Menuju konten utama
Krisis Minyak Goreng

Mengolah Minyak Kelapa, Cara Warga Sarmi Papua Lawan Mahalnya Migor

Warga Sarmi, Papua memproduksi minyak kelapa sebagai cara mereka bertahan di saat krisis minyak goreng sawit terjadi.

Mengolah Minyak Kelapa, Cara Warga Sarmi Papua Lawan Mahalnya Migor
Kelompok Kerja (Pokja) Warga Sarmi, Papua memproduksi kelapa menjadi minyak goreng. (tirto.id/Riyan Setiawan)

tirto.id - Di bawah terik matahari terlihat beberapa ibu-ibu warga Sarmi, Papua berlindung di bawah pohon rindang saat kunjungan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini ke kampung halamannya.

Saat itu, Risma mendatangi Kantor Bakal Klasis Apawer, Sarmi, Papua untuk bertemu warga dan anak-anak sambil mendengarkan aspirasi mereka.

Sambil mendengar pidato dari para pejabat, saya pun berbincang dengan kumpulan para ibu itu. Salah satunya Esthepina Tonja (46), warga Distrik Pantai Barat, Arbais, Sarmi, Papua.

Kami berbincang mengenai harga minyak goreng yang saat ini telah membubung tinggi setelah pemerintah melepaskan ke mekanisme pasar dan menghapus Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14.000.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan per Kamis (24/3/2022), harga minyak goreng curah di tingkat eceran nasional sudah menembus Rp18.100 per liter atau naik 1,69%. Sementara itu, harga minyak goreng kemasan premium mencapai Rp25.400 per liter atau naik 0,40%.

Namun nyatanya, kata Esthepina, kenaikan minyak goreng tak berpengaruh besar terhadap warga Kabupaten Sarmi, Papua yang mampu mengolah minyak kelapa. Mereka menjadikan kelapa sebagai alternatif pembuatan minyak goreng berbahan kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO).

Sehari-hari, ia bersama timnya yang dinamakan kelompok kerja (Pokja) Melati yang terdiri dari ibu-ibu memproduksi minyak goreng dari kelapa di sela aktivitasnya mengurus rumah tangga.

Dia menjelaskan cara pembuatannya, cukup mudah. Pertama, dia dan teman-temannya memetik kelapa yang sudah tua dari atas pohon.

"Dari satu pohon bisa dapat 20 sampai 50 buah kelapa, jadi mama dan teman-teman bisa dapat banyak," kata Esthepina di Kampung Apawer, Distrik Pantai Barat, Kabupaten Sarmi, Papua.

Merasa peduli terhadap lingkungan dan keberlangsungan hidup, dari hasilnya itu, perempuan yang akrab disapa mama Esthepina ini tak lupa kembali menanam benih kelapa agar dapat tumbuh dan bisa digunakan di kemudian hari.

"Jadi jangan cuma ambil hasil, tapi juga beri kembali [tanam lagi]. Sehabis ditanam, bisa lima tahun lagi tumbuh dan berbuah," ucapnya.

Usai dipanen, Esthepina membelah kelapa itu yang memakan waktu seharian. Lalu dibawa pulang ke rumah untuk mengubahnya menjadi minyak kelapa melalui proses fermentasi.

Esthepina menuturkan, kelapa yang sudah dikupas direndam semalaman, lalu esok paginya dicuci.

Setelah itu, kelapa tersebut diparut, lalu dicampurkan dengan air matang secukupnya. Kemudian peras sari-sari kelapa, tuangkan hasilnya ke wadah atau toples. Lalu diamkan selama 24 jam di dalam ruangan.

Proses penyimpanan tersebut akan memisahkan antara air dan minyak kelapa saring air yang sudah terpisah dengan minyak yang berwarna putih pucat. "Kalau [Parutan kelapa] sudah bermalam, dia sudah jadi minyak," tuturnya.

"Jadi semuanya habis tiga hari [pengerjaan]. Satu hari kupas kelapa, satu hari peras, satu hari divalo [didiamkan semalaman]," lanjutnya.

Selain itu, Esthepina mengatakan terdapat juga cara pembuatan minyak dengan cara dimasak. Setelah kelapa diperas dan menghasilkan santan, tuangkan ke dalam penggorengan.

Kemudian santan diaduk secara perlahan dan terus menerus agar air santan menguap dan terpisah hingga hanya tersisa minyak dan ampas (blondo). Jika minyak sudah terbentuk, tuangkan minyak kelapa ke wadah seperti toples atau tong.

Dalam sekali produksi, Esthepina mengaku bisa menghabiskan 200-400 kelapa. Dari 400 kelapa yang difermentasi, mampu menghasilkan sekitar 40 liter minyak goreng.

