tirto.id - Salah satu gangguan mental yang baru-baru ini kerap dibicarakan adalah self-harm atau gangguan melukai diri sendiri. Tindakan self-harm dilakukan dengan sengaja untuk merasakan sakit fisik demi mengalihkan beban emosi atau sakit hati. Lantas, bagaimana self-harm bisa terjadi dan apa penyebabnya?
Gangguan self-harm adalah masalah emosional yang kerap diderita remaja, namun tidak menutup kemungkinan anak-anak atau orang dewasa juga mengalaminya.
Saat ini, perkiraan persentase remaja yang pernah melakukan self-harm adalah sekitar 20 persen dari populasi keseluruhan, sebagaimana dikutip dari European Child & Adolescent Psychiatry.
Alasan remaja mengalami self-harm karena pada fase tersebut terjadi proses pencarian identitas (identity versus identity confusion). Selain itu, kondisi emosi remaja juga belum stabil sehingga kerap belum bisa mengontrol perasaannya.
Karena itu, jikapun Anda melihat teman dekat atau remaja di sekitar yang memiliki luka sayat di tangan atau lebam di tubuhnya, namun tidak mengaku, atau ketika ditanya jawabannya tidak masuk akal, bisa jadi ia melakukan self-harm.
Namun, dugaan itu harus dikonfirmasi dengan jelas. Sebab, orang-orang yang melakukan self-harm kerap menyembunyikan tindakan tersebut. Anggapannya tidak masuk akal seseorang menyakiti dirinya sendiri.
Selain itu, tindakan menyakiti diri sendiri tergolong memalukan dan dianggap sekadar ekspresi mencari perhatian (padahal anggapan tersebut hanya stigma).
Kajian self-harm dalam psikologi dilakukan serius sejak Asosiasi Psikiater Amerika (APA) menerbitkan buku manual terbaru DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) untuk deteksi gangguan mental dan memasukkan perilaku self-harm atau NSSI (Non-Suicidal Self-injury) sebagai gangguan mental terbaru yang lazimnya dialami oleh remaja.
Di sisi lain, perilaku self-harm harus dibedakan dari percobaan bunuh diri. Tindakan self-harm tidak dimaksudkan untuk mengakhiri hidup pelakunya, melainkan sebagai upaya pelepasan stres.
Dengan melukai diri sendiri, pelakunya merasa bahwa rasa sakit fisik lebih baik daripada sakit emosional. Luka atau lebam pada anggota tubuh dapat mengalihkan tekanan mental yang sedang dialaminya.
Bentuk-Bentuk Perilaku Self-Harm
Berikut ini sejumlah bentuk-bentuk perilaku self-harm yang kerap terjadi.
- Menggaruk, mencubit dengan kuku, menggunakan benda tajam pada permukaan kulit sampai membekas atau berdarah.
- Menyayat atau mengukir simbol tertentu pada pergelangan tangan, lengan, kaki, tubuh atau bagian tubuh lainnya.
- Membenturkan atau memukul diri sendiri hingga memar atau mengalami pendarahan.
- Menggigit bagian tubuh sampai berdarah atau meninggalkan bekas pada kulit.
- Menjambak rambut sendiri dengan kuat atau mencabuti bulu mata atau alis dengan niat untuk menyakiti diri sendiri
- Membakar kulit.
Infografik SC Gangguan Melukai Diri Sendiri. tirto.id/Quita Penyebab Self-Harm dan Kenapa Bisa Terjadi
Gangguan self-harm merupakan gangguan yang kompleks, tidak disebabkan faktor tunggal, melainkan kumpulan berbagai masalah yang menumpuk hingga mengakibatkan seseorang melukai dirinya sendiri.
Berikut ini sejumlah penyebabself-harm dan kenapa bisa terjadi. Sebagai catatan, faktor-faktor penyebab di bawah ini dapat terjadi ke siapa pun, namun tidak semuanya memantik self-harm.
1. Cara mengatasi stres yang salah
Orang yang melakukan self-harm sering kali tidak tahu cara mengatasi stres atau tekanan mental yang sedang dialaminya. Karena itu, opsi yang ia pilih adalah dengan melakukan self-harm.
Ketika rasa kecewa, masalah yang kian berat, atau tekanan emosional kian tak tertahankan, cara untuk meredam atau mengindari emosi negatif itu adalah mengalihkannya ke rasa sakit fisik.
Saat melukai diri sendiri, misalnya luka sayatan di tangan dan rasa sakit yang dirasakan akan mengalihkan pikirannya dari beban mental tadi.
2. Trauma masa kecil
Sosok yang mengalami trauma masa kecil rentan melakukan self-harm. Trauma itu dapat terjadi karena kehilangan orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, atau kekerasan fisik.
Pengalaman traumatis kerap membuat seseorang rendah diri, hampa, bingung, hingga melampiaskannya dengan melukai diri sendiri.
3. Komunikasi keluarga yang buruk
Beban mental dan stres akan menjadi ringan apabila dikomunikasikan ke orang terkasih, khususnya ke keluarga. Namun, apabila komunikasi keluarga tergolong buruk, perilaku melukai diri sendiri rentan muncul.
Hal itu kian kompleks apabila kondisi keluarga tidak harmonis, apalagi jika anak tumbuh dalam keluarga broken home.
4. Anak-anak dari keluarga broken home
Anak-anak dari keluarga broken home cenderung kurang bisa meregulasi emosinya. Sebagian pelaku self-harmmenyatakan bahwa kondisi keluarga yang tidak harmonis merupakan alasan melakukan self-harm.
Bagaimanapun juga, keluarga merupakan lingkungan terdekat anak. Ketika kondisi keluarga tidak stabil, anak-anak cenderung tertekan sehingga rentan melukai diri sendiri.
5. Permasalahan dalam hubungan percintaan
Hubungan romantis merupakan relasi intim yang signifikan bagi remaja atau orang dewasa. Selain itu, hubungan percintaan juga tergolong sensitif dan sulit diceritakan ke banyak orang.
Ketika masalah percintaan terjadi berlarut-larut dan terus dipendam. Orang yang bersangkutan bisa jadi akan melampiaskannya dengan melukai diri sendiri.
6. Permasalahan dengan teman
Bagi remaja, hubungan pertemanan adalah relasi sosial yang sangat penting. Permasalahan dengan teman tidak jarang memicu seseorang melakukan self-harm.
Selain sebab-sebab di atas, tindakan self-harm dapat juga terjadi karena problem mental, gangguan jiwa, penyalahgunaan alkohol atau zat terlarang, hingga masalah psikologis lainnya.
Di Indonesia sendiri, gangguan ini jarang diberitakan. Bukan karena gangguan self-harm jarang terjadi. Namun, bisa jadi karena penelitian atau survei self-harm nyaris tak pernah dilakukan secara luas.
Penelitian mengenai self-harm condong mengarah ke studi kasus individu, bukan pada populasi masyarakat yang mengalaminya.
Editor: Iswara N Raditya