tirto.id - Zina muhsan merupakan salah satu jenis zina yang memiliki konsekuensi hukum paling berat dalam Islam.
Dalam ajaran Islam, zina dikategorikan ke dalam beberapa jenis, salah satunya adalah zina muhsan yang memiliki kriteria dan sanksi tersendiri.
Lantas, apa itu zina muhsan, dalil yang menjadi dasar hukumnya, serta seperti apa contohnya dalam kehidupan sehari-hari?
Artikel ini akan membahas secara lengkap mulai dari pengertian zina muhsan, dalil zina muhsan, hingga hukuman bagi pelaku zina muhsan yang perlu diketahui sebagai pelajaran dan peringatan.
Pengertian Zina Muhsan
Dalam Islam, terdapat dua jenis jarimah zina, yaitu zina muhsan dan zina ghairu muhsan. Zina muhsan adalah jenis zina yang dilakukan oleh seseorang yang telah menikah dan memiliki hubungan pernikahan yang sah serta melakukan hubungan badan secara halal. Ini berbeda dengan zina ghairu muhsan, yakni zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah.
Menurut buku Fiqh Jinayah karya Dr. H. M. Nurul Irafan, M.Ag dan Masyrofah, S.Ag., M.Si, zina muhsan adalah zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda, atau janda. Artinya, pelaku adalah orang yang masih dalam status pernikahan atau pernah menikah secara sah.
Sementara itu, Kementerian Agama dalam modul Pendidikan Agama Islam menyebutkan bahwa pengertian zina muhsan merujuk pada tindak zina yang dilakukan oleh orang yang sudah memenuhi syarat sebagai muhsan, yakni pernah melakukan hubungan seksual dalam pernikahan yang sah dan masih mampu menjalani kehidupan berumah tangga.
Pemahaman mengenai apa itu zina muhsan sangat penting karena konsekuensinya sangat besar, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalil Mengenai Zina Muhsan
Zina muhsan termasuk dalam kategori zina berat yang memiliki sanksi serius dalam hukum Islam. Namun, sebelum memahami apa itu zina muhsan, penting untuk menelusuri terlebih dahulu dalil zina muhsan dan larangan zina secara umum dalam Al-Qur’an.
Larangan zina dalam Islam ditegaskan langsung dalam Al-Qur'an, salah satunya melalui surah Al-Isra ayat 32. Ayat ini menjadi pondasi utama mengapa perbuatan zina sangat dikecam dalam ajaran Islam:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Wa lā taqrabūz-zinā, innahụ kāna fāḥisyatan wa sā`a sabīlā
Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32)
Menurut tafsir Kementerian Agama RI, larangan ini tidak hanya mencakup perbuatan zina secara langsung, tetapi juga segala bentuk pendekatan atau perbuatan yang dapat mengarah pada zina.
Ini mencakup interaksi yang tidak sesuai syariat, khalwat, hingga konten yang merangsang syahwat. Islam menutup pintu-pintu yang bisa membuka peluang terjadinya zina.
Zina dipandang sebagai pelanggaran berat terhadap martabat manusia dan tatanan sosial, karena dapat merusak kehormatan diri, keluarga, dan masyarakat.
Meski dalil zina muhsan tidak tertulis eksplisit dalam Al-Qur’an, ayat-ayat seperti ini menjadi dasar bahwa zina adalah dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap Muslim.
Larangan zina juga ditegaskan dalam QS. An-Nur ayat 2 yang berbunyi:
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجْلِدُوا كُلَّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا مائَةَ جَلْدَةٍۢ
Az-zāniyatu waz-zānī fajlidụ kulla wāḥidim-minhumā mi`ata jal dah
Artinya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera." (QS. An-Nur: 2).
Selain itu, dalam surah Al-Furqan ayat 68, Allah SWT berfitman:
وَٱلَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَـٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ
Wallażīna lā yad'ụna ma'al-lāhi ilāhan ākhara walā yaqtulụnan-nafsal-latī ḥarramal-lāhu illā bil-ḥaqqi walā yaznụn
Artinya: "Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain bersama Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, dan tidak berzina." (QS. Al-Furqan: 68).
