Menuju konten utama

Mengenal Langen Tayub dan Maknanya Bagi para Pelaku Kesenian Ini

Meskipun kesenian Tayub kerap mendapat pandangan "miring" di sebagian masyarakat, sejatinya ia mengandung makna luhur.

Mengenal Langen Tayub dan Maknanya Bagi para Pelaku Kesenian Ini
Warga menari bersama penari tayub dalam acara sedekah desa di Desa Sugihmanik, Grobogan, Jateng, Selasa (23/8/2016). ANTARA FOTO/Aji Styawan.

tirto.id - Alunan gamelan menjadi pertanda bagi para tamu untuk segera mengambil posisi. Satu per satu tamu lantas mengambil sampur atau selendang.

Mereka kemudian menempatkan diri hingga membentuk suatu formasi dua baris horizontal dan saling berhadapan antarbaris. Setiap baris terdiri dari 25 – 50 orang atau lebih.

Begitulah gambaran bagaimana pementasan kesenian tradisional Langen Tayub berlangsung. Para tamu atau pengibing umumnya lelaki.

Lantunan gendhing berbahasa jawa turut mengiringi setiap gerak tarian dalam tayub. Gendhing itu dilantunkan oleh sindhir atau waranggana yang umumnya perempuan.

Para penari akan melakukan gerakan melangkah, memainkan selendang, memutar pergelangan tangan kanan dan kiri secara bergantian, lalu saling memunggungi. Kemudian, pada pola pukulan gong tertentu, mereka berdiri tegak (tanjak).

Gerakan-gerakan tersebut terus berulang menjadi tarian. Keselarasan irama gerak tarian dengan permainan gamelan serta lantunan gendhing inilah yang menciptakan kerangka konsep Tayub.

Langen Tayub, atau biasa pula disebut dengan Tayub saja, adalah kesenian daerah yang populer di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hingga kini, pementasan Tayub masih dapat dijumpai di Lamongan, Bojonegoro, Nganjuk, Blitar, Blora, dan Tuban. Tayub kerap dipentaskan sebagai bagian dari acara selamatan atau hajatan syukuran masyarakat di daerah-daerah tersebut.

Menurut Dosen Kritik Seni dan Sejarah Tari dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW), Djoko Prakoso, kesenian Tayub merupakan salah satu wujud dari kerukunan antarmasyarakat.

"Tayub itu [berarti] tata-guyub, ditata supaya bisa bersama-sama menjaga kebersamaan. Tayub itu simbol kerukunan," kata Djoko pada pertengahan Juni 2021 lalu.

"Setiap pentas Tayub biasanya ada partisipasi sosial yang disumbangkan kepada yang punya hajat. Dan itu dilakukan bergantian (antarmasyarakat). Ini menjadi [simbol dari] sistem kerukunan bagi masyarakat agraris,” Djoko menambahkan.

Istilah "tata guyub" itu tergambar di keserempakan dalam memadukan unsur gerak tubuh dengan permainan gamelan dan rasa kebersamaan. Djoko menyimpulkan, meskipun kesenian Tayub kerap mendapat pandangan "miring" di sebagian masyarakat, sejatinya ia mengandung makna luhur.

Mengutip ulasan laporan riset "Fenomena Tari Tayub di Kecamatan Jatioro Kabupaten Tuban," yang termuat dalam Jurnal Dimensia (Vol 6, No 1, 2012) terbitan UNY, stigma dari masyarakat terhadap Tayub umumnya disebabkan oleh faktor budaya minum tuak dan saweran di pementasan kesenian tersebut.

Namun, Djoko menilai stigma ini tidak sepenuhnya benar. Sebab, kata dia, kemunculan dua tradisi itu bergantung pada kebiasaan masyarakat di setiap daerah tempat kesenian Tayub dipentaskan.

"Minum tuak itu bukan bagian dari Tayub, itu merupakan sajian di luar arena tari. [Sebagai contoh] di Tuban, tuak dianggap minuman tradisional, bagian dari tradisi dan keseharian," ujar Djoko.