Dari hasil pembuatan, sekitar 10 minyak kelapa mereka bagikan untuk yang bekerja, 10 minyak kelapa tidak dimasak dijual ke warga dengan harga Rp15.000, dan 20 liter minyak kelapa yang sudah dimasak dijual ke agen dengan harga Rp20.000.

"Jadi bisa dapat uang Rp500 ribu dari hasil penjualan," tuturnya.

Esthepina mengatakan, hampir semua ibu-ibu di Arbais memproduksi minyak kelapa, sebab rata-rata mereka tinggal di kawasan pesisir.

Apa yang dikatakan Esthepina benar adanya. Sepanjang jalan dari Bandara Sarmi menuju Kampung Apawer, banyak ditumbuhi pohon kelapa, lantaran daerah tersebut merupakan wilayah pesisir. Selebihnya, tumbuh pepohonan, kebun, hingga tanaman liar.

Dari Bandar Udara Mararena, Kabupaten Sarmi menuju Kampung Apawer, membutuhkan waktu sekitar 1 jam lebih dengan menggunakan mobil. Meski pemandangannya indah, sayangnya jalan akses masuk ke kampung Apawer banyak yang rusak dan berdebu tebal.

Tak hanya Esthepina, warga lainnya bernama Ice Cawe (50), warga Kampung Apawer, Distrik Pantai Barat, Sarmi juga melakukan hal yang sama. Dia juga memproduksi minyak goreng kelapa dengan tim Pokjanya yang berjumlah 10 orang.

Sama dengan Esthepina, kelompok milik perempuan yang akrab disapa Mama Ice itu juga mampu memproduksi 40 liter per tiga hari. Penjualan dan hasilnya pun kurang lebih juga sama.

Cara Warga Sarmi Bertahan Tanpa Minyak Sawit

Menurut Esthephina, memproduksi minyak kelapa sendiri merupakan bentuk kemandirian warga Sarmi di tengah mahalnya harga minyak goreng. Mereka memanfaatkan hasil alam yang ada di sekitar untuk memenuhi kebutuhan pokok.

"Iya benar, ini bentuk kemandirian mama-mama di sini daripada beli minyak goreng mahal toh. Semua orang di sini bisa, yang senang untuk buat, ya buat," kata Ica di lokasi yang sama.

Selama memproduksi minyak kelapa, Ice mengaku tidak ada kesulitan yang berarti. "Kami sudah biasa. Ini kegiatan kami sehari-hari selain mengurus rumah tangga," imbuhnya.

Warga di kampungnya, kata Ica, hanya akan membeli minyak goreng curah maupun dalam bentuk kemasan jika kurang dan membutuhkan sekali.

"Kalau selama ini masih bisa terpenuhi, sekarang masih [produksi sendiri]," tuturnya.

Ice mencurahkan kondisi warga yang kesulitan memproduksi minyak kelapa lantaran mesin parut mereka rusak, sehingga harus memerlukan waktu lama jika menggunakan cara manual.

"Jadi sekarang ibu-ibu kurang untuk bikin minyak goreng. Kalau ada itu [mesin parut], ibu-ibu rajin untuk bikin minyak goreng, cuma mereka tidak punya alat parut, mesin pun rusak sudah. Kalo ada mesin cepat."

"Kalau parut biasa itu susah, ibu-ibu tinggal saja [tidak produksi], kita beli yang sudah ada saja," tambahnya.

Agar dapat menunjang produksi, Ice berharap kepada pemerintah agar dapat memberikan mesin parut kelapa agar para warga dapat memproduksi minyak kelapa secara efektif dan efisien.

Selain itu, kelompoknya juga membutuhkan sejumlah alat lainnya seperti gerobak untuk mengangkut kelapa, tong untuk wadah merendam kelapa, alat peras kelapa, dan sebagainya.

"Itu saja untuk perlengkapan, toples-toples itu butuh. Biasanya ibu-ibu bikin minyak bersih itu pakai toples, pake tong minyak masak. Setelah kami olah, nanti bisa kami jual," pungkasnya.

Selain membuat untuk membuat minyak goreng, kata Ice, kelapa juga bisa digunakan untuk diminum, santan, hingga lalapan makan. "Itu [kelapa parut] kalau makan dengan pisang, rasanya enak sekali," akunya.

Pemerintah Janji Bantu Warga Sarmi Bupati Kabupaten Sarmi Eduard Fonataba menuturkan kelapa di daerahnya telah ditanam secara turun-temurun oleh warga, salah satunya minyak kelapa. Bahkan, dia mengklaim minyak goreng kelapa Sarmi telah mampu mengalahkan minyak goreng bermerek lainnya.

"Minyak kelapa murni yang bisa diminum sebagai obat karena kelapa antibakteri dan virus," kata dia di lokasi.