Ayat-ayat ini secara konsisten menyebutkan zina sebagai bagian dari perbuatan yang mendatangkan murka Allah.
Dengan memahami larangan zina dalam Al-Qur’an, termasuk ayat-ayat yang mengaturnya, maka umat Muslim bisa lebih sadar akan bahaya zina, dan bagaimana pandangan Islam terhadap pelanggaran berat ini.
Hukum Zina Muhsan
Dalam hukum Islam, hukuman bagi pelaku zina muhsan adalah rajam, yaitu dilempari batu hingga meninggal dunia. Hukuman ini berlaku khusus untuk pelaku zina muhsan, yaitu mereka yang telah menikah atau pernah menikah secara sah, dan melakukan zina secara sadar serta terbukti melalui pengakuan atau kesaksian yang sah.
Zina muhsan adalah bentuk pelanggaran yang dipandang sangat berat dalam syariat Islam. Hukuman ini tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an, namun ditetapkan melalui sabda dan perbuatan Rasulullah SAW yang diperkuat oleh ijma (konsensus) para sahabat dan tabiin.
Dalam kitab Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an karya Muhammad Ali al-Shabuni, jilid II halaman 21, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah melaksanakan hukuman rajam terhadap Ma’iz bin Malik dan perempuan dari suku Ghamidiyah setelah keduanya mengakui perbuatannya.
Hadis berikut menjadi dasar utama pelaksanaan rajam sebagai hukuman zina muhsan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، قَالَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ، الْغَنَمُ وَالْخَادِمُ رَدٌّ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا، فَغَدَا عَلَيْهَا، فَاعْتَرَفَتْ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُجِمَتْ
Artinya: "Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani, keduanya berkata: Rasulullah SAW bersabda… 'Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku akan memutuskan perkara kalian berdasarkan Kitabullah: kambing dan pembantu dikembalikan, dan anakmu dihukum 100 cambukan serta diasingkan selama satu tahun. Wahai Unais, pergilah kepada istri orang ini, jika ia mengakui (perbuatannya), maka rajamlah ia.' Maka Unais pun pergi, lalu wanita itu mengakui, dan Rasulullah memerintahkan agar ia dirajam."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis tersebut diriwayatkan pula dalam banyak literatur fiqih, salah satunya dalam buku Fiqih Wanita karya M. Abdul Ghofar (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), cetakan pertama, halaman 572.
Buku ini menegaskan bahwa hukuman bagi pelaku zina muhsan adalah bentuk penerapan syariat yang telah dilakukan Rasulullah SAW secara langsung dan diikuti oleh para sahabat.
Hukum ini juga didukung oleh ijma’ para sahabat dan tabiin, serta pernah diberlakukan pada masa Khulafa al-Rasyidin, termasuk oleh Sayyidina Umar bin Khattab dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Menyatut dari buku Fikih Jinayah, karya Dr. Khairul Hamim, MA, Umar bin Al-Khathab RA pun menegaskan bahwa ayat tentang rajam memang pernah diturunkan, meskipun kemudian tidak tercantum dalam mushaf Al-Qur’an, tetapi tetap diamalkan berdasarkan sunnah Rasulullah SAW dan ijma para sahabat:
أيـها الناس فإن الله تعالى بعث محمداً صلى الله عليه وسلم بالحق، وأنزل عليه الكتاب فكان فيما أنزل عليه آية الرجم، فقرأناها ووعيناها، ورجم رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجمنا بعده، فأخشى أن يطول بالناس زمان أن يقول قائل لا نجد آية الرجم في كتاب الله فيضلوا بترك فريضة قد أنزلها الله، فالرجم في كتاب الله حق على من زنى إذا أحصن من الرجال والنساء، إذا قامت البينة أو الحبل أو الاعتراف.