"Di Tuban, juga tidak ada uang saweran, tapi dikenal dengan uang tombokan. Uang tersebut nanti disumbangkan ke [orang] yang punya hajat," lanjut dia.

Sindhir Langen Tayub Bertahan Menghadapi Stigma

Di Tuban, kesenian tayub lebih dikenal dengan sebutan Langen Tayub. Ada sejumlah pembagian peran dalam pementasan kesenian tersebut.

Peran paling utama adalah pramugari, yakni orang yang bertanggung jawab mengatur jalannya pementasan. Kemudian pengibing atau penayub, yaitu para tamu yang menari dalam pementasan Langen Tayub.

Selain itu ada penglereh, yaitu pengibing yang menyertai tetua desa untuk menari dengan sindhir. Selanjutnya, pengrawit yang bertugas menabuh gamelan, wira swara sebagai vokalis laki-laki; dan sindhir atau waranggana yang menjadi tokoh sentral dalam pementasan Langen Tayub.

Saat mengawali pementasan Tayub, pengrawit (penabuh gamelan) menyajikan gendhing pembuka, dilanjutkan dengan giro tayub yaitu gendhing yang menyambut kedatangan tamu kehormatan.

Setelah itu, para sindhir atau waranggana menyajikan tari blendrong yang menandakan dimulainya pementasan. Para sindhir mempunyai peran mendasar dalam Tayub, yakni sebagai mediator untuk mencapai keselarasan harmoni antara irama gendhing dan gerakan dalam tarian.

Dalam tradisi Tayub, sindhir dianggap sebagai refleksi simbolis Dewi Sri. Oleh sebab itu, gambaran ideal sindhir setidaknya harus memenuhi konsep estetika, etika, olah suara, dan kepribadian yang baik.

Namun, kenyataannya menjadi seorang sindhir tak selalu mudah. Stigma dari masyarakat kerap kali menyertai pementasan Tayub dan profesi sindhir. Mereka yang bertahan menjadi pelaku seni ini sudah kenyang dengan tekanan mental menghadapi anggapan miring pada profesinya.

Hal ini sesuai dengan cerita Warkeni, salah seorang sindhir Langen Tayub dari Kabupaten Tuban, Jawa Timur yang sudah menjalani profesi sebagai waranggana selama 15 tahun. Perempuan 34 tahun itu menjadi sindhir sejak berusia 19 tahun

Dia mengaku semula berlatih secara otodidak dan kemudian bergabung dengan kelompok panjak (pemain musik) sindhir. Warkeni kemudian banyak belajar kepada para sindhir senior.

Kata Warkeni, selama ini para sindhir senior di Tuban terbiasa mewariskan pengalamannya pada generasi yang lebih muda. Umumnya mereka mempunyai ‘anak didik’ yang kemudian diajari olah vokal, menghayati gendhing hingga diajak naik pentas.

"Dulu saya belajar ikut sindhir ngamen ke rumah-rumah buat mengasah mental. Ndak dapat uang ya enggak apa-apa, yang penting bisa belajar. Suksesnya nanti dulu," tutur Warkeni, pertengahan Juni lalu.

Kegigihan Warkeni belajar menjadi sindhir didasari atas kecintaannya terhadap seni dan gendhing. Latar belakang kedua orang tuanya yang menjadi seniman kethoprak turut mempengaruhi pilihan hidup Warkeni.

Berkebalikan dengan stigma negatif yang berkembang, Warkeni mengaku tidak pernah mendapat perlakuan tidak sopan dari para tamu selama menjalani profesi sebagai sindhir. Selama ini, dia pun tidak terbebani oleh anggapan miring dari sebagian orang.

"Saya ndak pernah menggubris omongan orang-orang. Itu mungkin orang-orang yang ndak suka seni. Saya niatnya cuma kerja, dasarnya saya suka sama seni," kata dia.

"Kami sebagai sindhir juga penampilannya sopan tho, pakai kain jarik panjang sampai ke bawah, bagian atasnya juga tertutup."

Baca juga artikel terkait KESENIAN atau tulisan lainnya dari Shulfi Ana Helmi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Shulfi Ana Helmi
Penulis: Shulfi Ana Helmi
Editor: Addi M Idhom