tirto.id - Berbagai upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional kini terus digenjot pemerintah. Salah satunya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional. Beleid itu terhitung berlaku sejak tanggal diundangkan, yakni 22 Juni 2020.
Dalam implementasinya, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta bank umum menggenjot penyaluran kreditnya dengan cara memindahkan sebagian uang negara di Bank Indonesia untuk ditempatkan di bank umum nasional selama 6 bulan.
Selanjutnya, BI akan melepas dana senilai Rp30 triliun untuk dipindah ke Himpunan Bank Negara (Himbara). Dana itu ditempatkan sebagai deposito dan berlaku imbal hasil 80% dari suku bunga acuan BI.
Sri Mulyani juga memberi rambu kalau Himbara dilarang menggunakannya untuk membeli SBN dan transaksi valas.
“Tujuannya khusus mendorong ekonomi dan sektor riil agar kembali pulih. Ini agar bank segera dan terus mengakselerasi pemberian kredit dan berbagai upaya pemulihan sektor riil,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers di istana negara, Rabu (24/6/2020).
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Umum Himbara Sunarso menyatakan akan menerima mandat ini termasuk kewajiban mengungkit (leverage) kapasitasnya agar bisa disalurkan tiga kali lipat dari jumlah yang diterima dalam waktu tiga bulan.
Bagi Himbara kebijakan ini menjadi angin segar yang tentu sangat membantu likuiditas bank. Pasalnya, perbankan saat ini sudah tertekan sebagai imbas peningkatan pencadangan (CKPN) akibat restrukturisasi sepanjang Maret-Juni 2020.
Tiap bank Himbara juga menyiapkan strateginya masing-masing termasuk sasaran yang mereka tuju. BRI misalnya mengincar segmen UMKM, sektor pangan, hingga industri fasilitas kesehatan. Mandiri mengincar pariwisata, perdagangan, dan UMKM. BNI mengincar sektor padat karya dan sedikit beririsan dengan bank BUMN lainnya. BTN mengincar KPR subsidi dan non subsidi.
Kelemahan Penempatan Dana
Menanggapi itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai kebijakan ini punya kelemahan lantaran pemerintah ingin meningkatkan suplai kredit tetapi tidak diikuti oleh permintaannya.
Bahkan kata Aviliani target penyaluran tiga kali lipat dari nilai yang diterima bisa menjadi bumerang karena penyaluran bisa ala kadarnya, sehingga tidak tepat sasaran dan meningkatkan risiko.
Aviliani yang juga merupakan Ketua Bidang Pengkajian-Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional mencontohkan permintaan kredit saat ini semakin jarang sejalan penurunan pendapatan-penjualan. Di tengah kesulitan ini wajar seseorang enggan menambah utang dan beban bunga. Kalau pun ada pengajuan, setahunya itu dari tahun sebelumnya yang baru disetujui 2020.
“Harus hati-hati kalau target terlalu tinggi, tidak ada yang minta. Nanti dikasih, bisa kredit macet,” ucap Aviliani saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (25/6/2020).
Menurut Aviliani pemerintah perlu memulihkan permintaan terlebih dahulu seperti mempercepat dan menjaga ketepatan sasaran penyaluran bansos bagi masyarakat kelas bawah maupun memprioritaskan produk dalam negeri untuk menjaga nafas dunia usaha.
Jika sasarannya korban PHK, ia menilai mereka perlu mendapat pelatihan khusus agar bisa memulai usaha atau menjual produk sehingga menghasilkan daya beli serta permintaan kredit. Aviliani bilang konsep inilah yang seharusnya diterapkan pada Kartu Prakerja, alih-alih dibiarkan sekadar mengikuti pelatihan daring secara acak demi menerima bantuan.
Aviliani juga menyoroti sasaran penyaluran dana yang terfokus pada Himbara saja, padahal kelompok bank itu sudah memiliki likuiditas yang sangat baik. Sebaliknya bank dengan modal setara buku 1-2 (Modal inti Data OJK mencatat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank Buku I melambat hingga level minus dan Buku II melambat dari level 10% hingga mendekati level 5% per Maret 2020. Beda dengan Himbara yang masuk kategori buku 4 (modal inti >Rp30 triliun), DPK mereka masih terus tumbuh positif. “Harusnya ke yang butuh likuiditas bukan Himbara,” ucap Aviliani.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Ajib Hamdani juga ragu penempatan dana ini bisa maksimal menggenjot ekonomi. Ia bilang ini penempatan dana ini bukan program khusus seperti PEN atau tindak lanjut PP No. 23/2020.
Imbasnya kredit ini tidak dijamin pemerintah dan alokasi diserahkan sepenuhnya pada wewenang bank. Saat ekonomi melambat, bank juga akan semakin berhati-hati menyalurkan kredit apalagi pemerintah mematok target penyaluran tiga kali lipat berikut imbal hasilnya. Alhasil tak semua pihak dan sektor yang membutuhkan dapat memiliki akses.
“Melihat realitas yang ada, dunia usaha melihat adanya angin ‘setengah’ segar dari pemerintah dalam masa pandemi ini,” ucap Ajib saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (25/6/2020).
Melihat tingginya target pemerintah, Ajib mengatakan penyalurannya juga perlu dimonitor dan dievaluasi bilamana benar-benar tepat sasaran. Terutama pada level UMKM yang memiliki kontribusi 61% terhadap PDB sesuai janji pemerintah.
“Jangan sampai kredit justru mengalir ke konglomerasi besar yang bisa memonopoli akses dan kebijakan perbankan,” ucap Ajib.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Reja Hidayat