Menuju konten utama

Pendidikan Karakter Ki Hadjar: Lewat Kesenian, Bukan Baris Berbaris

Bagi Ki Hadjar, pendidikan karakter bisa ditempuh lewat kesenian dan kebudayaan. Tiada gaya militeristis di Taman Siswa, sekolah yang didirikannya.

Pendidikan Karakter Ki Hadjar: Lewat Kesenian, Bukan Baris Berbaris
Ki Hadjar Dewantara. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Athena di masa Yunani kuno pernah jadi kota yang militeristis. Penduduk kota lazim belaka menyaksikan para serdadu lalu-lalang sambil baris berbaris atau berkeliaran menenteng senjata. Tapi lambat laun pemandangan macam itu surut.

Dalam bukunya yang termasyhur yang ditulis pada abad ke-5 SM, History of the Peloponnesian War, sejarawan Yunani kuno Thucydides memaparkan perubahan besar-besaran dalam struktur dan tatanan sosial di Yunani, khususnya Athena. Perubahan ini terjadi akibat bergesernya orientasi pendidikan.

Penguasa dan kaum intelektual mengubah corak pendidikan yang tadinya bersifat militeristis ke gaya yang lebih sipil. Setelah itu pendidikan di Athena pun menjadi berwajah santun dan ramah.

Menurut Peneliti dan Konsultan Pendidikan Doni Koesoema A. dalam Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (2007: 24), pendidikan karakter di Athena abad ke-6 SM menawarkan kurikulum integral yang mencakup pengembangan fisik dan pelatihan kesenian. Pendidikan musik Protagora disebut berhasil mengubah karakter masyarakat Athena menjadi lebih harmonis dan cinta damai. Kaum militer tak lagi mendominasi seisi kota.

Pendidikan karakter macam itu tampaknya juga menjadi bagian misi pendidikan Soewardi Soerjaningrat. Saat mencetuskan National Onderwijs Instituut Tamansiswa pada 1922, Soewardi, yang kemudian beralih nama jadi Ki Hadjar Dewantara, dikenal sebagai sosok yang meyakini bahwa kesenian dan kebudayaan adalah bagian paling mendasar dari pendidikan karakter siswa.

Taman Siswa dan Karakter Nasional

Pada 22 Juli 1922 Taman Siswa diresmikan di Jl. Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Bagunannya berupa rumah besar berbentuk pendopo. Di dalamnya sudah terisi bangku-bangku sekolah yang berasal dari sumbangan Soerjopranoto, kakak tertua Ki Hadjar Dewantara, yang sebelumnya sudah lebih dahulu mendirikan sekolah Adhi Darmo.

“Saat itu aku benar-benar menaruh harapan besar, agar dari rumah tersebut memancar cahaya yang akan menerangi jagad Nusantara dengan ilmu pengetahuan,” kata Ki Hadjar seperti dikisahkan Haidar Musyafa dalam Ki Hadjar: Sebuah Memoar (2017: 346).

Lebih jauh, Ki Hadjar menuturkan fungsi Taman Siswa sebagai sarana pembentukan karakter bumiputra. Tekadnya itu timbul sebagai keprihatinan terhadap kondisi pendidikan ala kolonial yang sekadar ditujukan untuk mendapatkan ijazah dan menghasilkan kaum pekerja.

“Sehingga mereka akan menjadi generasi yang beradab, berkarakter. Selain itu, juga memiliki semangat untuk berjuang dan tekad yang besar untuk membebaskan tanah airnya dari cengkraman bangsa penjajah,” lanjut Ki Hadjar.

Sebagaimana dituturkan Ki Hadjar, dasar pemikiran di balik pembangunan Taman Siswa memang bertujuan membentuk karakter siswa yang berasas nasionalisme. Maka tidak heran bahwa sedari awal pembangunannya, Taman Siswa sudah menyatakan diri sebagai Lembaga Pengajaran Nasional.

Dalam pelaksanaan kegiatan ajar, Taman Siswa menyelenggarakan sistem pendidikan yang dapat membentuk karakter siswa berlandaskan budaya bangsa. Salah satu tujuannya adalah mempercepat kemerdekaan yang sejak lama dicita-citakan kaum nasionalis.

“Jika sebuah bangsa ingin tumbuh menjadi bangsa yang sehat secara lahir dan batin, maka sistem pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada rakyat harus didasarkan pada prinsip nasional, kultur dan budaya yang ada pada masyarakatnya sendiri,” tulis Musyafa.

Konsekuensi dari komitmen tersebut ialah pemakaian lingua franca sebagai bahasa pengantar pada setiap jam pelajaran di Taman Siswa. Kebetulan, saat sekolah pelopor Taman Siswa di Yogyakarta didirikan, istilah bahasa Indonesia belum terlalu dikenal. Karena itu dalam pelaksanaan kegiatan ajar Ki Hadjar memilih memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar ketimbang bahasa Belanda atau Jawa.

Membentuk karakter bangsa lewat bahasa Melayu memang sudah menjadi rencana Ki Hadjar Dewantara sepulang dari masa pengasingannya di Belanda pada 1919. Bahkan, menurut Kees Groeneboer dalam jurnal Wacana, Vol. 1, No. 1 (1999: 43), pembelaan Ki Hadjar terhadap bahasa Melayu sudah ditunjukkan selang tiga tahun sejak tulisannya yang berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda” terbit pada 1913.

Infografik Pendidikan Karakter Ala Taman Siswa

Infografik Pendidikan Karakter Ala Taman Siswa. tirto.id/Nadya

Pendidikan Karakter Melalui Seni dan Permainan

Dilihat sekilas, pendidikan Taman Siswa tampak mirip dengan pendidikan di Athena abad ke-5 SM. Selain bahasa, Taman Siswa juga mengajarkan ilmu agama, kisah-kisah kepahlawanan, sejarah kebudayaan, dan kesenian.

Berdasarkan catatan Darsiti Soeratman dalam memoar Ki Hadjar Dewantara (1981: 96-97), pendidikan karakter di Taman Siswa dititikberatkan pada bidang kesenian. Pendidikan kesenian dipercaya dapat memperhalus budi anak. Maka setidaknya seminggu sekali anak-anak didorong untuk berlatih kesenian, salah satunya seni tari.

Setiap hari Rabu, anak-anak berkumpul di sebuah pendopo di dalam area sekolah untuk berlatih tari. Kegiatan ini biasanya disaksikan langsung oleh para pangeran sekaligus tokoh kesenian Keraton Yogyakarta, di antaranya Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejakusuma. Mereka jugalah yang membantu Taman Siswa memperbaiki sistem pendidikan karakter siswa melalui kesenian.

Di samping seni tari, Ki Hadjar menerapkan metode pembentukan karakter melalui tembang (lagu) dan dolanan (permainan) asli daerah. Tidak sedikit tembang dan dolanan yang diajarkan di sekolah Taman Siswa. Beberapa di antaranya bahkan digali dan dikembangkan sendiri oleh para pamong.

Dolanan Taman Siswa kemudian dikenal sebagai sistem pengajaran yang khas. Tidak sedikit guru-guru dari sekolah lain yang menyambangi Taman Siswa hanya agar dapat mempelajari permainan anak-anak langsung dari para pamong.

Kembali mengutip Soeratman, khusus untuk pendidikan kesusilaan anak-anak puteri, Ki Hadjar mewariskan syair berbahasa Jawa berbentuk tembang Asmarandana. Isinya berupa nasihat-nasihat yang dapat dikidungkan sehingga mudah diingat oleh anak-anak perempuan (hlm. 126).

Taman Siswa lantas berkembang menjadi lahan subur bagi perkembangan bakat kesenian. Alumni Taman Siswa Jakarta, misalnya, banyak yang menjadi seniman-seniman kritis pada periode kemerdekaan. Di antara mereka terdapat nama-nama besar seperti Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan, dan Chairil Anwar.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Ivan Aulia Ahsan