Artinya: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya dan menurunkan kepadanya sebuah kitab suci. Di dalamnya terdapat 'ayat rajam' yang telah kita baca, fahami serta sadari bersama. Rasulullah sendiri pernah melaksanakan rajam dan setelah itu kita pun melakukannya. Aku khawatir, karena telah berselang waktu, akan ada orang berkata: 'Kami tidak mendapati ayat rajam dalam Kitabullah'. Maka mereka sesat dengan meninggalkan suatu kewajiban yang benar-benar diturunkan Allah. Hukum rajam dalam Kitabullah adalah hak yang harus dijatuhkan kepada laki-laki maupun perempuan yang melakukan zina muhsan, jika ada bukti, kehamilan, atau pengakuan dari dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari)
Riwayat ini sekaligus menjadi klarifikasi terhadap kekeliruan yang bisa muncul dari anggapan bahwa tidak ada dalil zina muhsan dalam Al-Qur’an.
Kenyataannya, pelaksanaan hukuman rajam telah dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW, diikuti oleh para sahabat, dan diakui sebagai hukum tetap dalam syariat Islam oleh mayoritas ulama.
Dengan adanya hadis-hadis sahih ini serta pengakuan dari para tokoh sahabat seperti Umar RA, maka tidak diragukan lagi bahwa hukuman bagi pelaku zina muhsan adalah rajam yang telah menjadi bagian dari sistem hukum pidana Islam (fiqh jinayah).
Meski pelaksanaannya menjadi bahan perdebatan di sebagian kalangan masa kini, mayoritas ulama fikih dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali tetap mengakui rajam sebagai hukuman syar’i untuk zina muhsan yang telah terbukti dengan cara yang sah, yakni 4 saksi atau pengakuan pribadi sebanyak empat kali.
Dengan memahami dasar-dasar ini, umat Islam diharapkan lebih waspada dan berhati-hati dalam menjaga kehormatan diri. Zina muhsan adalah dosa besar yang tak hanya mencoreng moral, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum sangat berat menurut syariat.
Contoh Zina Muhsan
Setelah memahami pengertian zina muhsan, dalil, dan hukumnya, penting juga untuk mengetahui seperti apa contoh zina muhsan dalam kehidupan nyata. Hal ini bisa membantu untuk menghindari perbuatan tersebut dan menegakkan prinsip-prinsip syariah dengan benar.
Berikut ini beberapa contoh zina muhsan yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari:
1. Seorang pria yang sudah menikah berselingkuh dengan perempuan lain di luar nikah. Walau mungkin hubungan itu atas dasar suka sama suka, tetap tergolong zina muhsan karena ia telah menikah dan mengetahui hukum syar’i pernikahan.
2. Perempuan yang telah bercerai namun pernah melakukan hubungan suami istri dalam pernikahannya terdahulu, kemudian berzina dengan pria lain. Ia tetap disebut sebagai muhshan karena pernah memiliki pernikahan sah dan hubungan suami istri sebelumnya.
3. Pasangan suami istri yang tinggal terpisah karena pekerjaan atau masalah rumah tangga, lalu salah satu dari mereka melakukan zina. Jika syarat muhshan terpenuhi, maka perbuatan tersebut termasuk zina muhsan dan mendapatkan hukuman rajam sesuai syariat.
4. Seorang duda yang sudah lama ditinggal wafat istrinya lalu menjalin hubungan terlarang dengan perempuan lain di luar nikah. Meski ia tidak sedang berstatus menikah, tapi karena sudah pernah menikah dan memenuhi syarat, maka zina tersebut tetap dikategorikan sebagai zina muhsan.
Melalui beberapa contoh zina muhsan ini, semakin jelas bahwa status pernikahan sebelumnya menjadi faktor penting dalam menentukan jenis hukuman. Inilah alasan mengapa apa itu zina muhsan harus benar-benar dipahami oleh umat Islam agar tidak salah menilai beratnya pelanggaran syariah yang satu ini.
Dalam pandangan Islam, zina muhsan tidak hanya merusak kehormatan diri sendiri, tapi juga bisa mencoreng nama keluarga dan menimbulkan kerusakan sosial. Oleh karena itu, memahami dalil zina muhsan, hukuman bagi pelaku zina muhsan adalah rajam, dan berbagai contoh nyata zina muhsan sangat penting dalam menjaga diri dari perbuatan keji ini.
Editor: Robiatul Kamelia & Yulaika Ramadhani