Menuju konten utama

Profil Kampung Kerbau Ngawi & Bagaimana Ternak Jadi Bagian Tradisi

Masyarakat di Dusun Bulak Pepe, Ngawi, memelihara ratusan ekor kerbau dan menganggap ternak itu sebagai "emas" bagi orang desa.

Profil Kampung Kerbau Ngawi & Bagaimana Ternak Jadi Bagian Tradisi
Sejumlah kerbau digembala oleh warga Dusun Bulak Pepe, Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren, Ngawi, Jawa Timur. Foto/Fatimatuzzahro.

tirto.id - Pamor kerbau sebagai hewan ternak terus menurun. Merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020, jumlah kerbau di Indonesia hanya tinggal 1.179.342 ekor.

Jumlah itu memang terbilang masih besar dibanding populasi kuda yang berdasar survei lain dari BPS hanya berjumlah 392.137 ekor di Indonesia per 2020. Namun, jumlah 1,17 juta ekor kerbau itu tentu terlalu minim jika dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk Indonesia.

Apalagi, populasi hewan ini terus berkurang dari tahun ke tahun. Pada 2010, masih merujuk data BPS, populasi kerbau di Indonesia tercatat mencapai 1.999.604 ekor. Pada 10 tahun sebelumnya, survei BPS masih menemukan ada 2,4 juta ekor kerbau di seluruh Indonesia.

Belum lagi jika dibandingkan dengan populasi kambing, domba, dan sapi, jumlah kerbau di tanah air jauh lebih sedikit. Pada 2020, populasi sapi potong di dalam negeri sebanyak 17.466.792 ekor. Adapun kambing, jumlahnya pada 2020 tercatat 19.096.381 ekor dan domba 17.769.084 ekor.

Di tengah semakin merosotnya daya tarik kerbau sebagai hewan ternak dan jumlah populasi yang terus berkurang, warga dari Dusun Bulak Pepe, Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, justru "berlomba-lomba" memelihara hewan ternak ini.

Ratusan Kerbau Dipelihara Warga Satu Kampung

Menurut Kepala Desa Banyubiru, Kundari, hampir semua warga Dusun Bulak Pepe memiliki kerbau. Jika dihitung secara total, saat ini terdapat 700 ekor kerbau di kampung tersebut.

"Minimal [satu keluarga memiliki] 2-35 ekor [kerbau]," ujar Kundari pada pertengahan Juni 2021 lalu.

Banyaknya jumlah kerbau itu membuat Dusun Bulak Pepe mendapatkan julukan Kampung Kerbau. Kini, tingginya jumlah populasi kerbau di kampung itu juga dimanfaatkan sebagai obyek wisata.

Di Bulak Pepe, kerbau masih dipelihara secara tradisional. Para peternak biasa menggembalakan kerbau dua kali sehari, yakni pada pagi dan siang. Menjelang senja, ratusan kerbau akan digiring melewati sungai yang terletak di muka dusun untuk minum sekaligus berendam.

Usai menggembala, peternak menempatkan kerbau-kerbaunya di kandang komunal, yang menjadi penampung hewan milik banyak warga. Lokasi kandang komunal kerbau itu di pinggiran kampung, agak jauh dari permukiman.

Pemakaian kandang komunal di Bulak Pepe telah dimulai pada tahun 2016, saat masyarakat mulai paham pentingnya kesehatan. Dengan adanya kandang komunal, keberadaan ratusan ekor kerbau dalam satu dusun tidak lantas membuat rumah-rumah warga Bulak Pepe bau tahi.

Kandang-kandang kerbau di Bulak Pepe dibangun dengan papan-papan kayu, umumnya berukuran 6 x 9 meter. Di dalamnya terdapat jerami kering sebagai pakan cadangan buat kerbau.

"Dulu kerbau ditempatkan di rumah masing-masing dan menyebabkan kotoran menyebar di jalan," tutur Warsito, salah satu peternak Kerbau sekaligus kepala Dusun Bulak Pepe.

Banyak warga peternak di Bulak Pepe mengaku memilih kerbau sebagai hewan peliharaan karena ia lebih mudah dipelihara dibanding sapi. Misalnya, dalam soal pakan. Pemilik sapi mesti mencari rumput khusus, sementara kerbau tinggal dilepas di alam untuk mencari makan.

"Sapi harus diberi dedak, obat," kata Jio, peternak kerbau lainnya di Bulak Pepe.

Kebetulan, wilayah kampung Bulak Pepe terletak di tengah hutan dan ladang sehingga tidak susah mencari sumber pakan kerbau. Kawasan itu juga dilintasi aliran sungai besar yang dapat dijadikan sebagai sumber air minum dan tempat berendam untuk banyak kerbau.

Selain itu kerbau dinilai lebih cepat berkembang biak dibanding sapi. "Yang paling cepat itu kerbau, kerbau kalau 13 bulan pasti beranak," ujar Suwarso, juga warga Bulak Pepe.

Di sisi lain, warga Bulak Pepe meyakini, kerbau tidak mudah terserang penyakit dan kandang yang ditempati hewan ini tidak susah untuk dibersihkan. Kerbau dinilai pula menghasilkan daging yang lebih banyak dari sapi.

Beternak Kerbau sebagai Pelestarian Tradisi

Beternak kerbau bagi warga Bulak Pepe bukan sekadar menjadi sarana sumber penghasilan. Para warga di Bulak Pepe menganggapnya sebagai bagian dari pelestarian tradisi nenek moyang.

"Katanya mbah-mbah dulu, kerbau itu katanya kan Mahesa. Mahesa itu bahasa Jawa yang artinya masnya [emas milik] orang desa," terang Warsito, kepala Dusun Bulak Pepe.

Berbeda dari peternak umumnya yang memasarkan kerbau atau sapi di pasar hewan, peternak di Bulak Pepe hanya menghubungi penjual ternak untuk bertransaksi. Alasannya, menurut Warsito, kebiasaan tidak menjual kerbau di pasar merupakan tradisi leluhur warga Bulak Pepe.

Kata Warsito, ia dan para tetangganya dulu sempat memakai kerbau untuk membajak sawah, tapi hal itu tidak lagi dilakukan mengingat sudah ada mesin traktor. Maka itu, saat ini, mayoritas warga di kampung Bulak Pepe menjadikan kerbau sebagai sarana investasi. Dengan kata lain, meminjam ucapan Warsito, kerbau dianggap sepenuhnya sebagai rojokoyo.

"Kerbau bukan alat untuk bertani lagi tapi sebagai aset untuk menabung," ucap Warsito.

Ucapan Warsito dibenarkan Suwarso, salah seorang peternak kerbau yang menggantungkan hidup dari beternak kerbau.

"Kerbau, kalau sudah punya biang [induk] 5-6 [ekor] sudah [cukup], jualin aja anaknya gak habis-habis," tutur Suwarso.

Kebiasaan memelihara kerbau di Bulak Pepe memang tidak didasari oleh imbauan dari pemerintah desa maupun pemkab Ngawi. Kepala Desa Banyubiru, Kundari mengatakan bahwa masyarakat di Bulak Pepe beternak kerbau lebih karena tradisi.

"[Mereka] terbawa sama karakter aslinya," kata Kundari.

Selain itu, dia menambahkan, bentang alam di sekitar kawasan Dusun Bulak Pepe yang tidak jauh dari hutan dan aliran sungai besar turut mendukung lestarinya tradisi beternak kerbau di sana.

Baca juga artikel terkait TERNAK atau tulisan lainnya dari Fatimatuzzahro

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Fatimatuzzahro
Penulis: Fatimatuzzahro
Editor: Addi M Idhom