Dia mengatakan akan memberikan modal ke masyarakat agar mampu mendorong produksi minyak kelapa.

"Agar rakyat di sini bisa lebih baik dari sekarang," ucapnya. Namun, dia tidak menjelaskan secara konkret bantuan yang akan diberikan.

Menanggapi aspirasi dari warga Sarmi, Mensos Risma mengatakan akan menginventarisir apa saja yang mereka butuhkan.

"Kami akan lihat apa saja yang mereka butuhkan," kata Risma usai berkunjung ke Kantor Bakal Klasis Apawer, Sarmi, Papua, Selasa (22/3/2022).

Risma mengaku telah memberikan bantuan peralatan pertanian hingga usaha kepada warga Kabupaten Sarmi dan Jayapura, Papua sebesar Rp2.359.935.474.

Kemensos juga memberikan bantuan dua unit truk logistik dan satu unit double cabin operasional senilai Rp1.204.000.000 untuk membantu pengangkutan dan pengiriman hasil produksi antar kedua kabupaten.

"Jadi truk dari Apawer ketemu Sarmi, dan dari Sarmi ada truk dari Jayapura yang akan ambil kalau di sini [Sarmi] sudah berproduksi," ucapnya.

Dengan diberikan bantuan tersebut, Risma berharap warga dapat membuat produksi mini yang berbasis industri masyarakat. Kemudian akan dibuatkan gedung dan sarana penyiraman untuk pengolahan.

"Iya [permudah masyarakat], untuk ekonomi masyarakat, jadi tujuan adalah gimana tingkatkan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.

Produksi Minyak Kelapa Lawan Dominasi Sawit

Lead Campaigner Forest Greenpeace, Rio mengatakan masyarakat pesisir terhubung dengan sentral perkebunan kelapa, sehingga mereka menggunakannya sebagai budaya.

Selain dari segi budaya dan mata pencaharian, dia menilai masyarakat yang masih memproduksi minyak kelapa sebagai bentuk melawan dominasi minyak goreng sawit yang harganya saat ini melambung tinggi.

"Seharusnya itu [minyak kelapa] dikembangkan oleh pemerintah untuk rakyatnya, bukannya mensubsidi minyak goreng sawit yang malah untungkan pengusaha," kata Rio kepada Tirto, Jumat (25/3/2022).

Dia mendorong kepada pemerintah agar membantu petani kelapa supaya bisa bersaing atau bahkan lebih dari minyak goreng yang harganya saat ini tidak stabil.

Caranya, pemerintah bisa membantu dari sektor hulu hingga hilir, seperti memberikan bantuan permodalan, teknologi, hingga memperluas penjualan di pasaran. Selain itu, agar para petani kelapa tidak mengkonversi lahannya.

"Kalau produksi minyak kelapa ini bisa dibantu untuk kebutuhan minyak di dalam negeri, ini bisa membantu meningkatkan pendapatan petani kopra agar dapat melawan dominasi minyak goreng sawit," ucapnya.

Menurut Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran cum pakar gastronomi, Fadly Rahman situasi ini berkelindan dengan masifnya industri perkebunan sawit yang telah tumbuh di Indonesia sejak abad ke-19 peralihan abad ke-20.

Ketika itu masih zaman kolonial Belanda, pasokan sawit mengalami surplus. Para pelaku industri mencium prospek bisnis gemilang. Apalagi iklim dan kondisi tanah sangat mendukung. Permintaan hingga ke mancanegara bejibun, dan kondisi tersebut bertahan hingga masa kemerdekaan.

“Perkebunan sawit dinasionalisasi, diambil alih orang Indonesia. Berkembang menjadi gurita ekonomi yang menguntungkan segelintir pengusaha perkebunan,” ujarnya kepada saya, Rabu.

Pertumbuhan pesat komoditas sawit pada era Orde Baru. Membuat posisi Indonesia sebagai eksportir sawit diperhitungkan dunia. Minyak goreng sawit pelan-pelan menggeser keberadaan minyak goreng kelapa. Karena harga minyak goreng sawit murah dan terjangkau, kata Fadly.

Sementara Certified Nutrition and Wellness Consultant Nutrifood, Moch. Aldis Ruslialdi menjelaskan minyak kelapa mengandung 92 persen lemak jenuh, lalu minyak sawit dengan kandungan 52 persen lemak jenuh, yang berarti minyak goreng nonkolesterol bukanlah solusi sehat.

“Lemak jenuh banyak cenderung membeku, [minyak goreng] yang baik sukar membeku. Minyak goreng yang sehat adalah minyak yang rendah kandungan lemak jenuhnya karena konsumsi lemak jenuh meningkatkan kadar kolesterol,” ujar Aldis.

Baca juga artikel terkait MINYAK GORENG atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri