimbangan penentuan 1 Ramadan.

Hal tersebut (rukyatul hilal), kata Helmy, merupakan ketentuan dalam hadis Nabi. Kalau dihapus, lanjut Helmy, akan menimbulkan masalah baru dalam penentuan 1 Ramadan.

“Kalau pemerintah nanti dalam menentukan putusan menggunakan apa dia? ada pun NU sendiri secara internal punya panduan dengan rukyah itu. Jadi nanti karena kita menganggap bahwa kita sudah memiliki kepemimpinan yang sah, dalam hal ini pemerintah, maka kita serahkan kepada pemerintah meskipun secara internal kita sudah punya keputusan,” kata Helmy.

Helmy mengatakan, NU sudah mempunyai hasil kajian untuk penetapan satu Ramadan. Akan tetapi, mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal era Presiden SBY itu menduga, penentuan awal Ramadan tahun ini antara pemerintah dan NU tidak akan berbeda.

“Jadi kalau keputusan NU dan pemerintah gak akan jauh berbeda. Kalau dilihat dari tanda-tanda alam sih terang, kelihatannya akan terlihat dan ada kemungkinan sama. Besok puasanya," kata Helmy.

Hal yang sama juga diungkapkan Sekjen MUI, Anwar Abbas. Ia berpendapat sidang isbat harus tetap digelar. Menurut dia, sidang isbat adalah tempat bagi mereka yang menetapkan awal Ramadan dengan metode rukyatul hilal.

“Untuk apa dihapus sidang isbat itu? Sidang isbat itu kan untuk menetapkan tanggal satu Ramadan. Untuk menentukannya nanti malam rapat sidang isbatnya kalau memakai rukyah. Kalau memakai hisab, ya 10 tahun lalu sudah bisa ditetapkan," saat dihubungi Tirto, Jumat.

Menurut Anwar, ada beberapa pendekatan dalam menentukan 1 Ramadhan. Pendekatan pertama ialah dengan melakukan rukyatul hilal, yakni melihat langsung bulan dalam ketinggian tertentu. Pendekatan lain adalah lewat metode hisab, yakni berdasarkan kalender Hijriyah.

Sidang isbat, kata dia, tetap penting dilakukan karena pemerintah perlu mendapatkan informasi secara ainul yakin (berdasarkan pemantauan langsung) dan aimul yakin (pendekatan ilmu) dalam menentukan awal Ramadhan. Baik pendekatan hilal maupun hisab sama-sama dibolehkan sebagai alat menentukan 1 Ramadan dan keduanya bisa dipertanggungjawabkan.

“Orang NU bukan tidak pakai hisab. Dia pakai hisab juga, tapi dia jadikan dasar untuk melihat bulan," kata Anwar.

Anwar yang juga Bendahara Umum PP Muhammadiyah ini mengatakan, Muhammadiyah tidak ambil pusing dalam masalah isbat. Ia menegaskan, sidang isbat bukan untuk menyeragamkan permasalahan 1 Ramadan.

“Sidang tidak menetapkan. Kalau ada perbedaan ya terimalah perbedaan itu jangan saling menjelekkan," ujar Anwar.

Muhammadiyah tetap menggunakan pendekatan hisab dalam menentukan satu Ramadan. Ia mengatakan, Muhammadiyah tidak mempermasalahkan ada derajat ketinggian bulan tidak mencapai batas yang ditentukan.

"Muhammadiyah tidak mempersoalkan 4 derajat 3 derajat. Asal sudah di atas ufuk, asal sudah ada 0,1 derajat, berarti bulan baru,” kata Anwar.

Akan tetapi, khusus tahun ini, Ia menduga, awal puasa Muhammadiyah akan sama dengan pemerintah. Ia melihat dari keadaan alam memenuhi syarat untuk menetapkan besok sebagai bulan Ramadan. Ia yakin, Muhammadiyah dan pemerintah akan menentukan satu Ramadan, pada Sabtu (27/5/2017).

“Kebetulan untuk besok kayaknya enggak akan ada perbedaan karena perbedaan cukup tinggi. Jadi tanggal 1 Ramadan nanti malam setelah matahari terbenam," kata Anwar.

Sementara itu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menilai kehadiran sidang isbat tetap sangat penting untuk dilakukan oleh pemerintah. Juru Bicara HTI Ismail Yusanto menegaskan, isbat berguna untuk menyeragamkan waktu ibadah umat Islam. Isbat menjadi penting karena Islam mempunyai 1 Tuhan yakni Allah, 1 Nabi besar yakni Muhammad SAW, dan 1 Alquran.

"Isbat itu penting sekali. Sebab tanpa isbat yang dilakukan pemerintah maka orang akan melaksanakan ibadah menurut keyakinan sendiri-sendiri," ujar Yusanto saat dihubungi Tirto, Jumat.

Yusanto memaklumi kalau ada kelompok yang berbeda dalam menetapkan 1 Ramadan. Akan tetapi, HTI menegaskan, penetapan 1 Ramadan maupun 1 Syawal harus menggunakan metode yang terukur dan dipertanggungjawabkan. Ia mencontohkan ada kelompok yang sudah menetapkan 1 Ramadan Kamis (25/5/2017). Mereka harus menjawab alasan penetapan Ramadan dengan pendekatan empiris apabila tidak ingin dipermasalahkan.

"Yang penting ada basis keilmuannya. Jadi tidak ngarang," kata Yusanto.

Yusanto mengatakan, HTI akan melakukan ibadah bulan Ramadan esok, Sabtu (27/5/2017). Ia mengatakan, posisi bulan diprediksi akan berada di 7 derajat. Bahkan, ia memprediksi hilal pada akhir bulan Ramadhan berada di sekitar 3 derajat sehingga pelaksanaan 1 Ramadhan dan 1 Syawal akan sama seperti masyarakat umumnya.

"Memang hilal sudah terlihat. Kemudian bukan hanya awal Ramadan, awal Syawal pun akan sama insyaallah," kata Yusanto.

Meskipun setuju untuk tetap ada, HTI hanya meminta pemerintah untuk tidak melihat hilal berdasarkan batas negara. Ia mengatakan, Indonesia harus bisa melihat hilal secara internasional sebelum menetapkan 1 Ramadan. Menurut Yusanto, pemerintah seharusnya juga memperhatikan daerah-daerah barat seperti India, Maroko, dan Pakistan sebelum resmi menetapkan 1 Ramadan di Indonesia.

Selain itu, HTI juga meminta agar pemerintah memperhatikan masalah esensi Ramadan. Yusanto tidak ingin negara hanya sekadar berkutat dalam masalah penetapan isbat. Negara harus berpikir apa yang akan dilakukan selama bulan Ramadan.

“Jadi pemerintah selain soal isbat, penetapan awal bulan Ramadan, juga esensi dari puasa ini. Ini harus ditekankan. Jangan sampai begini, kita sibuk bicara awal bulan Ramadan, tapi esensi bulan Ramadan itu lewat atau orang atau pihak yang ingin mewujudkan esensi puasa bertakwa malah dimusuhi seperti Hizbut Tahrir Indonesia,” kata Yusanto.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz